1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pakistan Terancam Kudeta Militer?

14 September 2010

Akibat banjir, banyak warga Pakistan tuduh pemerintahnya tidak efisien serta korup. Banjir yang sebabkan 20 juta orang menderita itu, juga dapat memiliki dampak politik. Desas-desus soal kudeta militer sering terdengar.

https://p.dw.com/p/PBpw
Presiden Pakistan Asif Ali ZardariFoto: pa / dpa

Dua setengah tahun berlalu sejak militer Pakistan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah sipil. Ketika itu citra militer rusak total. Tetapi bencana banjir yang sekarang terjadi memberikan kesempatan kepada tentara untuk memperbaiki citranya melalui aksi pemberian bantuan kepada rakyat.

Samad Khurram, yang dulu aktif dalam pergerakan menentang diktator militer Pervez Musharraf menganggap itu bukan pertanda baik bagi demokrasi yang masih muda. Ia mengungkapkan, "Jika orang melihat tentara memberikan bahan bantuan, citra militer membaik. Di Pakistan, yang selalu bersaing adalah politisi lawan militer. Jadi jika militer tampil baik dan politisi tidak melakukan apapun, itu pasti merugikan bagi demokrasi. Dan pemerintah selama ini sikapnya buruk. Reaksi pemerintah buruk."

Pakistan Flut Katastrophe 2010 Flash-Galerie
Militer Pakistan membantu warga sipil yang menjadi korban banjir (01/08)Foto: AP

Kelemahan Politisi

Ketika banjir terjadi, Presiden Asif Ali Zardari berkunjung ke Eropa dan tidak merasa perlu menghentikan lawatannya. Pemerintah tidak berhasil mengkoordinasi bantuan darurat dan pembangunan kembali secara efisien. Lagipula, partai-partai demokratis besar kurang berperan di daerah bencana, berbeda dengan, misalnya kelompok-kelompok radikal Islam.

Harris Khalique, yang sejak bertahun-tahun aktif dalam berbagai gerakan politik dan sosial menilai ada kelemahan mendasar di kalangan moderat di Pakistan. Menurutnya, kaum liberal dan sekuler tidak punya tujuan jelas yang hendak dicapai secara konsekuen, lain dengan kaum radikal Islam serta teroris.

Tidak Mungkin Setuju

Pakistan Präsident Pervez Musharraf tritt zurück Protest
Pengacara Pakistan berdiri di atas poster Musharraf ketika ia mengundurkan diri dari jabatan presiden (18/08/2008).Foto: AP

Samad Khurram yang dulu menentang militer berpendapat, kaum demokrat di Pakistan tetap harus mendukung pemerintah. Politisi yang korup atau yang tidak melakukan apapun untuk menolong korban banjir tidak perlu dipilih lagi dalam pemilu berikutnya. Sementara desas-desus tentang penggulingan kekuasaan dinilainya omong kosong.

Ia berargumentasi, "Saya pikir militer tidak akan mengambil alih kekuasaan, karena sejumlah mekanisme legal harus mendukungnya. Dan itu tidak akan terjadi, karena hakim-hakim yang baru dikembalikan ke posisinya, menolak untuk bersumpah di atas peraturan tambahan yang dibuat Musharraf, yang dapat membatalkan sebagian atau seluruh konstitusi Pakistan. Jadi mereka kemungkinan besar tidak akan menerima penggulingan kekuasaan oleh militer.

Terancam Anarki

Pakistan Flut Hochwasser Landwirtschaft
Seorang perempuan Pakistan berjalan di ladang kapas yang rusak akibat banjir di desa Shah Jamal (04/09)Foto: AP

Sebagaian besar pengamat politik berpendapat sama. Mereka memperkirakan, militer akan berusaha memperkuat pengaruhnya di belakang layar. Tetapi itu tidak mengubah keadaan, bahwa pemerintah mendapat tekanan besar. Karena banjir melanda negara, yang sebelumnya pun telah menderita akibat terorisme dan krisis ekonomi. Samad Khurram melihat sejumlah ancaman bagi stabilitas politik Pakistan.

Jika rakyat terus-menerus kelaparan dan menderita, dan pemerintah tetap tidak mengambil tindakan, Khurram khawatir, satu hari nanti rakyat akan turun ke jalan dan terciptalah anarki. Mungkin juga, sejumlah gerakan separatis akan terbentuk dan mereka mendapat angin segar. Mereka bisa menjadi lebih berkuasa, mendapat dukungan dan sukarelawan. Menurut Khurram kepastian memang tidak ada, tetapi yang jelas, perkembangan di Pakistan menunjukkan pertanda kurang baik.

Harris Khalique yang juga aktif dalam gerakan politik dan sosial meyakini, tiga sampai enam bulan mendatang akan menjadi penentu, apakah pemerintah yang berkuasa sekarang dapat tetap memerintah atau tidak.

Thomas Bärthlein / Marjory Linardy

Editor: Agus Setiawan