1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Organisasi HAM Kecam RUU Organisasi Nirlaba Thailand

Emmy Sasipornkarn
30 April 2021

Pemerintah Thailand sedang bersiap mengesahkan undang-undang yang menargetkan organisasi nirlaba atas nama transparansi. Organisasi HAM mengecam RUU tersebut karena dianggap membatasi kebebasan sipil.

https://p.dw.com/p/3smGp
RUU Operasi Organisasi Nirlaba dinilai sebagai mekanisme membungkam kebebasan LSM
RUU Operasi Organisasi Nirlaba dinilai sebagai mekanisme membungkam kebebasan LSMFoto: Athit Perawongmetha/REUTERS

Kelompok hak asasi manusia mengutuk RUU Thailand tentang Operasi Organisasi Nirlaba sebagai mekanisme "terselubung" untuk membungkam kelompok masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah (LSM).

Jika disahkan, undang-undang tersebut akan mewajibkan setiap organisasi masyarakat sipil untuk mendaftar ke Kementerian Dalam Negeri. Mereka harus menyatakan sumber dana operasional tahunan dan memberikan laporan keuangan mereka yang telah diaudit.

Wakil juru bicara pemerintah Rachada Dhnadirek menjelaskan kebijakan tersebut adalah mekanisme yang dimaksudkan untuk "mendorong transparansi dan akuntabilitas" organisasi nirlaba, "bukan untuk membungkam kegiatan mereka."

Dhnadirek mengungkapkan bahwa ada banyak LSM di Thailand tetapi hanya 87 LSM yang terdaftar, sehingga pemerintah tidak dapat mengawasi mereka.

Organisasi HAM Amnesty International mengecam rancangan undang-undang tersebut. Mereka mengatakan kebijakan ini akan memberi otoritas Thailand kekuatan baru untuk membatasi pendanaan asing dan kegiatan LSM, memerintahkan pengawasan dan penggeledahan kantor LSM dan anggotanya tanpa pengawasan yudisial.

Undang-undang tersebut juga akan memungkinkan pihak berwenang untuk menahan perwakilan LSM dan melabeli LSM yang tidak terdaftar sebagai organisasi ilegal.

Josef Benedict, seorang peneliti di aliansi masyarakat sipil global CIVICUS Monitor, mengatakan kepada DW bahwa undang-undang tersebut adalah "upaya lain pemerintah Thailand untuk membatasi atau menutup kelompok masyarakat sipil yang kritis dengan memperkenalkan persyaratan sewenang-wenang, menekan sumber pendanaan mereka dan menciptakan lingkungan yang tidak bersahabat bagi mereka untuk beroperasi."

Benedict menggambarkan kebijakan terbaru Bangkok sebagai upaya untuk "membungkam kritik terhadap negara."

"Pihak berwenang telah meningkatkan tindakan keras mereka terhadap protes pro-demokrasi yang dipimpin mahasiswa, dan berusaha untuk memberangus media dan membungkam kritik online," tambahnya, merujuk pada demonstrasi yang dipimpin kaum muda Thailand selama setahun terakhir.

Banyak interpretasi

Benedict juga menyorot narasi yang ada dalam RUU yang dinilainya menimbulkan kekhawatiran. Bagian 5, misalnya, mensyaratkan LSM untuk "bertindak sesuai dengan kriteria, metode dan kondisi" yang ditentukan oleh menteri pemerintah.

"Tidak ada kriteria, metode, atau kondisi yang ditentukan atau didefinisikan, membiarkan ketentuan ini terbuka untuk diinterpretasikan dan tunduk pada penerapan sewenang-wenang oleh pihak berwenang," tegas Benedict.

Bagi mereka yang melanggar peraturan ini terancam menghadapi hukuman lima tahun penjara atau denda hingga 100.000 baht (Rp 44,8 juta), atau keduanya.

Komisi Juri Internasional (ICJ) yang bermarkas di Jenewa mengkritik betapa cepatnya undang-undang ini dibahas. Kabinet Thailand telah menyetujui undang-undang yang diusulkan pada 23 Februari lalu. Rapat dengar pendapat umum kemudian dilakukan pada kurun 12 hingga 31 Maret, jangka waktu yang disebut ICJ "sangat ketat".

`Tindakan keras terhadap perbedaan pendapat`

Emerlynne Gil, Wakil Direktur Regional untuk Riset Amnesty International, memperingatkan bahwa undang-undang tersebut juga dapat digunakan untuk menargetkan lebih banyak kelompok yang berpotensi dapat didefinisikan sebagai organisasi nirlaba.

Undang-undang ini akan memberi otoritas Thailand "kekuasaan dan kebebasan untuk menegakkan ketentuan secara sewenang-wenang dan dengan diskriminasi kepada mereka yang memiliki pandangan berlawanan dengan pemerintah," kata Gil.

Sementara itu Drektur Divisi Asia Human Rights Watch Brad Adams menilai bahwa undang-undang tersebut hanyalah upaya terbaru oleh pemerintah Thailand untuk menindak suara-suara yang tidak setuju dan membungkam kebebasan berbicara.

"Alih-alih menyadari bahwa mereka tidak populer karena telah membunuh demokrasi, dan anak muda takut akan masa depan mereka, pemerintah berpikir jika membungkam LSM, masalah mereka akan hilang. Mereka salah,” kata Adams kepada DW.

Kudeta militer Thailand pada tahun 2014 membawa perdana menteri saat ini Prayut Chan-o-cha ke puncak kekuasaan. Sejak saat itu, kebebasan sipil dan hak-hak fundamental menjadi semakin terbatas di negara tersebut. Di Thailand, kritik terhadap raja dan monarki jadi hal yang tabu. Pelanggarnya bisa dijerat dengan Undang-Undang Lese Majeste dengan ancaman pidana 3-15 tahun penjara.

Ed: rap/hp