1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Pandemic Fatigue, Lelah Tanpa Ujung Buat Orang Jadi Sembrono

Tria Dianti | Arti Ekawati
25 Juni 2021

Pandemi tanpa ujung membuat sebagian besar orang kelelahan, banyak yang jadi tidak peduli risiko dan konsekuensi tindakan mereka, ujar psikolog. Bagaimana menghadapinya?

https://p.dw.com/p/3vWAT
Kerumunan pengendara motor di Bekasi, Jawa Barat, jelang Idul Fitri 2021
Kerumunan pengendara motor di Bekasi, Jawa Barat, jelang Idul Fitri 2021Foto: Muhammad Zaenuddin/ZUMA Wire/picture alliance

Dalam sepekan belakangan, media massa dan media sosial di Indonesia dibuat heboh oleh pernyataan seorang epidemiologis yang mengatakan bahwa dalam masa pandemi ini masyarakat telah mencapai herd stupidity, alih-alih herd immunity.

Pandu Riono, epidemiolog itu, dengan geram mengatakan bahwa lonjakan kasus COVID-19 saat ini tidak hanya terjadi akibat karakter virus, tetapi juga perilaku manusia. Ia mencontohkan perilaku ini datang dari pejabat yang meremehkan pandemi, dan masyarakat yang mengabaikan protokol kesehatan (prokes).

Bahkan hingga saat ini, masih banyak masyarakat yang mempertanyakan apakah COVID-19 itu benar ada atau "cuma di tipi-tipi." Pengalaman ini pernah dirasakan Hendra, 38, wartawan media di ibu kota saat ia berkunjung ke Cianjur, Jawa Barat, untuk menengok beberapa hewan peliharaannya.

"Waktu itu saya jaga jarak, pakai masker, orang-orang malah ngetawain, ngapain pakai masker? Memang Covid beneran ada ya?" ujar Hendra kepada DW Indonesia.

Belakangan, karena semakin sering mendengar raungan sirene ambulans di dekat rumahnya, Hendra kian rutin menasihati keluarga dan teman-temannya untuk tidak lengah, tetap ikuti prokes, dan menjaga jarak. Namun banyak yang semakin menyangkal. Adu argumen di media sosial dan saling sindir pun tidak terhindarkan.

Merasa buntu dan tidak lagi peduli

Pandemi yang telah berjalan selama kurang lebih 18 bulan memang membuat masyarakat kelelahan. Ini lantas memicu orang untuk bersikap pasrah dan masa bodoh dengan protokol kesehatan, demikian disampaikan sejumlah pakar.

Berdasarkan data penelitian Satgas COVID-19, dari September hingga Desember 2020 persentase kepatuhan masyarakat memakai masker turun hingga 28%. Tak hanya itu, kepatuhan menjaga jarak juga ikut turun sampai 20,6%. Padahal, apabila 70% masyarakat memakai masker, tingkat penularan COVID-19 bisa dihentikan.

Akibatnya, tingkat infeksi pun naik. Hingga Kamis (24/06), berdasarkan data Satgas COVID-19, angka infeksi harian di Indonesia kembali mencetak rekor tertinggi dengan penambahan 20.574 kasus dalam 24 jam terakhir, menjadikan angka konfirmasi positif sebanyak 2.053.995 kasus.

Psikolog dan konsultan dari Wesmira Psychological & Consultancy Services, Wesmira Parastuti Mia, mengatakan lamanya pandemi yang tak kunjung usai bisa membuat orang kelelahan, menurutnya ini manusiawi dan alami terjadi pada setiap orang.

Suasana di Pasar Tanah Abang, Jakarta
Tidak semua orang bisa bekerja dari rumah. Para pedagang di pasar Tanah Abang ini contohnya, jelang Idul Fitri 2021 lalu mereka mencoba mengais rezeki di tengah pandemi dengan membuka toko. Mereka tetap memakai masker untuk melindungi diriFoto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS

"Orang dalam level fatigue ini biasanya sangat lelah dan merasa dia tidak memiliki lagi solusi atau pemecahan yang bisa dia jalankan. Dia sudah buntu sehingga dia merasa bodo amat apa pun risikonya tidak peduli lagi karena dia sudah berada di level kelelahan, apa yang bisa dia lakukan sekarang ya dia lakukan sekarang, tidak memandang konsekuensinya nanti seperti apa," ujar Wesmira kepada DW Indonesia, Kamis (24/06). 

Badan Kesehatan Dunia atau WHO sendiri mengatakan pandemic fatigue atau kelelahan akibat pandemi adalah respon yang bisa diharapkan dan alami timbul dari krisis kesehatan masyarakat yang berkepanjangan ini. Tingkat keparahan dan skala pandemi COVID-19 telah membuat pemerintah di seluruh dunia menyerukan dilakukannya penerapan tindakan invasif dengan dampak yang belum pernah terjadi pada kehidupan sehari-hari semua orang, termasuk mereka yang belum terkena dampak langsung oleh virus itu sendiri.

Pandemic fatigue: faktor ekonomi dan lingkungan juga berperan

Wesmira mengatakan ada faktor lain yang membuat seseorang mengabaikan prokes, selain karena kelelahan mental yang sudah maksimal. Menurut dia, orang yang tidak punya kesempatan mencari nafkah selain harus pergi ke luar rumah memiliki kesempatan lebih besar untuk cepat lelah dan mengalami gejala pandemic fatigue ketimbang orang yang bisa bekerja dari rumah.

"Mereka tidak punya pilihan lagi selain mencari uang di luar sehingga terpaksa untuk ke luar rumah," ujar Wesmira.

