1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Para Pelacak dari Unit Penelusuran Kontak Covid-19

Christina zur Nedden
30 Mei 2020

Mereka sering disebut sebagai “detektif corona”, para pelacak dan penelusur kontak Covid-19 yang punya misi sangat penting. Inilah tiga dari mereka, yang bekerja di Jerman, AS dan Singapura.

https://p.dw.com/p/3cyQd
Schweiz COVID-19 Contact Tracer in Chamblon
Foto: Reuters/D. Balibouse

Di negara bagian Bayern, Jerman, Franziska Weiss adalah satu dari sekitar 2500 pelacak kontak Covid-19 yang dikerahkan sejak akhir April di negara bagian ini saja. Dia sebenarnya masih mengikuti pendidikan untuk menjadi pegawai negeri sipil, tetapi negara meminta dia menunda pendidikannya dan bekerja sebagai pelacak kontak wilayah luar kota.

Kebanyakan tugas Franziska adalah menelepon orang. Bukan hal mudah, karena awalnya banyak orang akan curiga jika dihubungi lewat telepon dan ditanyakan macam-macam soal kegiatan sehari-hari mereka, termasuk dengan siapa saja mereka punya kontak. Di Jerman, warganya sangat menjaga data-data pribadi mereka.

Kalau ada yang ragu bahwa dia benar-benar bekerja untuk Departemen Kesehatan, Franziska akan memberi orang itu identitasnya di kantor pelayanan kesehatan masyarakat. Dia akan menghentikan percakapan telepon, memberi nomor dinas pelayanan masyarakat, dan menunggu sampai lawan bicara mengonfirmasi identitasnya, lalu menghuibungi dia lagi.

Tugas Franziska sebenarnya adalah menghubungi orang yang dites Covid-19 dan memberitahu hasilnya. Dan jika hasilnya positif, dia perlu tahu dengan siapa saja orang itu melakukan kontak, untuk meredam penyebaran virus.

"Kebanyakan orang tetap tenang ketika saya memberi tahu mereka bahwa mereka terinfeksi. Tapi mereka punya banyak pertanyaan, dan saya hanya punya waktu setengah jam untuk menjelaskan semuanya". Selain penjelasan, Franziska Weiss harus mengorek informasi yang bagi banyak orang bersifat pribadi. Tidak seperti di awal pandemi, sekarang Franziska hanya perlu menelusuri kontak pasien Covid-19 dalam dua hari terakhir. Dulu, mereka harus menelusuri kontak untuk 14 hari terakhir, suatu hal yang cukup sulit diwujudkan.

"Saya harus menyanyakan misalnya apakah mereka pernah ke penata rambut atau mengunjungi dokter. Kalau ya, di mana dan siapa. Terutama orang tua atau yang sudah pelupa, tidak bisa mengingat lagi. Jadi saya harus bertanya kepada anggota keluarganya."

Jika seseorang belum dites, tapi punya kontak dengan pasien Covid-19 dan harus melakukan karantina mandiri, Franziska akan menghubungi orang itu setiap hari, untuk menanyakan keadaan mereka. Jika tes diperlukan, dia harus mempersiapkan tempatnya, di rumah atau di laboratorium.

Tapi Franziska mengaku bisa juga menikmati pekerjaannya. "Saya bisa memberi tahu orang-orang kapan karantina mereka berakhir. Dan itu selalu merupakan saat yang membahagiakan."

Contact Tracing - Lucia Abascal
Lucia Abascal, pelacak kontak Covid-19 dari San FransiscoFoto: Lucia Abascal

San Fransisco, AS: Lucia Abascal

Lucia Abascal bekerja sebagai pelacak kontak di kota San Fransisco, Amerika Serikat. Terutama di kalangan migran dan tunawisma.

"Ada banyak orang tunawisma di San Francisco. Tidak semua orang mampu membayar karantina," kata Lucia Abascal, yang lahir di Meksiko dan sekarang menjadi dokter di AS. Kemampuannya berbahasa Meksiko sangat membantu tugasnya. Hal pertama yang akan dia tanyakan ketika melakukan kontak adalah, apakah lawan bicaranya punya rumah dan cukup makanan untuk 14 hari.

