1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bersiap 600 Ribu Kasus?

Indonesien Blogger Alif Nurlambang
Alif Nurlambang
11 April 2020

Sampai ahli menemukan vaksin, tindakan paling mungkin dilakukan adalah mengontrol penyebaran Covid-19, dan menjaga agar nyawa pasien kritis diselamatkan. Beban itu harus dibagi. Alif Nurlambang dengan opininya.

https://p.dw.com/p/3ahVr
Polisi dengan helm ala korona
Menangani virus korona harus bersama-sama.Foto: picture-alliance/AP

Selama lebih dari 90 hari terakhir orang sedunia bicara mengenai kurva pandemi atau epidemi. Setelah angka-angka kasus terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia bertambah hari ke hari, mulai 2 Maret, orang Indonesia juga akrab dengan kurva ini. Bertahan di rumah karena sekolah ditutup mulai 16 Maret, disusul kebijakan bekerja dari rumah, membuat masyarakat berharap situasi wabah berakhir secepatnya. Kurva diharapkan turun.

Sebaiknya tidak. Angka kasus terkonfirmasi sejauh ini menunjukkan Indonesia baru pada fase pertama. Ada tiga fase secara keseluruhan—mirip babak story telling, yakni fase awal (start atau beginning), tengah (middle) atau puncak, dan akhir (end). Pada bagian akhir ada pilihan apakah akan diakhiri dengan cepat, atau lebih lambat.

Pilihan skenario bergantung pada kemampuan kita menemukan kasus, melacak mereka yang terpapar, memilah antara pasien kritis, gejala ringan dan tanpa gejala sama sekali, serta kapasitas tampung ruang-ruang perawatan. Masih ditambah dengan fasilitas alat penopang hidup, jumlah dokter dan perawat, kemampuan warga mengisolasi diri dari virus, dan membiasakan hidup bersih dan sehat.

Dalam bahan presentasi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) kepada Komisi IX DPR-RI, 2 April lalu, diungkapkan estimasi kasus di Indonesia bisa mencapai 600 ribu orang. Artinya, kita berharap kasus terkonfirmasi yang telah diperoleh sebulan terakhir bisa naik lebih tinggi lagi. Kita tidak ingin meninggalkan terlalu banyak kasus tak terdeteksi hanya demi kurva.

Namun, kapasitas kamar isolasi, tempat tidur, dan ventilator di rumah sakit di seluruh Indonesia, dipastikan tak akan sanggup merawat seluruh pasien ketika perkiraan tersebut jadi kenyataan. Rata-rata pasien kritis Covid-19 di dunia berkisar antara 3-4 persen. Bila di Indonesia terdapat 1 persen pasien kritis saja (sekitar 6 ribu), maka mereka tak bisa dirawat di ruang isolasi yang hingga 3 bulan mendatang hanya mampu menerima 2.200 pasien.

Tapi pandemi bukan sekadar kurva menanjak dengan kemiringan hampir 90 derajat lalu diupayakan turun tajam atau melandai. Covid-19 menjadi pandemi karena warga sedunia diminta bekerja sama, tanpa pengetahuan yang tuntas dan tegas mengatasi penyakit ini. Dokter hanya efektif ketika penyakit dan obatnya diketahui. Virus dapat dihilangkan atau dicegah menjangkit tubuh bila vaksinnya dimiliki. Untuk dua hal tersebut, kita sama-sama tahu: kita belum tahu kapan terjadi.

Satu hal yang kita telah tahu adalah masyarakat sendiri yang harus mampu mencegah penularan Covid-19. Rumah sakit, dokter, perawat, ruang ICU, laboratorium, ventilator, ahli farmasi, juga kebijakan politik, dan stimulus ekonomi, adalah benteng terakhir dari aksi semesta melawan musuh baru ini.

Dunia telah berhadapan dengannya selama 100 hari, hampir 100 ribu nyawa telah direnggut, frustrasi dialami oleh miliaran penduduk bumi—terutama mereka yang kota-kotanya dikunci.

