1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

Wawancara 'Komandan Nyamuk' tentang Wolbachia guna Lawan DBD

5 Desember 2023

Nyamuk wolbachia bisa tekan biaya pemberantasan DBD jika diterapkan di area padat penduduk dengan tingkat dengue tinggi, ujar Profesor Adi Utarini sang 'Komandan Nyamuk'.

https://p.dw.com/p/4Zlj1
Ilustrasi nyamuk di kulit manusia
Ilustrasi nyamuk di kulit manusiaFoto: H. Schmidbauer/blickwinkel/picture alliance

Di Indonesia, demam berdarah pertama dilaporkan pada 1968 di dua dari 29 Provinsi di Indonesia kala itu. Mengutip laman Laporan Tahunan 2022 tentang Demam Berdarah Dengue (DBD), sejak 2005 hingga sekarang, kejadian dengue terus meningkat hingga mencapai puncaknya pada tahun 2016. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, artinya jumlah kasus dengue meningkat.

Hanya saja, meningkatnya kejadian dengue tidak diikuti dengan pola angka kematian tinggi. Angka kematian akibat dbd yang mencapai 41,3% pada awal ditemukannya penyakit ini telah menurun drastis menjadi kurang dari 1% sejak 2008 sampai saat ini.

Sejauh ini, pencegahan demam berdarah yang sering dilakukan adalah dengan 3M (menguras, mengubur, dan menutup). Namun ada teknologi baru, yang belakangan kontroversial di Indonesia, untuk menekan angka penderita dbd dan angka rawat inap, yakni dengan menggunakan bakteri wolbachia.

Apa itu wolbachia?

Nama wolbachia belakangan jadi buah bibir lantaran digaungkan sebagai cara mencegah demam berdarah dengue. Cara ini dianggap kontroversial karena nyamuk pembawa virus penyakit penyebab demam berdarah (Aedes aegypti) digunakan sebagai inang (induk) bakteri ini untuk memerangi penyakit tersebut. Dengan kata lain nyamuk Aedes vs nyamuk Aedes 'Wolbachia.'

"Wolbachia itu sebenarnya adalah bakteri alami. Bakteri ini ada di alam dan biasanya parasit serangga, misalnya ngengat, kupu-kupu, lalat buah, dan lainnya. Tapi dia tidak ada di nyamuk demam berdarah. Yang dipakai untuk (dimasukkan ke nyamuk pembawa) demam berdarah ini adalah dari lalat buah," kata Profesor Adi Utarini, kepala penelitian nyamuk Aedes 'wolbachia' aegypti di Universitas Gadjah Mada, (UGM), Yogyakarta.

Profesor Adi Utarini dari UGM
Profesor Adi Utarini dari UGMFoto: privat

Mengutip laman web World Mosquito Program, bakteri wolbachia ditemukan sejak 1924. Di 1980, Profesor Scott O'Neil dari University of Queensland, Australia mulai meneliti wolbachia dan dengue. Akhirnya, di 1994, bakteri wolbachia sukses 'dipindahkan' ke tubuh inang lainnya dalam satu spesies serangga. 

Pada 1997, Seymour Benzer, seorang ahli biologi molekuler terkenal, menerbitkan makalah yang melaporkan penemuan strain wolbachia yang dapat memperpendek umur lalat buah Drosophila.

Profesor O'Neill membaca makalah Benzer dan menyadari bahwa umur adalah hal penting dalam epidemiologi penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Ia terinspirasi untuk memperkenalkan varian popcorn ke populasi nyamuk untuk memperpendek umur nyamuk. Dengan cara ini, bahkan pengurangan kecil umur nyamuk pun bisa berdampak besar pada penyakit manusia.

Hubungan wolbachia dengan DBD?

Hubungan antara wolbachia dan demam berdarah mulai ditemukan pada 2009. Para peneliti World Mosquito Program (WMP) menemukan bahwa nyamuk pembawa demam berdarah secara konsisten menularkan wolbachia kepada keturunannya. Selain itu, mereka juga menemukan bahwa bakteri wolbachia sebenarnya mencegah replikasi demam berdarah.

"Penemuan ini mengubah fokus penelitian kami. Kita tidak perlu lagi memperpendek umur nyamuk. Jika nyamuk hidup normal, mereka mempunyai lebih banyak waktu untuk berkembang biak dan menularkan wolbachia, yang menghentikan virus (penyebab demam berdarah) agar tidak berpindah dari nyamuk ke manusia," tulis WMP di situs resminya.

"Metode ini mempunyai potensi untuk bertahan sendiri karena nyamuk terus menyebarkan wolbachia dari satu generasi ke generasi berikutnya, tanpa perlu terus-menerus memperkenalkan kembali nyamuk baru yang terinfeksi wolbachia," menurut WMP.

Uji coba wolbachia di Indonesia

Hingga saat ini sudah ada empat fase penelitian terkait wolbacia yang berlangsung di Yogyakarta. Fase pertama dimulai pada 2011-2012, fase 2 dilakukan 2013-2015 untuk melihat keamanan bakteri, penerimaan masyarakat. Sedangkan fase 3 dimulai pada 2016-2020 untuk melihat studi dampak yang dilakukan bersama dengan pemerintah daerah dan dinas kesehatan di Kabupaten Sleman. Fase 4 dimulai pada 2021-2022 sebagai fase implementasi di Kabupaten Sleman dan Bantul, Yogyakarta. 

