1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Natal Jadi Momentum Perkuat Tali Persaudaraan

24 Desember 2019

Di tengah maraknya isu intoleransi, rohaniwan Romo Benny Susetyo berharap Hari Natal jadi momentum bangsa Indonesia mempererat tali persaudaraan. MUI juga imbau masyarakat agar arif dan bijaksana dalam sikapi perbedaan.

https://p.dw.com/p/3VGgl
Deutschland Berlin Gedenken Opfer Anschlag Breitscheidplatz
Foto: Getty Images/S. Gallup

Jelang Hari Raya Natal pada tanggal 25 Desember, rohaniwan Benny Susetyo menyampaikan bahwa Natal sejatinya menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk merajut tali persaudaraan. Di tengah isu intoleransi yang kian marak belakangan ini, pria yang akrab disapa Romo Benny ini mengimbau agar setiap individu dapat mengingat kembali semangat persatuan dalam diri masing-masing.

"Maka dalam perspektif umat Kristiani, Natal itu selalu terkait dengan Allah yang mau memberikan cinta-Nya kepada umat manusia agar umat manusia itu hidup saling bersahabat satu dengan yang lain. Tidak membedakan suku, agama, etnis. Jadi natal itu momentum bagi kita untuk merakit persaudaraan, meskipun berbeda agama, keyakinan, suku, etnis, kita tetap menjadi WNI yang mempunyai harapan bahwa persaudaraan itu akan memperkokoh persatuan," papar Romo Benny saat diwawancarai DW Indonesia, Senin (23/12).

Lebih lanjut ia menyoroti maraknya isu intoleransi yang terjadi di hampir seluruh dunia. Menurutnya intoleransi terjadi karena sempitnya pemahaman yang dimiliki individu-individu pelaku tindakan intoleran. Semakin eksklusif dirinya terhadap kelompoknya, semakin tertinggal pula pelaku tindakan intoleran di era keterbukaan sekarang ini.

"Intoleransi itu pemaksaan kehendak seseorang, dan itu mendominasi. Seseorang harus ikut dia (pelaku intoleran), kalau tidak ikut berarti lawan. Paham ini tumbuh karena pemahaman agama yang sempit yang tidak melihat situasi konteks zaman pada waktu itu. Terjadi terus karena akibat dari orang tidak mau belajar, saling memahami, saling mengerti pada dunia global," jelas Romo Benny.

Romo Benny lantas menyampaikan bahwa Hari Natal mencerminan kehidupan beragama laiknya sebuah bahari. "Karena nenek moyang kita pelaut, bahari, berarti laut itu tempat perjumpaan kultur budaya. Natal itu perjumpaan manusia dengan segala ragam suku, etnis, budaya, dan perjumpaan Allah dan manusia dengan sikap baru, yaitu tidak ekslusif, tidak menganggap dirinya paling benar, terbuka, sikap mau mendengar, dan menjadi bijak."

Baca jugaPemotongan Nisan Salib Cuatkan Isu Intoleransi di Yogyakarta

Teladani Natsir dan Kasimo

Kepada DW Indonesia, Romo Benny mengaku tidak mempermasalahkan polemik larangan pengucapan selamat Natal oleh umat Muslim. Dia berpendapat, pengucapan selamat Natal merupakan hak setiap umat agama lain dan tidak dapat dipaksakan.

Dia pun berharap masyarakat dapat meneladani dua tokoh nasional besar dalam menghargai perbedaan antar umat beragama di Indonesia. Kedua tokoh tersebut yaitu mantan pemimpin Partai Masyumi Mohammad Natsir dan pendiri Partai Katolik Indonesia Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono.

"Dalam cerita bukunya Natsir itu jelas menceritakan bahwa Kasimo itu orang pertama yang memberi selamat Hari Raya Lebaran ketika Shalat Ied selesai. Kasimo menunggu di situ sampai selesai lalu memberi selamat Hari Lebaran. Sebaliknya Kasimo memberi kesaksian bahwa Natsir adalah orang pertama yang memberikan selamat Natal," papar Staf Khusus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) ini.

