1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pöttering: Islam Damai Adalah Mitra Kami

Diana Hodali23 Agustus 2013

Mantan Ketua Parlemen Eropa, Hans Gerd Pöttering berharap, pihak-pihak yang bertikai di Mesir akan menerima tawaran berdialog. Wawancara DW tentang situasi di Mesir.

https://p.dw.com/p/19V0V
Der Vorsitzende der Konrad-Adenauer-Stiftung, Hans-Gert Pöttering (CDU), 01.10.2012 in Bonn.
Hans-Gert PötteringFoto: picture-alliance/dpa

Deutsche Welle: Uni Eropa memutuskan untuk sementara menghentikan ekspor senjata ke Mesir. Menurut Anda, apakah militer dan pemerintahan transisi di Mesir akan melihat langkah ini sebagai sinyal dari Eropa?

Hans Gert Pöttering: Yang penting bukan tentang penghentian ekspor senjata. Ini adalah sinyal politik. Uni Eropa ingin agar prinsip demokrasi, kebebasan dan negara hukum diberi peluang. Terutama harus ada peluang bagi kelompok-kelompok yang bertikai di Mesir untuk berunding. Jadi penghentian ekspor senjata sebenarnya menegaskan sikap itu. Saya berharap, pimpinan militer bisa menerima sinyal ini.

Tapi militer di Kairo bisa saja mengatakan, mereka tidak perlu Eropa karena akan ada bantuan dari Saudi Arabia?

Jika Mesir ingin punya masa depan, negara itu harus bersikap terbuka. Mesir punya kepentingan besar, tentunya kita juga, untuk menjaga hubungan dengan Eropa, terutama karena sudah ada perjanjian kerjasama sejak tahun 2004. Jadi, sekalipun Mesir punya hubungan baik dengan Saudi Arabia, penting juga menjaga hubungan dengan Eropa. Kami harap hal ini terjalin lebih baik di masa depan.

Uni Eropa mengatakan, mereka berpihak pada demokrasi, Apa artinya pernyataan itu?

Saya bulan Februari 2011 ada di lapangan Tahrir bersama banyak orang muda yang mengatakan, mereka ingin hidup dengan bermartabat. Mereka ingin menentukan sendiri masa depan mereka, dan hidup dalam kebebasan. Mereka ingin demokrasi dan ingin hidup dalam negara hukum. Kita berada di pihak mereka. Tentu, sebagian besar warga Mesir beragama Islam. Seorang muslim yang bersikap damai bukan musuh, melainkan mitra kami. Jadi kami katakan kepada seluruh rakyat Mesir, jika kalian ingin, kami akan membantu kalian. Tujuan bersama kita adalah, bagaimana Mesir bisa menjadi demokratis dan negara hukum bisa berkembang.

Militer di Mesir mengeluh karena kebijakannya dikritik. Kelompok Ikhwanul Muslimin marah karena banyak negara barat tidak mengakui penggulingan Mursi sebagai sebuah kudeta. Generasi muda yang dulu beraksi di Lapangan Tahrir mulai tersingkir dari panggung politik. Bagaimana Uni Eropa bisa bersikap netral dalam situasi ini?

Melalui pernyataan dan sikap politik, kita bisa menekankan lagi bahwa kita berpihak pada kebebasan dan nilai-nilai ideal demokrasi. Tentu kita tidak bisa memaksakan hal ini kepada Mesir. Rakyat Mesir sendiri yang akan menentukan perkembangan di negaranya. Jadi yang harus kita upayakan adalah, agar pemerintahan transisi dan Ikhwanul Muslimin, yang juga punya dukungan besar dalam masyarakat, kembali duduk untuk berunding. Tapi kita juga harus menuntut agar Ikhwanul Muslimin berhenti melakukan kekerasan. Juga pihak militer harus menghentikan kekerasan. Kami mengecam keras kekerasan militer yang kami anggap terlalu berlebihan. Di lain pihak, kami juga menuntut agar kelompok Kristen bisa menjalankan ibadahnya secara bebas dan tidak ditindas.

Pejabat Tinggi urusan luar negeri Catherine Ashton sudah berkunjung ke Mesir dan berbicara dengan Ikhwanul Muslimin. Menteri Luar Negeri Jerman Guido Westerwelle juga sudah berkunjung ke Kairo. Tapi mereka gagal melakukan penengahan antara kelompok-kelompok yang bertikai. Bagaimana Uni Eropa bisa mengupayakan dialog politik?

Pertemuan menteri luar negeri Uni Eropa di Brussel baru-baru ini cukup berhasil, karena Eropa berbicara dengan satu suara. Ini tidak selalu demikian. Misalnya dalam kasus Suriah, ada perbedaan pandangan apakah oposisi Suriah perlu mendapat bantuan senjata. Menghadapi situasi di Mesir, Eropa bersatu. Saya sangat menghargai upaya keras Catherine Ashton dan Westerwelle. Tapi keberhasilan memang tidak bisa dipaksakan. Yang penting, kami sudah berupaya keras. Uni Eropa menyatakan siap mengirim Ashton ke Mesir lagi jika memang dibutuhkan. Saya harap, sinyal itikad baik ini didengar oleh Mesir. Mereka juga punya kepentingan menjalin hubungan baik dengan Eropa.

Ikhwanul Muslimin punya banyak pengikut di Mesir. Uni Eropa tentu tidak ingin organisasi ini menjadi radikal dan jadi gerakan bawah tanah. Apa yang bisa dilakukan Eropa?

Yang penting, kita tidak boleh melakukan kriminalisasi terhadap warga muslim yang damai. Setiap orang punya hak untuk menjalankan agamanya, berdasarkan prinsip non kekerasan. Kita harus menegaskan kepada Ikhwanul Muslimin, bahwa kita juga ingin menjaga hubungan dengan mereka. Jika mereka damai, maka mereka adalah mitra kita. Tapi kita jangan lupakan kelompok generasi muda, yang ingin ada demokrasi dan negara hukum.

Hans Gert Pöttering anggota partai CDU dan sejak 2009 menjadi ketua Konrad Adenauer Stiftung (KAS). Yayasan politik ini melakukan pendidikan politik di tingkat nasional dan internasional. Pöttering 2007-2009 menjabat sebagai Ketua Parlemen Eropa.