Kita menghibur diri dengan menatap langit yang kian biru, udara bersih, dan mata dapat memandang lanskap sejauh-jauhnya. Kita berusaha meyakini diri bahwa tempat teraman di planet ini adalah rumah kita sendiri. Meski tak sepenuhnya benar. Foreign Policy, 27 Maret lalu, mengingatkan bahwa di rumah-rumah itu juga tinggal korban-korban kekerasan domestik yang kini terpaksa menghabiskan lebih banyak waktu dengan predatornya.

Kita ingin kasus-kasus segera ditemukan, pasien-pasien dirawat, penyebaran virus diakhiri. Itu sebab, pemerintah dan otoritas kesehatan harus membagi peran dengan pencegah di garis depan: masyarakat.

@airlambang | Pengelola spektator.id, praktikus behaviour change & community engagement.
Penulis: Alif NurlambangFoto: privat


Berbagi dengan masyarakat

Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, 7 April lalu mengumumkan keadaan darurat yang berlaku hingga 6 Mei mendatang. Status ini bukan untuk seluruh negeri atau 47 provinsi (prefectures). Darurat diberlakukan bagi 7 provinsi, yakni Tokyo dan tiga tetangganya, Chiba, Kanagawa dan Saitama; lalu Osaka, Hyoga dan Fukuoka.

Apa artinya ini bagi penduduk Jepang? Artinya: darurat. Titik. Kehidupan harus dijalankan secara berbeda dibanding sebelumnya. Bila yang dikira adalah situasi seperti di Italia atau Prancis, gambaran itu tak akan terjadi.

Pemerintah Jepang tak menetapkan jam malam, polisi tak membuat barikade di batas-batas wilayah tertentu dan melarang orang melintas, bisnis pun tidak dipaksa untuk tutup, transportasi umum tidak dihentikan operasinya. Pemerintah hanya mengeluarkan anjuran-anjuran. Namanya anjuran, jika tak dilakukan tak ada sanksinya. Prancis dan Italia menetapkan denda bagi yang keluyuran ketika kota-kota ditutup. Pemerintah Jepang tak dapat melakukan itu. Bisnis nonesensial yang tetap buka tak akan digeruduk, tapi akan diumumkan nama-nama mereka secara terbuka.

Paling keras yang dilakukan dengan status keadaan darurat ini ialah penutupan sekolah dan penggunaan lahan atau bangunan umum atau pribadi untuk fasilitas kesehatan.

Efektivitas keadaan darurat sepenuhnya bergantung pada jishuku. Kemampuan dari tiap warga untuk bisa menahan diri dari keinginan atau melakukan kegiatan yang tak perlu. Bagi kita, sikap semacam itu bukan sesuatu yang asing. Penduduk Nusantara kerap melatih diri dengan tirakat dan puasa untuk dapat membiasakan menahan diri.

Pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang berlaku bagi warga Jakarta, ambil contoh, seyogianya tak memerlukan pengerahan Satuan Polisi Pamong Praja dan Kepolisian Daerah Metro Jaya, dengan sanksi yang keras.

Kita harus terbuka bilang, ada komunikasi yang keliru dari pemerintah kepada warga di Indonesia. Narasi yang dikembangkan terlalu menekankan kepada kemampuan pemerintah mengatasi masalah. Yang diharapkan dari warga adalah kepatuhan menaati perintah.

Faktanya, pemerintah justru tergopoh-gopoh mengatasi masalah. Pada 4 Februari 2020, Menteri Kesehatan RI menetapkan infeksi virus corona sebagai penyakit yang dapat menimbulkan wabah, namun masyarakat tidak disiapkan dan fasilitas kesehatan dibiarkan seperti apa adanya. Tak ada kampanye hidup bersih dan sehat sebagai upaya paling dasar mencegah virus. Tak ada anjuran.