Faktor lainnya adalah lingkungan sekitar, seperti orang yang punya kendaraan pribadi dengan orang yang harus naik kendaraan umum. Buat mereka yang harus naik kendaraan umum untuk bekerja, kesempatan terpaparnya lebih besar juga, ujar Wesmira.

Tidak cuma publik, petugas kesehatan juga lelah

Namun rendahnya kepatuhan terhadap protokol kesehatan telah membuat laju infeksi kembali meningkat. Para tenaga kesehatan (nakes) pun kewalahan menghadapi lonjakan pasien.

Kelelahan ini juga dinyatakan oleh Dokter Rini Aryani, dari Rumah Sakit Islam Sunan Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Kepada DW Indonesia, dr. Rini menyatakan di tempatnya bekerja, setiap hari ia bisa menghadapi hingga 8 orang yang meninggal.

DW Indonesia bertanya tentang kondisinya dan apakah dr. Rini baik-baik saja? "Alhamdulillah, tapi emosi terus. Orang pada minta belas kasihan sama kita tapi ga kasihan sama kita. Padahal tenaga terbatas tempat juga tidak ada," jawab dia.

Para tenaga kesehatan mengaku kewalahan menghadapi lonjakan pasien yang terinfeksi COVID-19
Para tenaga kesehatan mengaku kewalahan menghadapi lonjakan pasien yang terinfeksi COVID-19Foto: Donal Husni/ZUMAPRESS/picture alliance

Namun yang dirasa membuatnya geram adalah bahwa masih tetap saja ada keluarga pasien yang mengira bahwa seorang pasien sengaja dinyatakan positif COVID-19, atau dicovidkan. "Kita sudah capek kerja keras selamatin nyawa tapi keluarga pasien masih mengira kita mencovidkan," ujar dokter Rini.

"Sebel banget, marah rasanya, kita dibilang tidak memanusiakan jika mereka kehabisan tempat (untuk isolasi) padahal tempat juga ga ada. Terkadang jadi terbawa emosi, ya ikut marah, nangis di belakang ruangan semua pernah."

Ia menggambarkan banyak warga yang sakit menolak dites karena takut bila hasil tes mereka positif. Padahal menurutnya "Early testing, early treatment itu lebih baik daripada telat. Pandemi ini tugas bersama bukan hanya tugas nakes, RS, atau puskesmas."

Jumlah korban meninggal dari para tenaga kesehatan juga diketahui terus bertambah. Data dari Pusara Digital situslaporcovid19.org  menyatakan bahwa hingga 24 Juni 2021, setidaknya 978 tenaga kesehatan telah meninggal dunia terkait COVID-19.

Cenderung hindari kenyataan

Rosdiana Setyaningrum, psikolog dan Direktur di MS School & Wellbeing Center dan Discovery Zone Therapy Centre, menilai kondisi masyarakat Indonesia masih belum dewasa baik dari sisi disiplin maupun penyelesaian masalah sehingga berpengaruh dalam tingkat pemikiran hipotesis.

Ia menjelaskan secara psikologis orang akan belajar dari pengalaman. Tingkat paling tinggi dari kemampuan berpikir itu, kata dia, adalah kemampuan hipotesis, dan mampu berpikir konkret sehingga harus jelas sebab dan akibatnya. Sayangnya, ia mengatakan, tidak semua orang bisa memiliki pemikiran hipotesis ini.

Selain itu, orang lebih banyak menghindar dari masalah, alih-alih menghadapinya. "Jadi daripada menghadapi masalah bingung mendingan tidak usah tahu sama sekali. Seperti tidak mau PCR karena takut ketahuan positif. Kalau ketahuan positif 'kan harus lapor, isoman."

"Ada lagi karakter yang bodo amat, sehingga lebih di kategorikan sebagai sociopath. Dia tidak peduli lingkungan sekitar, yang penting dirinya, perasaan orang lain itu buat mereka tidak real, bahkan sama keluarganya sendiri mereka tidak peduli," kata Rosdiana. 

Hal senada disampaikan Sosiolog dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN), Dzuriyatun Toyibah. Menurutnya, saat ini masyarakat lebih memilih hal yang menurut mereka enak untuk dijalani ketimbang memilih yang benar. Hal ini diperparah dengan sikap pemerintah yang membuat masyarakat bingung atas apa yang harus dilakukan di masa pandemi ini.

Tanpa lelah terus mengingatkan

Lalu harus bagaimana menghadapi mereka yang tetap ngeyel tidak mau mengikuti protokol kesehatan? Mengingat sifat kompleks dari kelelahan akibat pandemi ini, WHO menyarankan rencana aksi multifaktorial agar tidak ada bagian dari masyarakat yang merasa ditinggalkan.

Hal ini antara lain termasuk memahami orang lain, mengakui dan mengatasi kesulitan yang dialami orang dan dampak besar pandemi terhadap kehidupan mereka, serta bersikap sekonsisten mungkin dalam bertindak dan menyampaikan pesan.

Bagi Hendra, wartawan yang tinggal di Jakarta, dia bertekad untuk terus mengingatkan orang-orang di sekitarnya. "Biar aja dia ngeyel, yang penting kita terus ingetin."

Namun bagi kebanyakan orang yang sudah merasa lelah untuk menegur tapi geram, psikolog Wesmira Parastuti Mia dari Wesmira Psychological & Consultancy Services mengatakan agar tiap orang bisa menahan diri.

"Tarik nafas, menerima bahwa tidak semua orang memang bisa dikasih tahu untuk taat aturan. Kalau mau menegur/kasih tahu pihak yang lebih berwenang untuk menegur, silakan dilakukan." (ae)

Kontributor DW, Tria Dianti
Tria Dianti Kontributor DW. Fokusnya pada hubungan internasional, human interest, dan berita headline Indonesia.