1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

251010 Nigeria Machtkämpfe

26 Oktober 2010

Sejak berminggu-minggu diperdebatkan, kapan Nigeria akan gelar pemilu presiden dan parlemen daerah serta dapatkah partai pemerintah kembali mencalonkan seorang yang beragama Kristen sebagai presiden.

https://p.dw.com/p/Po4F
Presiden Nigeria Jonathan GoodluckFoto: AP

Empat bulan lalu, Juni, situasi di Nigeria begitu optimis. Presiden Goodluck Jonathan, pengganti Umaru Yar'adua yang wafat beberapa pekan sebelumnya, mengangkat Attahiru Jega sebagai ketua komisi pemilu independen nasional (INEC). Jega adalah rektor Universitas Bayero, cendekiawan yang dikenal jujur dan tak bisa disuap. Namun tiga bulan kemudian, September, Jega terjebak di tengah pertarungan kekuasaan elit politik.

Di depan parlemen, ia memohon agar pemilu yang dijadwalkan Januari mendatang, ditunda. "Sebagai komisi pemilu kami berulangkali menekankan, kami bekerja dalam kerangka waktu yang ditetapkan oleh konstitusi dan undang-undang pemilu. Kami juga terus menerus menerangkan bahwa jika lebih banyak waktu yang kami miliki, maka lebih baik pula hasil yang dicapai, baik dalam pendaftaran maupun pelaksanaan pemilu 2011."

Waktu pelaksanaan pemilu juga merupakan topik sengketa politik. Jadwal semula, Januari, seharusnya memberi cukup waktu jika harus dilakukan pemilu putaran ke dua, kata para pendukung. Sementara para pengkritik melihat jadwal pemilu Januari sebagai upaya untuk membatasi waktu bagi kubu oposisi.

Tapi yang lebih menggelisahkan rakyat Nigeria adalah pertanyaan, setelah Presiden Yar'adua yang muslim menjabat hanya tiga tahun, bolehkah wakil dan penerusnya Goodluck Jonathan, seorang Kristen, mengikuti pemilihan presiden lagi?

Setelah Nigeria kembali ke sistem demokrasi tahun 1999, kursi presiden diduduki Olusegun Obasanjo, penganut Kristen dari barat daya negara itu, selama delapan tahun. Karena itu, mayoritas politisi dari Nigeria utara meminta agar presiden berikutnya seorang muslim. Agama dan daerah asal kandidat presiden mempengaruhi emosi lebih dari sebelumnya.

Hal ini juga diamati Hussaini Abdu, kepala organisasi internasional ActionAid untuk wilayah Nigeria. "Saat ini Nigeria makin terpecah belah akibat masalah ini. Kondisinya sangat tidak sehat. Tapi saya yakin, sebagaimana diatur oleh golongan berpengaruh di Nigeria, akan disepakati konsensus, darimana seharusnya presiden berasal.“

Abdu meyakini, jika semua pihak melihat bahwa kepentingan pribadi mereka terlindungi, maka pada akhirnya mereka akan bersatu. Tapi itu tidak berhubungan dengan kepentingan rakyat Nigeria.

Tampaknya hanya serangan kelompok bersenjata baru-baru ini saja yang mengganggu pertarungan kekuasaan di dalam negeri. Kelompok pemberontak MEND dari Delta Niger meledakkan bom di ibukota. Dan di timur laut Nigeria, kelompok radikal Islam "Boko Haram" yang menguat kembali, membunuh polisi dan politisi dalam aksi mingguan.

Abubakar Tsav, mantan wakil kepala polisi Nigeria melihat aksi kekerasan itu sebagai bagian dari pertarungan politik mengatakan, "Kami yakin pihak politisi ada di balik masalah ini. Orang-orang ini harus dimintai tanggungjawab. Tapi di negeri ini, orang yang menduduki jabatan politik mengira bisa berkuasa atas hukum.“

Pengaruh asing, semisal Al Qaida, ditolak para pengamat. Juga tidak ada bukti, meskipun jaringan teror internasional menyatakan aktif di Nigeria. Banyak kelompok bersenjata menancapkan akar dalam pemilu-pemilu sebelumnya, saat para politisi membentuk mereka sebagai pasukan pribadi. Mereka selalu menemukan sukarelawan dari kalangan remaja yang tak punya perspektif. Karena itu para aktivis HAM sepakat, kekerasan di negeri itu hanya bisa di redam, jika kalangan elit menempatkan masalah sosial sebagai pusat perhatian politik mereka, dan bukannya terus membagi-bagi rakyat berdasarkan etnis dan agama.

Thomas Mösch/Renata Permadi

Editor: Yuniman Farid