1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Pandemi COVID-19 Mengubah Hubungan Cina – Afrika

Chiponda Chimbelu
8 Juni 2020

Wabah virus corona telah membuka celah dalam dinamika hubungan antara Cina dan Afrika. Para ahli menyebut berlalunya pinjaman besar dari Cina berdampak pada berubahnya jalinan kemitraan Beijing dengan Afrika.

https://p.dw.com/p/3dQjT
Ghana Accra | Coronavirus | Chinesische Hilfsgüter
Foto: imago images/X. Zheng

Tahun ini merupakan tahun yang sangat sulit bagi hubungan Cina – Afrika. Cina dengan cepat menyediakan bantuan dan memberikan dukungan kepada negara-negara Afrika selama pandemi COVID-19 berlangsung. Namun adanya wabah ini juga memperlihatkan aspek kemitraan Beijing dengan negara-negara Afrika yang tidak berjalan baik. 

Pinjaman besar-besaran Cina ke negara-negara di Afrika mungkin tidak lagi dapat dipertahankan. Ekonominya goyah ketika pengangguran meningkat dan risiko kebangkrutan untuk bisnis meningkat. Para ahli berharap ekonomi Cina terus bertahan, sehingga para pemimpin Afrika tidak akan beralih ke negara lain di tengah krisis yang sedang berlangsung. 

Sementara itu, wabah virus corona juga mengungkapkan kurangnya pemahaman antara orang-orang Cina umumnya dengan orang Afrika. Pada bulan April, Beijing mendapat kecaman luas karena kurangnya simpati terhadap insiden rasisme dan diskriminasi orang Afrika di Guangzhou. Beberapa duta besar Afrika mengutuk insiden itu dan memberi tekanan pada pemerintah Cina untuk merespon. 

Pada bulan Mei, tiga warga Tiongkok dibunuh di ibukota Zambia, Lusaka. Salah satu korban adalah istri pemilik pabrik, yang tempatnya itu menjadi lokasi di mana jasad mereka diseret sebelum dibakar. Pembunuhan itu terjadi setelah Wali Kota Lusaka memposting video di Facebook di mana ia berhadapan dengan pemilik pabrik tentang menjaga pekerjanya di pabrik dan tidak membiarkan mereka pulang di tengah pandemi COVID-19. 

Cina di posisi unik 

Meskipun banyak berita negatif, Cina sepertinya masih dapat mengambil manfaat dari pandemi yang sedang berlangsung di Afrika. Beijing merupakan mitra pertama yang mampu mengendalikan wabah virus corona, dan itu bukan satu-satunya keuntungan. 

"Cina berada dalam posisi yang unik, dibandingkan dengan orang Eropa atau Amerika karena mereka memiliki populasi migran yang besar, komunitas bisnis yang mapan," kata Eric Olander, redaktur pelaksana situs web dan podcast Proyek Cina-Afrika. 

Diperkirakan $ 280 juta atau setara Rp 3,9 triliun bantuan terkait krisis COVID-19 telah diberikan Cina, di mana sebagian besar dana tersebut berasal dari perorangan dan komunitas bisnis. 

Ada sekitar 1 juta orang Cina tinggal di Afrika, yang menjadikan mereka populasi migran non-Afrika terbesar di benua itu.  

Infografik Geldgeber gegen die Covid-19 Pandemie in China EN

Meskipun kondisi saat ini membuka celah dalam hubungan antara Cina-Afrika, namun di sisi lain ada nilai positif dalam keterlibatan Beijing di benua itu. Tingkat keterlibatan swasta dalam bantuan COVID-19 beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sedang berubah. 

Investasi swasta meningkat 

Tidak mengherankan bila bantuan resmi Tiongkok telah dikalahkan oleh sumbangan pribadi dalam penanggulangan COVID-19. Beijing telah mencairkan dana yang tidak sedikit di Afrika, sehingga menjadikannya kreditor bilateral terbesar di benua itu. 

Hannah Ryder dari Development Reimagined yang berbasis di Beijing percaya bahwa selera orang Cina untuk berinvestasi di Afrika sebenarnya dapat meningkatkan hubungan pasca-COVID. 

"Menurut saya akan ada dorongan yang lebih besar dan khususnya bukan untuk pinjaman, tetapi untuk investasi," katanya. 

Dengan semakin banyaknya investor Cina yang kesulitan menanamkan uangnya di AS dan Eropa, mereka lantas berminat untuk berinvestasi di tempat lain. Itulah yang terjadi pada tahun 2018 ketika lebih banyak perusahaan dari Cina berinvestasi di startup teknologi Afrika, minat mereka di benua itu meningkat setelah banyaknya pengawasan di pasar AS. 

Berbagai strategi diperlukan untuk menarik investasi Cina 

Namun, hubungan antara Beijing dan mitranya di Afrika sebagian besar tidak sebanding. Defisit perdagangan dan insiden di Guangzhou menjadi kerikil dalam hubungan antara kedua negara. Sebaliknya, para pedagang dari Afrika tidak memiliki kekuatan ekonomi dan akses yang sama ke pasar seperti yang dimiliki migran Cina di benua itu. 

"Apa yang perlu kita lihat adalah pergeseran dari pihak Cina dan Afrika, tidak hanya memiliki hubungan politik, tetapi juga hubungan ekonomi yang saling menguntungkan," kata Hannah Ryder dari Pembangunan Reimagined. 

Dan di situlah letak masalahnya. Para ahli melihat sebagian besar negara Afrika belum mengembangkan strategi untuk menarik investasi Cina. Contoh yang baik adalah kampanye pariwisata yang dilakukan negara-negara Afrika di Cina, mereka tidak berbeda dengan yang ada di Eropa.  

"Kita harus benar-benar memiliki strategi nyata untuk terlibat dengan Cina," kata Ryder. "Kita harus memprioritaskan apa yang ingin kita dapatkan dari hubungan itu." (ha/yp)