1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Oposisi Myanmar Senang Junta Militer Tak Diundang KTT ASEAN

18 Oktober 2021

Oposisi Myanmar menyambut baik dikeluarkannya pemimpin junta Min Aung Hlaing dari KTT ASEAN. ASEAN akan undang perwakilan non-politik dari Myanmar ke KTT, tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya setelah kudeta.

https://p.dw.com/p/41nW4
Min Aung Hlaing
Pemimpin junta Min Aung Hlaing dikeluarkan dari KTT ASEAN yang akan datangFoto: AP/picture alliance

Pemerintah bayangan Myanmar yang dibentuk oleh penentang militer yang berkuasa, pada Senin (18/10), menyambut baik keputusan dikeluarkannya pemimpin junta Min Aung Hlaing dari KTT ASEAN.

Namun, oposisi mengatakan akan menerima undangan perwakilan alternatif Myanmar yang benar-benar netral, seperti yang diputuskan akhir pekan lalu oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN).

ASEAN akan mengundang perwakilan non-politik dari Myanmar ke KTT 26-28 Oktober, tindakan yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada para pemimpin militer, setelah kudeta 1 Februari terhadap pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi.

Oposisi Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), yang telah dilarang oleh junta, mengatakan tokoh non-politik yang menghadiri KTT tidak boleh menjadi perwakilan junta yang menyamar.

"ASEAN mengecualikan Min Aung Hlaing merupakan langkah penting, tetapi kami meminta agar mereka mengakui kami sebagai perwakilan yang tepat," kata juru bicaranya, Dr. Sasa. 

Brunei, ketua ASEAN saat ini, mengeluarkan pernyataan yang mengutip kurangnya kemajuan yang dibuat pada peta jalan yang telah disepakati junta dengan ASEAN pada bulan April untuk memulihkan perdamaian di Myanmar.

Seorang juru bicara pemerintah militer Myanmar menyalahkan "intervensi asing" atas keputusan yang disebut bertentangan dengan tujuan ASEAN, Piagam ASEAN dan prinsip-prinsipnya.

Myanmar saat ini masih berada dalam kekacauan sejak kudeta, yang mengakhiri satu dekade demokrasi dan reformasi ekonomi. Ribuan penentang kudeta telah ditangkap, termasuk San Suu Kyi.

Pasukan keamanan telah membunuh lebih dari 1.100 orang, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP), sebuah kelompok aktivis yang melacak penangkapan dan pembunuhan tersebut. Militer menyebut lawannya sebagai "teroris".

pkp/yp  (Reuters)