"Di fase dua ini ada peran dari Kementerian Kesehatan, setelah selesai kemudian tim independen dari Kemenristek Dikti dan Balitbankes membentuk analisis risiko untuk melihat keamanannya. Saat trial itu ada steering comitte, kalau ada hal yang dianggap tidak aman maka mereka akan jadi traffic light-nya, mereka yang memutuskan lanjut atau tidaknya," ujar Profesor Adi Utarini, yang biasa disapa Uut.

Peran masyarakat sendiri diperlukan untuk pelepasan nyamuk wolbachia. Ia mengungkapkan bahwa warga diberikan telur nyamuk wolbachia dalam ember yang sudah diberi pakan dan diisi satu liter air. Dalam 10 hari, nyamuk ini akan berkembang menjadi nyamuk dewasa dan dilepas ke alam. Ember ini akan diganti setiap dua minggu selama 6 bulan.

"Itu cara pelepasan nyamuknya. Jadi jangan dibayangkan bakal melepas bareng 1-2 juta nyamuk sekaligus. Tidak begitu teknisnya."

"Pelepasan itu selama 6-7 bulan dengan skala wilayah tertentu, itu wolbachia sudah 60% itu sudah bisa berkembang biak alami. Kalau sudah 80% lebih, nyamuk di area itu sudah wol, maka dia sudah boleh bekerja menekan dengue."

Filipina Ujicoba Imunisasi Demam Berdarah Dengue

"Nyamuk wolbachia ini bisa cost effective jika diterapkan di area dengan tingkat dengue tinggi dan populasi padat penduduk," Ujar Uut yang dijuluki 'Komandan Nyamuk' karena penelitiannya ini.

Setelah implementasi selesai, hasil menyebutkan bahwa nyamuk wolbachia ini bisa menurunkan 77% kasus dengue dan 86% penurunan angka rawat inap.

Berkat penelitian dan implementasinya Uut pun diganjar beberapa penghargaan. Penghargaan pertamanya adalah Habibie Awards di 2019. Di 2020 dia juga mendapatkan penghargaan dalam 10 People Who Help Science dari Nature Journal, dan di 2021 dia terpilih menjadi 100 Most Influential People of 2021 dari Majalah Time.

"Dampaknya ya orang-orang jadi lebih appreciate penelitian ini sih," katanya diiringi tawa.

Wolbachia rekayasa genetika?

Uut menyadari bahwa hadirnya teknologi baru berpotensi mengundang kesalahpahaman dan kontroversi. Salah satunya anggapan bahwa nyamuk wolbachia adalah bagian dari rekayasa genetika untuk mencegah demam berdarah.

"Tidak ada proses rekayasa genetika dalam penelitian ini karena wolnya sama persis dengan wolbachia yang ada di inangnya. Bakterinya dari lalat buah juga punya karakter yang sama persis, lalu nyamuk yang sudah ada wolbachia-nya juga sama persis dengan nyamuk yang tidak ada wolbachianya." 

Terkait isu ini, Uut juga menambahkan bahwa pernyataan bakteri ini bukan bagian dari rekayasa genetic juga ditetapkan oleh Badan Regulasi Australia sampai CDC.

"Memang ada penyakit lain yang menggunakan rekayasa genetika, tapi itu pun bukan di Indonesia. Misalnya malaria, saat ini sedang dikembangkan untuk masalah di Afrika. Ini mungkin yang sering tertukar."

"Wolbachia itu tidak mengubah perilaku manusia. Wolbachia ini menekan virus demam berdarah. Tidak mengubah ekosistem, tetap ada di alam, cuma di tubuhnya ada wolbachia. ... Kalau tergigit bagaimana? Ya tergantung reaksi masing-masing orang, tapi yang pasti bukan dengue."

Kontroversi lain seputar wolbachia

Salah kaprah lainnya yang sering terdengar olehnya adalah perkara 'nyamuk impor' yang dibawa masuk dan dilepaskan di Indonesia.

"Jadi begini, di 2011 memang peneliti Australia yang berhasil yang berhasil menginjeksikan wolbachia ke nyamuk. Kami bawa telur nyamuk berwolbachia, itu sesuai regulasi dan aturan Indonesia. Nyamuk ini kemudian dikawinsilangkan dengan nyamuk di Jogja, sampai sekian generasi. Kawin silang ini dilakukan sampai nyamuk berwolbachia ini sama persis karakternya dengan nyamuk aedes lokal.

"Lalu kalau dibilang tambah jumlah nyamuk, ya emang nambah jumah nyamuk tapi nambahnya enggak sampai 10% yang ada di alam. Selama tes ini juga tidak ada banyak orang yang protes karena tidak nyaman jadi banyak nyamuk. Tapi itu bukan jadi keluhan utama."

Tak cuma itu, baru-baru ini muncul kontroversi akibat video dari mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari terkait wolbachia. Melihat hal ini, Uut juga hanya mengungkapkan keprihatinannya.

"Kalau saya menyayangkan. Di satu sisi kami respect ke menkes dan mantan-mantan menkes, tapi kan apa susahnya tanya saja ke menkes sekarang, apa betul ini rekayasa, lalu menkes diminta menjelaskan. Antara mereka 'kan harusnya mudah. Mungkin ada ada pihak-pihak yang mengambil kesempatan di luar sains, kalau saintis berdebat kan tidak begitu caranya. Saintis tidak harus sepakat, tapi caranya tidak begitu." (ae)

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif yang kami pilih setiap Rabu untuk kamu. Daftarkan e-mail kamu untuk berlangganan Newsletter mingguan Wednesday Bite.

C. Andhika S. Detail, humanis, dan tidak ambigu menjadi pedoman saya dalam membuat artikel yang berkualitas.