1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

OTT KPK, Mahar Politik dan Wacana Evaluasi Pilkada Langsung

19 November 2019

Mendagri Tito Karnavian berencana mengevaluasi pilkada langsung karena telah menelan biaya politik yang tinggi. Banyak kepala daerah tertangkap tangan oleh KPK karena korupsi demi mengembalikan modal, ujar Tito.

https://p.dw.com/p/3TIAi
Indonesien Tito Karanvian
Foto: Getty Images/AFP/R. Gacad

Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian menyebut bahwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bukanlah prestasi. Ia menyebut, gampang saja bagi KPK menangkap pejabat daerah yang berpotensi korupsi, karena memang rentan dilakukan demi mengembalikan modal tinggi yang mereka keluarkan saat pemilihan kepala daerah (pilkada).

"Ongkos tinggi itu membuat dia cari balik modal. Sehingga, ya, tinggal menggunakan teknik-teknik intelijen, investigasi, mentarget kepala daerah, sangat mudah sekali. Pasti akan korupsi. Jadi bagi saya, OTT kepala daerah bukan prestasi yang hebat,” ujarnya seperti dikutip dari Tempo.

Tito bahkan menegaskan akan memberi hormat pada calon kepala daerah yang rela tekor.

Sementara, juru bicara KPK, Febri Diansyah menjelaskan bahwa OTT kepala daerah dilakukan agar pemerintah semakin serius memperhatikan pendanaan kontestasi politik.

"Upaya pencegahan juga dilakukan selain agar resiko korupsi bisa lebih ditekan, KPK juga berharap masyarakat lebih menikmati anggaran yang dialokasikan ke daerah," ujar Febri seperti dilansir dari Tempo.

Baca juga: Jokowi: Menteri dan Pejabat Yang Tidak Serius, Tidak Akan Diberi Ampun

Nasdem: Kami satu-satunya partai tak ada biaya mahar

Sementara politikus Partai NasDem, Taufiqulhadi, membantah pernyataan Mendagri yang mengatakan untuk menjadi kepala daerah pasti butuh biaya tinggi. Ia mengatakan partainya tidak pernah sedikit pun meminta calon kepala daerah untuk mengeluarkan biaya.

“Seribu persen benar, kami adalah satu-satunya partai, saya ingin mengklaim, yang tidak pernah meminta mahar kepada calon kepala daerah yang kami dukung,” ujarnya kepada DW Indonesia.

Namun ia setuju bila ada usulan untuk mengevaluasi pelaksanaan pilkada, atau alternatif mencari solusi masalah-masalah pilkada selama tujuannya positif.

“Karena kenapa? Kami beranggapan kalau kami meminta mahar kepada kepala daerah, maka kepala daerah itu akan membebani rakyat karena korupsi akan terus terjadi,” tambahnya.

Taufiqulhadi menganggap perputaran itu akan terus terjadi bila tidak segera dihentikan.

Menurutnya, NasDem tidak melakukan praktek mahar agar calon kepala daerah yang terpilih nantinya bisa leluasa melakukan janji kampanyenya.

“Jadi Partai NasDem tidak menarik mahar, tapi kami tidak yakin dengan partai-partai-partai lain. Jadi partai (NasDem) berbuat seperti itu tidak juga mengurangi implikasi terhadap partai-partai lain, jadi harus kita perbaiki semuanya," imbuhnya.

Symbolbild Indonesien Wahlen
Pemilihan Kepala Daerah di Desa Kahju, Aceh.Foto: picture-alliance/dpa

"Pilkada tidak langsung juga bukan pilihan"

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhan mengatakan wacana evaluasi pilkada adalah langkah penting untuk memetakan persoalan penyelenggaraan demokrasi di tingkat lokal agar lebih berkualitas dari sisi penyelenggara, peserta hingga pemilih.

Namun ia mengatakan bahwa wacana pemilhan kepala daerah tidak langsung adalah kesimpulan prematur atas keinginan pemerintah yang baru akan melakukan evaluasi.

“Ada kesan seolah-olah mengarahkan persoalan pilkada berbiaya mahal (high cost) hanya kepada pemilih. Faktor politik uang dituding menjadi biang persoalan. Penilaian ini tidak komprehensif sebab melupakan persoalan jual beli pencalonan (candidacy buying/mahar politik) sebagai salah satu masalah utama,” ujar Kurnia lewat pernyataan tertulisnya kepada DW Indonesia.

Di lain sisi, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan biaya politik pilkada tidak langsung tidak pernah terungkap jelas, akibat ruang kontestasi yang relatif tertutup juga minim transparansi. Selain itu pilkada tidak langsung juga hanya melibatkan segelintir orang sehingga publik hanya mampu menangkap bagian permukaannya saja.

“Dulu mengapa kita beralih dari tidak langsung ke langsung salah satunya karena ingin mengatasi politik transaksional dalam ruang gelap pemilihan oleh DPRD. Dugaan terjadinya suap menyuap begitu kental,” ujar Titi.

Titi menuturkan bahwa laporan formal dana kampanye paslon ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah, nyatanya tidak mencerminkan ‘politik biaya tinggi’.

“Politik biaya tinggi itu ada di pos-pos ilegal dan diluar skema akuntabilitas kampanye. Misal biaya mahar politik dan jual beli suara,” tegasnya.

Bila evaluasi pilkada menyasar pada perubahan yang sebelumnya pilkada langsung menjadi tidak langsung, maka akan membuat transaksi-transaksi politik semakin leluasa karena rawan terjadi di ruang-ruang yang lebih ‘gelap’ yang melibatkan segelintir orang yang membuat keputusan secara elitis, ujar Titi.

Mendagri ditantang reformasi kepartaian

ICW menantang Mendagri untuk melakukan reformasi kepartaian sebelum mengubah format pilkada. Pembenahan partai dinilai menjadi prasyarat utama sebelum mengubah model pilkada. Tanpa adanya pembenahan partai, tidak akan pernah menyelesaikan persoalan politik yang berbiaya mahal tersebut.

“Inisiatif pembenahan partai secara kolektif justru sering didorong oleh KPK dan masyarakat sipil. Namun sejauh ini, belum ada respon konkret dari pemerintah untuk menindaklanjuti berbagai konsep pembenahan partai agar menjadi demokratis, modern dan akuntabel,” tambah Kurnia Ramadhan dari ICW.

Diketahui pemilihan kepala daerah oleh DPRD merupakan sistem pemilihan yang diterapkan pemerintahan era Presiden Soeharto. Namun pada 2005 atau sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sistem pemilihan kepala daerah diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat.

(pkp/ae)