1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pakta Amerika Serikat dan Pakistan

10 Mei 2011

Sejak tewasnya Osama Bin Laden, hubungan AS dengan Pakistan menegang. Tetapi bisakah AS melepaskan diri dari negara itu?

https://p.dw.com/p/11D30
Foto: AP

Harian Austria Der Standard yang terbit di Wina menulis, bahwa Amerika Serikat memiliki kesepakatan dengan Pakistan :

"Pakta antara Washington dan Islamabad, walaupun hanya dipenuhi oleh sebagian oleh Islamabad, sebenarnya tidak bisa diputuskan sepihak. Melalui uang yang dikucurkan Amerika Serikat ke militer Pakistan, mereka masuk ke dalam sistem Pakistan. Membiarkan Pakistan sendirian, bisa menimbulkan biaya yang lebih besar lagi. Tanpa keterlibatan Pakistan atau jika kekuatan kelompok radikal Pakistan makin besar, ini bisa membahayakan penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Afghanistan."

Begitu juga pandangan harian Jerman Handelsblatt yang terbit di Düsseldorf :

"Jika bisa, Amerika Serikat sudah sejak lama melepaskan Pakistan. Ini jika Pakistan tidak memiliki 100 bom atom, jika tidak berbatasan dengan Afghanistan, dan jika tidak selalu menjadi markas teroris. Pemerintah Washington tidak pernah mengerti, bagaimana negara Pakistan itu berfungsi. Dan ini tidak ada hubungannya dengan siapa yang tengah menjadi presiden di Gedung Putih. Karena itu strategi Amerika Serikat terhadap Pakistan bisa dikatakan sebagai hubungan yang terus bergejolak."

Harian liberal kanan Italia Corriere della Sera berkomentar tentang Presiden Amerika Serikat Barack Obama setelah tewasnya pimpinan Al Qaida Osama Bin Laden :

"Obama kembali dituduh menangani masalah dengan sikap yang tidak manusiawi. Dalam kasus Osama Bin Laden sikap dingin dan Pokerface - raut wajahnya yang tidak bisa dibaca - sangat berguna baginya. Ia tahu cara menutupi perasaannya. Bahkan hingga saat persiapan Navy Seals menjelang serangan tersebut, dimana seorang komedian memceritakan sebuah lelucon tentang nasib pimpinan Al Qaida, Obama turut tertawa. Sikap menutup diri. Pokerface. Mungkin juga hanya sikap seorang pria yang akhirnya berhasil menangani identitas yang terbagi berkat asal usulnya yang multietnis. Pria yang berhasil mengerti dirinya sendiri secara lebih baik."

Sementara itu, harian Belanda de Volksrant memilih untuk menanggapi krisis mata uang Euro :

"Negara-negara seperti Yunani, Portugal dan Irlandia berulang kali secara tegas menolak rencana penyelamatan hingga mereka secara resmi mengajukan permohonan bantuan. Ini bisa dimengerti mengingat cara kerja pasar keuangan. Begitu ada keraguan tentang keterlibatan sebuah negara bagi mata uang Euro, maka suku bunga bagi kredit negara akan meningkat. Kejujuran berharga mahal. Perdebatan terbuka tentang apakah negara lemah tetap bertahan menggunakan mata uang Euro atau tidak, mungkin harus dilakukan. Tetapi pada praktiknya, masalah ini tidak muncul di agenda rapat parlemen. Karena keraguan yang diungkap secara terbuka akan dinilai sebagai awal sebuah akhir. Para politisi dipaksa untuk berhemat dengan kebenaran. Lamanya masa krisis mata uang Euro akan mengubur rasa percaya terhadap mereka."

Harian liberal kanan El Mundo yang terbit di Madrid Spanyol menganggap Uni Eropa gagal mengatasi masalah di Yunani :

"Setahun setelah aksi penyelamatan bagi Yunani yang juga memaksa negara Uni Eropa lain seperti Spanyol untuk melakukan langkah penghematan secara drastis, semakin buruk situasi keuangan di negara-negara yang terkena dampaknya. Selanjutnya operasi yang mirip terjadi di Irlandia dan Portugal yang keampuhannya masih diragukan. Di Yunani, Komisi Eropa dan Bank Sentral Eropa gagal menerapkan rencana mereka. Yunani yang diminta untuk mengencangkan ikat pinggang, keuangan negaranya terancam lumpuh. Sudah waktunya untuk mempertanyakan, apakah sistem paket penyelematan adalah solusi yang benar atau tidak. Siapa yang bisa menjamin, bahwa Irlandia dan Portugal bisa membayar kembali hutang mereka?"

Vidi Legowo-Zipperer / dpa / afp

Editor : Hendra Pasuhuk