1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Nasib Muslim Kurdi: Siapa Peduli?

10 Oktober 2017

Tidak seperti etnis Rohingya, Myanmar, yang begitu hiruk-pikuk mendapat sambutan luas nan antusias oleh publik Muslim di Indonesia dan belahan dunia lain, nasib etnis Kurdi hampir-hampir tidak ada yang peduli.

https://p.dw.com/p/2lQdL
Menschen mit Flaggen auf einem Platz in Erbil, aufgenommen September 2017
Foto: Eddy van Wessel

Tidak ada segelintir pun umat atau ormas Islam yang selama ini  rajin teriak-teriak membela Palestina atau Rohingya, yang membela nasib, penderitaan, dan kepentingan warga Kurdi yang sudah lama hidup sengsara dan terlunta-lunta di bawah rezim politik non-Kurdi (Arab, Persia, Turki, dan lain sebagainya).

Nasib etnis Kurdi ini seperti etnis Darfur di Sudan barat yang juga sepi dari uluran tangan umat Islam meskipun mereka lama menjadi korban diskriminasi dan kekerasan. Padahal, mayoritas, jika bukan semuanya, etnis Kurdi, sebagaimana Darfur, juga Muslim dan perpaham Sunni sama seperti mayoritas umat Islam di Indonesia.  

Dari segi jumlah, populasi masyarakat Kurdi juga jauh lebih besar ketimbang Rohingya. Diperkirakan ada sekitar 50 juta masyarakat Kurdi yang tersebar di berbagai negara: Irak, Turki, Iran, Suriah, Yordania, dan berbagai negara di Barat. Bandingkan dengan penduduk Rohingya yang hanya sekitar 1,3 juta jiwa. 

Dari aspek sejarah perjuangan, Kurdi jauh lebih lama, yaitu sejak Timur Tengah dikuasai oleh rezim Turki Usmani (Ottman) yang kemudian dilanjutkan oleh kolonial Inggris dan Perancis. Bandingkan dengan Rohingya, yang baru mulai "berjuang” sejak akhir 1990-an, meskipun diskriminasi dan kekerasan terhadap etnis ini sudah terjadi sebelum era itu.

Penulis:  Sumanto al Qurtuby
Penulis: Sumanto al Qurtuby Foto: S. al Qurtuby

Dari aspek hubungan kultural dan kesejarahan dengan masyarakat Islam di Indonesia, Kurdi juga jauh lebih dekat daripada Rohingya. Ada cukup banyak ulama Kurdi yang menjadi panutan umat Islam di Indonesia.

Kitab Maulid al-Barzanji atau Barzanji yang sangat populer di Indonesia dan dilantunkan setiap malam Jum'at dan terutama di bulan Maulud itu ditulis oleh seorang ulama Kurdi bernama Syaikh Ja'far bin Husan al-Barzanji. "Al-Barzanji” adalah nama sebuah suku atau klan Kurdi di kawasan Sulaimaniyah di Irak Kurdistan. Kitab yang judul aslinya Iqd al-Jauhar fi Maulid al-Nabi al-Azhar yang berisi puji-pujian terhadap Nabi Muhammad itu telah disyarahi (dikomentari dalam sebuah kitab khusus) oleh berbagai ulama terkemuka termasuk Syaikh Ja'far bin Ismail al-Barzanji (mufti mazhab Syafii di Medina di abad ke-19), Syaikh Muhammad Ulaysh (mufti mazhab Maliki di Kairo di abad ke-19), dan Syaikh Nawawi al-Bantani (ulama Banten yang menetap di Makkah dan wafat tahun 1898).

Ulama Kurdi lain yang berengaruh adalah Shaikh Ibrahim al-Kurani yang menjadi guru sejumlah ulama Nusantara terkemuka seperti Syaikh Abdul Rauf al-Sinkili (Aceh) dan Syaikh Yusuf Makasar.

Mengapa perlakuannya berbeda?

Lalu, kenapa umat Islam di Indonesia khususnya sama sekali tidak tergerak untuk membela masyarakat Kurdi yang sudah seabad lebih berjuang mendirikan "Negara Kurdistan” tetapi tak kunjung terwujud menjadi kenyataan?