Ramai menjadi perbincangan hangat ketika Sekretaris MUI Jatim Mocahamad Yunus memberikan imbauan bagi umat Muslim untuk tidak memberikan ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani.

Baca jugaMUI Jatim Sebut Salam Pembuka Semua Agama Bukan Wujud Toleransi

Saat dikonfirmasi, Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid menjelaskan hingga detik ini MUI Pusat belum pernah mengeluarkan fatwa tentang memberi ucapan selamat Natal kepada umat Kristiani. MUI pun mengembalikan masalah ini kepada umat Islam untuk mengikuti pendapat ulama yang sesuai dengan keyakinan mereka.

"MUI menghormati pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengucapkan selamat Natal itu hukumnya haram atau dilarang oleh agama. Hal itu didasarkan pada argumentasi bahwa mengucapkan selamat natal itu bagian dari keyakinan agamanya. Begitu juga sebaliknya MUI menghormati pendapat ulama yang menyatakan bahwa mengucapkan selamat natal itu hukumnya mubah atau boleh dan tidak dilarang oleh agama, karena didasarkan pada argumentasi bahwa hal itu bukan bagian dari keyakinan agama tetapi sebatas memberikan penghormatan atas dasar hubungan kekerabatan, bertetangga, dan relasi antarumat manusia," jelas Zainut kepada DW Indonesia, Senin (23/12).

Zainut pun mengimbau kepada masyarakat untuk arif dan bijaksana dalam menyikapi perbedaan pendapat tersebut dan tidak menjadikannya polemik berkepanjangan.

"MUI berpesan kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk terus menjaga dan memelihara kerukunan dan persaudaraan (ukhuwah) diantara sesama anak bangsa. Baik persaudaraan keislaman (ukhuwah Islamiyah), persaudaraan atas dasar kemanusiaan (ukhuwah basyariyah) maupun persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathaniyyah). Demi terciptanya kehidupan masyarakat yang harmonis, rukun, dan damai," terang Zainut.

Larangan Natal di Sumatera Barat

Sebelumnya juga muncul kabar adanya larangan pelaksanaan Natal di Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Namun, Menteri Agama Fachrul Razi menjelaskan tidak dizinkannya perayaan Natal di Dharmasraya karena adanya kesepakatan bersama. Hal ini dikarenakan tidak adanya gereja di wilayah tersebut.

"Bapak tanya ke Kanwilnya, katanya itu kesepakatan yang sudah lama. Karena di sana tidak ada gereja, maka memang Natal itu disepakati dari dulu memang di Sawahlunto, bukan di dua kabupaten itu. Karena di dua kabupaten itu tidak ada gerejanya. Menurut penjelasan Kanwil," ujar Fachrul dilansir Detiknews (21/12).

Fachri pun tidak menjelaskan lebih lanjut rincian dari kesepakatan tersebut. Sementara itu aktivis Yenny Wahid meminta pemerintah untuk kembali meninjau kesepakatan tersebut. Yenny menduga tidak adanya gereja di kedua kawasan tersebut karena adanya paksaan.

"Kesepakatan atau pemaksaan. Itu yang harus ditanya dulu. Kalau kesepakatan, tapi relasinya timpang, itu bukan kesepakatan, itu pemaksaan. Kesepakatan terjadi ketika relasinya setara. Ditanya dulu, apakah relasi ketika kesepakatan terjadi, itu relasinya setara atau timpang," ujar anak kedua Gus Dur tersebut dilansir Kumparan (22/12).

Baca jugaPancasila Menjamin Kehidupan Keberagaman di Indonesia

Menanggapi ini, Benny Susetyo rohaniwan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) mengatakan bahwa negara telah menjamin kebebasan setiap warganya untuk menjalankan ibadah. Dia menilai adanya larangan perayaan Natal di Dharmasraya dan di Sijunjung dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah mufakat.

"Kuncinya negara sejahtera itu kalau masyarakatnya bersatu, masyarakatnya punya visi yang sama, kalau masyarakatnya mau menciptakan hidup dalam persaudaaran sejati lewat musayawarah mufakat," jelas Romo Benny sekaligus mengakhiri wawancara dengan DW Indonesia.

rap/hp (dari berbagai sumber)