Paket Peraturan Pemerintah yang diamanatkan UU Kekarantinaan Kesehatan Nomor 6 tahun 2018, tak diketik satu huruf pun. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 612 tahun 2010 yang dikeluarkan Menteri Endang Rahayu Sedyaningsih teronggok. Keputusan itu berjudul Pedoman Penyelenggaraan Karantina Kesehatan pada Penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia. Isinya memerinci syarat dan bagaimana suatu keadaan kekarantinaan diselenggarakan: karantina rumah, batas negara, wilayah, rumah sakit, dan pembatasan kegiatan sosial berskala besar. Protokol yang disusun di dalamnya melingkupi sejak status waspada hingga tanggap yang harus dilakukan, termasuk pedoman pemulasaraan jenazah.

Baru akhir bulan lalu, Peraturan Pemerintah tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), ditetapkan. Dibarengi dengan pernyataan status darurat kesehatan masyarakat.

Tapi, pemerintah mana di dunia ini yang tak tergopoh-gopoh sekarang? Layanan kesehatan masyarakat Amerika Serikat yang sebelumnya dibanggakan dengan desentralisasinya, kini limbung. Dapat dimengerti bahwa Indonesia bukan satu-satunya wilayah terparah dalam soal fasilitas kesehatan masyarakat.

Itu sebab, masyarakat mesti tahu keadaan yang sesungguhnya. Masyarakat Jakarta, misal, tak boleh dibiarkan berharap bahwa setelah 14 hari status PSBB, mereka dapat kembali berdekatan. Gubernur tak melarang pernikahan, dan hanya membatasi jumlah hadirin, namun tak ada penjelasan bagaimana seks yang aman dalam masa pandemi ini. Padahal salah satu tujuan pernikahan adalah legalisasi atau upaya menghalalkan seks.

Pemerintah pusat terus berpesan mengenai pentingnya jaga jarak fisik dan sosial, namun festival tahunan akan dibiarkan berlangsung: mudik. Upaya yang sedang dilakukan sebatas anjuran, rencana menaikkan tarif transportasi udara, kereta api, laut dan bus antarkota antarprovinsi agar tiap penumpang tetap dapat menjaga jarak selama dalam perjalanan.

Makin jelas, masyarakat perlu menemukan jishuku bagi Indonesia. Solidaritas kita telah teruji dalam tiga pekan terakhir. Lebih dari Rp 100 miliar dana urunan warga melalui pelbagai platform dan medium telah terdistribusi: masker, alat perlindungan diri, sanitasi cair untuk tangan, juga bahan pangan dan makanan siap santap.

Yang diperlukan adalah komunikasi yang jelas

Kita semua tahu badai pasti berlalu. Sebagaimana pepatah Aceh berujar, “pat ujeun nyang hana pirang, pat prang nyang hana reuda.” Hujan pasti reda, semua perang pasti berakhir. Tapi, warga patut diberi tahu bagaimana terlibat.

Kita tak perlu diyakinkan dengan harapan, karena keadaan senantiasa berubah. WHO memberi contoh komunikasi lewat anjuran menggunakan masker bagi setiap orang. Salah satu tujuannya, menurut WHO, untuk mengetahui apakah kontrol terhadap wabah bisa efektif. Jika seluruh penduduk Bumi telah bermasker dan virus tetap menjalar, kita jadi tahu bahwa pelindung mulut dan hidung itu tak lagi manjur. Begitu pula bila sebaliknya.

Masyarakat harus tahu bahwa untuk waktu yang belum diketahui berapa lama, tak bisa lagi bersalaman dan berpelukan; serta membatasi pergaulan fisik dengan orang lanjut usia. Masyarakat harus dilatih mengetahui gejala-gejala hadirnya virus di anggota keluarga dan komunitas, didorong untuk tak sungkan melaporkan.

Warga harus disiapkan mengadakan fasilitas-fasilitas karantina bagi tetangganya dengan gejala ringan atau tanpa gejala. Sehingga rumah sakit dan tenaga medis tak kewalahan dan keletihan. Dan kita bisa bersiap dengan angka kasus yang diperkirakan, dengan hanya sedikit meninggalkan yang tetap tak bisa terdeteksi.

@airlambang | Pengelola spektator.id, praktikus behaviour change & community engagement.


*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. 


*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di bawah ini. Terima kasih.