Jawabannya sangat sederhana:  tidak seperti Rohingya atau Palestina atau Mindanao, para pelaku tindakan kekerasan dan diskriminasi atas warga Kurdi adalah umat Islam dan rezim Muslim itu sendiri. Ini sama dengan yang menimpa warga Darfur di Sudan.

Sudah sangat lama, warga Kurdi menjadi korban penindasan, kekejaman, dan ketidakadilan. Puncaknya di zaman rezim Saddam Husain dari Partai Ba'ath yang berkuasa sejak 1979 dan tumbang tahun 2003, digempur pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat. Saddam dan tentaranya, dengan alasan "memerangi kelompok separatis”, telah mengobrak-abrik kawasan Kurdi dan membunuh puluhan ribu warga Kurdi termasuk meracun mereka dengan senjata kimia. Akibat kekejaman rezim Saddam inilah, banyak warga Kurdi Irak yang migrasi ke berbagai negara Barat, termasuk Amerika Serikat, di bawah perlindungan PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa).

Di Amerika, mereka banyak ditolong oleh berbagai kelompok relawan, termasuk komunitas gereja, untuk dicarikan tempat tinggal dan pekerjaan. Kini banyak dari mereka yang cukup makmur hidupnya dan bahkan mampu mendirikan masjid sendiri. Dulu, waktu saya tinggal di Harrisonburg, Virginia, saya sering berkunjung ke "Masjid Kurdi” ini ditemani oleh Imam Muhammad Kakahama Asykari, tokoh masyarakat Kurdi, yang sangat mengagumi Bung Karno dan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid).

Sesaat setelah Saddam tumbang, warga Kurdi menikmati sedikit kemajuan dan kemakmuran. Erbil, kota utama Kurdistan di Irak utara, sempat digadang-gadang menjadi "Dubai”-nya warga Kurdi. Berbagai pembangunan ekonomi, bisnis, dan infrastruktur sempat berjalan cukup baik selama beberapa tahun. Tetapi itu tak berumur lama. Sejak elit politik rezim pasca-Saddam terlibat konflik (antara faksi Sunni, Syiah, dan Kurdi) ditambah dengan anjloknya harga minyak di pasaran internasional, mimpi warga Kurdi menyulap Erbil menjadi "Dubai” masih menjadi mimpi. Situasi di kawasan Kurdi semakin memburuk sejak pejuang Kurdi terlibat baku-perang, baik dengan milisi ISIS maupun tentara Irak. Banyak warga Kurdi yang menjadi korban kebutralan milisi ISIS.

Nasib bangsa Kurdi dalam referendum

Meskipun sejak Saddam tumbang, Kurdi mendapat "jatah kekuasaan” di struktur baru pemerintahan Irak dan bahkan wilayah mayoritas Kurdi mendapat status semi-otonomi bernama "Kurdistan Regional Government” (KRG). Tetapi semua itu tidak membuat para elit politik dan warga Kurdi puas. Gairah untuk mendirikan sebuah negara otonom bagi "Bangsa Kurdi” yang bernama "Kurdistan” selalu berkobar-kobar.

Setelah menanti sekian lama, akhirnya pada tanggal 25 September 2017, KRG dan para elit politik Kurdi menggelar referendum untuk menentukan nasib "Bangsa Kurdi”. Hasil referendum itu menyatakan bahwa sekitar 93% warga Kurdi menyetujui pendirian negara baru bernama Kurdistan.

Bagi warga Kurdi, upaya mendirikan "negara otonom” ini bukanlah yang pertama dalam sejarah sosial-politik modern Bangsa Kurdi. Sudah beberapa kali para elit Kurdi di Irak memimpin gerakan politik guna mendirikan Negara Kurdistan yang independen. Tapi selalu gagal. Hal yang sama juga dialami oleh etnis Kurdi di Iran dan Turki, meskipun sudah jungkir-balik berusaha mendirikan kawasan otonom. Akibatnya, hingga kini, Kurdi masih menyandang status sebagai "bangsa tanpa negara” sebagaimana Rohingya, Berber, Darfur, dan lain sebagainya.  

