1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikAsia

Panglima Militer Myanmar Ikut Konferensi Keamanan di Moskow

21 Juni 2021

Atas undangan Menteri Pertahanan Rusia, Panglima Militer Myanmar menghadiri konferensi keamanan di Moskow. Rusia adalah salah satu negara yang abstain dalam resolusi PBB untuk menghentikan kekerasan di Myanmar.

https://p.dw.com/p/3vGJm
Panglima militer Myanmar Min Aung Hlaing
Panglima militer Myanmar Min Aung HlaingFoto: AP Photo/picture alliance

Panglima militer Myanmar, Min Aung Hlaing, tiba di Moskow pada Minggu (20/06) untuk menghadiri konferensi keamanan. Ini menjadi perjalanan keduanya ke luar negeri sejak Hlaing merebut kekuasaan lewat kudeta.

Myanmar masih berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi pada Februari.

Pemimpin militer itu hadir atas "undangan Menteri Pertahanan Rusia," demikian dilaporkan oleh media milik negara Myanmar, MRTV. Juga dilaporkan bahwa Hlaing "disambut" oleh duta besar Rusia untuk Myanmar di bandara.

Belum ada laporan rinci tentang berapa lama Hlaing akan berada di Rusia, yang merupakan negara sekutu dan pemasok senjata utama bagi militer Myanmar.

Kedutaan Myanmar di Rusia kemudian mengonfirmasi kedatangan Min Aung Hlaing ke kantor berita negara Rusia, RIA Novosti.

Rusia abstain soal resolusi PBB untuk Myanmar

Kunjungan Min Aung Hlaing dilakukan setelah Majelis Umum PBB mengambil langkah yang langka yakni menyerukan resolusi pada Jumat (18/06) agar negara-negara anggota "mencegah aliran senjata" ke Myanmar.

Resolusi yang pada akhirnya tidak sampai menyerukan embargo senjata global itu, juga menuntut agar militer "segera menghentikan semua kekerasan terhadap demonstran damai." 

Tindakan keras pemerintah militer terhadap pengunjuk rasa yang menentang kudeta telah menewaskan sedikitnya 870 warga sipil, menurut kelompok pemantau lokal.

Resolusi disetujui oleh 119 negara, dengan 36 abstain termasuk Cina dan Rusia. Hanya satu negara yang menentangnya, yakni Belarus.

Min Aung Hlaing menghadiri pembicaraan tentang krisis Myanmar dengan para pemimpin dari 10 negara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Jakarta pada bulan April. Itu adalah perjalanan luar negeri pertamanya sejak merebut kekuasaan Myanmar lewat kudeta.

Pertemuan itu menghasilkan "lima poin konsensus" yang menyerukan "penghentian segera kekerasan" dan kunjungan ke Myanmar oleh utusan khusus regional.

Namun, sang jenderal mengatakan dalam wawancara televisi kemudian bahwa Myanmar belum siap untuk mengadopsi rencana tersebut.

Seorang utusan khusus belum ditunjuk, dan kekerasan terus berlanjut di seluruh negeri.

pkp/rap (AFP)