1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kaitan Pandemi Corona dan Perusakan Alam

Charli Shield
18 April 2020

COVID-19 adalah contoh terbaru, bagaimana tindakan manusia yang merusak keanekaragaman hayati dan alam liar berkaitan dengan penyebaran penyakit menular. 

https://p.dw.com/p/3b6uo
Pangolin Gürteltier Indonesien
Foto: picture-alliance/dpa/I. Damanik

Tak lama setelah merebaknya penyebaran virus Corona di Wuhan, Cina akhir Desember 2019 mulai bermunculan teori konspirasi yang menyatakan, virus diciptakan di laboratorium di Cina. 

Tapi konsensus ilmiah mengatakan, virus SARS-VoV-2 adalah penyakit yang berasal dari hewan dan menular ke manusia. Kemungkinan penyakit berasal dari kelelawar, kemudian menyebar melalui hewan mamalia lainnya.  

Walaupun tidak dibuat di laboratorium, bukan berarti manusia tidak berandil apapun dalam pandemi yang sedang berlangsung. Studi terbaru oleh ilmuwan dari Australia dan AS menemukan, tindakan manusia terhadap habitat alamiah, hilangnya keanekaragaman hayati dan perusakan ekosistem ikut menyebabkan penyebaran virus. 

Jumlah penyebaran penyakit menular meningkat lebih dari tiga kali lipat setiap dekade sejak tahun 1980-an. Lebih dari dua pertiga penyakit ini berasal dari hewan, dan sekitar 70% dari jumlah itu berasal dari hewan liar. Penyakit menular yang kita kenal misalnya: Ebola, HIV, flu babi dan flu burung, adalah penyakit yang bisa menular dari hewan ke manusia. 

COVID-19 juga menyebar luas dengan cepat akibat populasi dunia yang semakin terhubung erat. Situasi yang mengejutkan banyak orang ini, sebenarnya telah diperingatkan oleh ilmuwan sejak lama. 

Joachim Spangenberg, Wakil Presiden Institut Riset Keberlanjutan Eropa, mengemukakan, dengan merusak ekosistem, manusia menciptakan kondisi yang menyebabkan virus hewan menyebar ke manusia. “Kitalah yang menciptakan situasi ini, bukan hewan,” tandas Spangenberg. 

Deforestasi dan perusakan habitat 

Karena manusia semakin membuka kawasan yang dihunihewan liar untuk menggembalakan ternak dan mengambil kekayaan alam, maka manusia juga semakin mudah tertular patogen yang sebelumnya tidak pernah keluar dari kawasan itu, dan meninggalkan tubuh binatang yang mereka tempati. 

“Kita semakin dekat dengan hewan liar,“ kata Yan Xiang, pakar virologi di Pusat Ilmu Kesehatan, Universitas Texas. “Dan itu membuat kita berhubungan dengan virus-virus itu.“  

Sementara David Hayman, profesor bidang ekologi penyakit menular di Universitas Massey, Selandia Baru mengungkap, risiko itu juga makin bertambah bukan hanya lewat manusia yang memasuki habitat alamiah, melainkan juga melalui hewan-hewan peliharaan manusia. 

Di samping itu, perusakan ekosistem juga berdampak pada jenis virus mana yang semakin berkembang di alam liar dan bagaimana virus-virus itu menyebar. 

Hayman menekankan, dalam beberapa abad terakhir, hutan tropis sudah berkurang 50%.  Ini berakibat sangat buruk pada ekosistem. Di sejumlah kasus, ilmuwan sudah berhasil mengungkap, jika hewan di bagian atas rantai makanan punah, hewan di bagian bawah, seperti tikus yang membawa lebih banyak patogen, mengambil tempat di bagian atas rantai makanan.  

“Tiap spesies punya peran khusus dalam ekosistem. Jika sebuah spesies mengambil tempat spesies lain, ini bisa berdampak besar dalam hal risiko penyakit. Dan kerap kita tidak bisa memperkirakan risikonya,“ demikian dijelaskan Alica Latinne dari Wildlife Conservation Society. 

Bukti yang menunjukkan hubungan antara perusakan ekosistem dan bertambahnya risiko penyebaran infeksi terbaru menyebabkan para pakar menekankan pentingnya konsep “One Health“ atau kesehatan bersama.  

Perdagangan hewan liar 

Pasar-pasar yang menjual hewan liar dan produk-produk dari hewan liar merupakan inkubator lain bagi timbulnya penyakit menular. Para ilmuwan menganggap sangat besar kemungkinan bahwa virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan penyakit COVID-19 timbul di sebuah pasar hewan liar di Wuhan, Cina. 

Spangenberg menjelaskan, menempatkan hewan sakit dan stres di dalam kandang secara berdesakan adalah “cara ideal“ untuk menciptakan patogen baru, dan menyebarkan penyakit dari satu spesies ke spesies lainnya. Oleh sebab itu banyak ilmuwan sudah mendesak diadakannya regulasi lebih ketat bagi pasar hewan liar. 

Itu juga jadi seruan Elizabeth Maruma Mrema, Kepala Eksekutif Sekretariat Konvensi Keanekaragaman Biologi PBB. Ia sudah mendesak dilarangnya pasar hewan liar di seluruh dunia. Tapi Mrema juga mengungkap bahwa bagi jutaan orang, terutama di kawasan miskin dunia, pasar-pasar ini jadi sumber pendapatan. (ml/yp)