Pada zaman kolonial Inggris, misalnya, Shaikh Mahmud Barzanji (1878–1956), seorang tokoh Sufi Qadiriyah, memimpin serangkaian pemberontakan melawan Inggris dan bahkan pada 1922 sempat mendirikan Kerajaan Kurdistan, meskipun usia kerajaan ini cuma dua tahun saja. Kelak, duo bersaudara Ahmad Barzani (1896–1969), seorang kepala suku Barzani di Irak utara, dan Mustafa Barzani (1903–79), seorang militer dan pemimpin Kurdistan Democratic Party, juga memimpin revolusi melawan rezim Irak. Tetapi berbagai usaha mendirikan negara otonom Kurdistan ini selalu gagal.

Sekarang, Masoud Barzani (putra Mustafa Barzani), presiden Iraqi Kurdistan Region sejak 2005, memimpin referendum untuk menentukan nasib Bangsa Kurdi ke depan. Meskipun lebih dari 90% meyatakan "YES” untuk pendirian Negara Kurdistan tetapi bukan berarti mimpi mendirikan negara independen ini segera terwujud menjadi kenyataan karena upaya ini hampir-hampir tidak mendapatkan dukungan dari negara-negara adi daya seperti Amerika Serikat dan juga negara-negara lain, termasuk negara yang mayoritas berpenduduk Muslim.

Apalagi negara-negara tetangga seperti Irak, Turki dan Iran sudah terang-terangan menolak dan bahkan mengancam Kurdi. Irak menolak karea khawatir kehilangan 1/3 wilayahnya, selain kantong-kantong minyak dan gas. Sementara Iran dan Turki khawatir karena pendirian Kurdistan bisa semakin memicu intensitas gerakan separatis Kurdi di kedua negara tersebut yang sudah bertahun-tahun ingin melepaskan diri dari cengkeraman rezim non-Kurdi. Turki bahkan akan mengancam memotong pipa minyak Kurdi-Turki yang selama ini menghasilkan sekitar $ 8 Milyar per tahun untuk ekonomi Kurdi. Negara-negara Arab juga tidak merespons positif karena pendirian Kurdistan akan menambah daftar konflik dan kepentingan regional di Timur Tengah.

Akibatnya, mimpi para elit politik Kurdi untuk mendirikan negara yang ke-194 (setelah Sudan Selatan yang bergabung pada tahun 2011) masih menjadi mimpi. Belum lagi para elit Kurdi sendiri masih berselisih karena terlalu dominannya "klan Barzani” di Kurdistan.

Terlepas dari upaya para elit politik mendirikan negara independen Kurdistan, kaum Muslim di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, memang sama sekali tidak menghiraukan nasib Bangsa Kurdi, terutama rakyat bawah, yang selama ini hidup dalam tekanan dan penderitaan. Slogan "Islam bersaudara” hanyalah slogan saja dan baru berbunyi nyaring kalau para pelaku penindasan atas umat Islam itu adalah "bangsa non-Muslim”, bukan "kalangan internal” umat Islam.

Padahal, banyak umat Islam di berbagai kawasan dari Asia Tengah dan Asia Selatan sampai Timur Tengah dan Asia Tenggara yang menjadi korban kekerasan oleh sesama Muslim sendiri hanya karena berbeda ideologi, mazhab, sekte, pemahaman keagamaan, interpretasi keislaman, atau bahkan karena perbedaan kepentingan politik dan ekonomi. Wallahu a'lam.       

Penulis:

Sumanto Al Qurtuby (ap/as)

Dosen Antropologi Budaya dan Direktur Scientific Research in Social Sciences, King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, serta Senior Scholar di National University of Singapore. Ia memperoleh gelar doktor dari Boston University dan pernah mendapat visiting fellowship dari University of Oxford, University of Notre Dame, dan Kyoto University. Ia telah menulis ratusan artikel ilmiah dan puluhan buku, antara lain Religious Violence and Conciliation in Indonesia (London & New York: Routledge, 2016)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.