1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pandemi COVID-19 Tahun 2020 'Menghancurkan' Hutan Dunia

26 Februari 2021

Tahun lalu, laju kerusakan hutan tropis dunia mengalami peningkatan. Global Forest Watch sebut pandemi COVID-19 melemahkan peraturan, memotong anggaran perlindungan lingkungan, dan memaksa pekerja migran kembali ke desa.

https://p.dw.com/p/3pwzs
Hutan Amazon, Brasil
Potret deforestasi yang terjadi di hutan hujan tropis Amazon, BrasilFoto: Carl de Souza/AFP/ Getty Images

Berdasarkan data layanan pemantauan Global Forest Watch (GFW) tahun 2019, setiap enam detik hutan hujan tropis seluas satu lapangan sepak bola menyusut dan hilang. Berkurangnya hutan hujan tropis terjadi ketika kesadaran tentang peran penting hutan sebagai penyimpan karbon dalam memperlambat perubahan iklim tengah digencarkan.

Platform pelacakan yang menggunakan citra satelit dan dijalankan oleh lembaga pemikir World Resources Institute (WRI) yang berbasis di Amerika Serikat (AS) akan merilis angka deforestasi hutan tahun 2020.

Frances Seymour, seorang rekan senior di WRI, mengatakan pekerjaan penegakan hukum dan lembaga perlindungan hutan telah dibatasi oleh pemberlakuan lockdown akibat pandemi COVID-19 dan pemotongan anggaran karena terjadinya kesengsaraan ekonomi. "Selain itu, terdapat indikasi bahwa beberapa pemerintah telah bereaksi terhadap krisis ekonomi dengan melonggarkan peraturan lingkungan sebagai cara untuk memfasilitasi investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi," kata Seymour kepada Thomson Reuters Foundation.

Pandemi, hutan, dan perubahan iklim

Penebangan hutan berdampak pada perubahan iklim, lantaran pohon menyerap sekitar sepertiga emisi karbon yang dihasilkan di seluruh dunia. Hutan juga menyediakan makanan dan mata pencaharian bagi orang-orang yang tinggal di dalam atau di sekitarnya, serta merupakan habitat penting bagi satwa liar.

Pada tahun 2019, hilangnya 3,8 juta hektar hutan menjadi kemerosotan terbesar ketiga sejak pergantian abad. Brasil, Republik Demokratik Kongo, dan Indonesia merupakan tiga negara pelanggar teratas, menurut GFW.

Sementara pandemi yang terjadi sejak tahun lalu menyebabkan penurunan permintaan komoditas yang menjadi penyebab deforestasi, seperti kelapa sawit, kayu dan kedelai. Banyak pekerja di sejumlah kota juga kehilangan pekerjaan dan kembali ke kampung halaman mereka, kata Seymour.

"Sementara penurunan harga komoditas dapat memperlambat konversi hutan untuk agribisnis komersial, kembalinya pekerja perkotaan ke desa-desa ... dapat meningkatkan pembukaan hutan skala kecil," katanya.

Kerusakan yang tidak terabaikan

Laju deforestasi di Indonesia, yang merupakan rumah bagi hutan tropis terbesar ketiga di dunia dan juga penghasil minyak sawit terbesar, secara historis untuk ketiga kalinya secara berturut-turut, tetap rendah di tahun 2019.

Penegakan hukum yang lebih ketat untuk mencegah kebakaran hutan dan penebangan liar, serta moratorium pembukaan hutan hujan baru dan konsesi kelapa sawit semuanya memiliki andil, kata para ahli kehutanan. Meskipun demikian, lembaga pemerintahan yang lemah, korupsi dan klaim lahan yang tumpang tindih membuat Indonesia masih membuka hutan hingga menyebabkan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Selain itu, tahun lalu Indonesia juga mengurangi upaya perlindungan hutan karena pandemi COVID-19 dan memperkenalkan undang-undang penciptaan lapangan kerja yang menurut para aktivis dapat merusak alam dan lingkungan di tahun-tahun mendatang.

Gemma Tillack, Direktur Kebijakan Kehutanan Rainforest Action Network yang berbasis di AS, mengatakan Indonesia masih menunjukkan deforestasi, penebangan dan karhutla masih ada - dan dalam beberapa kasus mengalami lonjakan - sepanjang tahun lalu.

"2020 akan dikenang sebagai tahun di mana perusakan hutan hujan terus berlanjut, meskipun merek dan bank besar menyatakannya sebagai tahun sukses (atau gagal) untuk mengakhiri deforestasi," katanya.

David Ganz, Direktur Eksekutif Hak Tanah Internasional RECOFTC, memperkirakan berkurangnya hutan tropis tahun 2020 lima kali lebih besar dibanding tahun 2019, yang sebagian besar disebabkan oleh karhutla yang tidak terkendali.

Ironisnya, hilangnya hutan dan meningkatnya kontak antara manusia dan satwa liar adalah pendorong utama munculnya patogen baru, seperti penyebab Ebola, SARS, dan sekarang COVID-19,” tambahnya.

Laju infeksi Covid-19 di beberapa negara sampai 24 Februari 2021
Laju infeksi Covid-19 di beberapa negara sampai 24 Februari 2021

Banyaknya hutan yang hancur

Di Brasil, data pemerintah menunjukkan laju deforestasi hutan hujan Amazon melonjak ke level tertinggi pada tahun 2020. Kerusakan terus terjadi sejak Presiden Jair Bolsonaro menjabat dan penegakan hukum terhadap perlindungan lingkungan melemah.

Anders Haug Larsen, Kepala Kebijakan di Rainforest Foundation Norwegia yang berbasis di Oslo, mengatakan data pemantauan hutan menunjukkan tingkat deforestasi di Amazon Brasil dapat meningkat sekitar 10% pada tahun 2020.

"(Selain itu), kami juga melihat otoritas lokal di Indonesia mengalihkan dana pencegahan kebakaran hutan untuk memerangi COVID-19," kata Larsen, yang mendesak negara-negara di seluruh dunia untuk berinvestasi dalam pemulihan hijau.

Di Australia, kebakaran hutan pada tahun 2019 dan 2020 menghancurkan lebih dari 11 juta hektar di wilayah tenggara, jumlah tersebut setara dengan sekitar setengah dari luas Inggris.

Fran Raymond Price, Pemimpin Praktik Kehutanan Global di WWF International, mengatakan 2020 telah menjadi "tahun yang menghancurkan" bagi hutan di banyak bagian dunia dan menyerukan kepada pemerintah untuk memperkenalkan undang-undang yang lebih kuat demi menghentikan deforestasi.

Peraturan tersebut harus fokus pada penguatan dan perluasan hak bagi masyarakat adat dan masyarakat lokal, serta mendukung petani untuk merangkul praktik berkelanjutan, tambahnya.

"2021 bisa menjadi tahun kita membalikkan gelombang hilangnya hutan, tetapi kita perlu tindakan tegas terhadap penyebab utama deforestasi untuk memastikan bahwa solusi berkelanjutan dan bermanfaat bagi alam dan manusia," kata Price.

Donasi Pohon Virtual Ditanam di Dunia Nyata

ha/hp (Reuters)