"Mayoritas orang yang berisiko adalah orang Amerika latin. Banyak yang harus ke luar untuk bekerja mencari nafkah menghidupi keluarga besar mereka. Ini membuat mereka rentan terkena virus."

Lucia bekerja dalam tim dengan 40 orang pelacak. Mereka terdiri dari pejabat kesehatan, dokter, mahasiswa kedokteran, juga pegawai-pegawai kantor yang saat ini kehilangan pekerjaan. Tugas mereka menghubungi orang-orang dan mengatur tes untuk mereka. Jika diperlukan, tim juga akan mengirim paket makanan atau obat-obatan, dan mengatur kamar hotel untuk penginapan.

Setiap hari, pekerjaan Lucia diawali dengan pembagian daftar orang yang perlu dihubungi. Dia bekerja dari rumah dalam shift empat jam. Tim pelacak di San Fransisco tidak menggunakan aplikasi pelacakan Covid-19, sekalipun perusahaan teknologi sudah beberapa kali menawarkan dukungan untuk pembuatan aplikasi.

"Aplikasi memang dapat memberi tahu Anda apakah seseorang pergi ke Starbucks, tetapi mereka tidak dapat memberi tahu Anda orang-orang itu mencoba untuk dites, tapi tidak bisa, apakah mereka mengalami kesulitan atau tidak menyediakan makanan untuk keluarga mereka," kata Lucia. "Ada hal-hal rumit pada pekerjaan ini yang tidak bisa diselesaikan oleh teknologi."

Contact Tracing - Edwin Philip
Edwin Philip, pelacak kontak Covid-19 dari SingapuraFoto: Edwin Philip

Singapura: Edwin Philip

Edwin Philip telah bekerja sebagai pelacak kontak Covid-19 di Singapore General Hospital sejak awal Februari. Berbeda dengan Franziska Weiss atau Lucia Abascal, yang menelepon orang-orang yang sudah mereka identifikasi, Edwin justru pertama-tama harus mengidentifikasi lawan bicaranya, lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan terarah, mirip seorang detektif.

Tugasnya adalah merekonstruksi selengkap mungkin histori pergerakan dan kontak seseorang selama 14 hari sebelumnya. Untuk itu, Edwin punya waktu dua jam. Dia mulai dengan mengajukan pertanyaan terperinci tentang makanan mereka.

"Saya menanyakan mereka apa yang mereka punya untuk sarapan, makan siang, dan makan malam. Lalu saya bertanya kepada siapa mereka memberikan botol garam atau saus tomat, berapa lama mereka berbicara dengan orang lain. Ini memberi saya petunjuk tentang siapa-siapa yang bisa terinfeksi."

Edwin kemudian bertanya apakah mereka mengunjungi gereja, masjid, kuil atau mal.

"Beberapa dari mereka mengirimi saya foto semua rekening taksi dan restoran mereka, kadang-kadang sudah lusuh. Jadi saya harus memindai dan membuatnya dapat dibaca lagi," kata Edwin. Kalau ada yang tidak bisa mengingat semuanya lagi, Edwin akan berbicara dengan pasangan atau anggota keluarga mereka.

Corona-Alltag weltweit, Singapur
Hunian padat pekerja migran di SingapuraFoto: Reuters/E. Su

Sebagian besar infeksi Covid-19 di Singapura sekarang terjadi di asrama hunian yang yang menampung 300 ribu dari sekitar 1,4 juta pekerja di Singapura. Karena kebanyakan dari mereka berasal dari Asia Selatan, Edwin sering menghadapi hambatan bahasa.

"Pada awal wabah, sebagian besar yang terinfeksi adalah warga Cina, yang bisa berbicara dengan banyak orang Singapura, termasuk saya. Tapi saya tidak tahu bahasa Bengali (Bangladesh) dan penerjemahnya juga kurang," katanya.

Seperti Fanziska Weiss atau Lucia Abascal, Edwin Philip tidak menggunakan aplikasi dalam pekerjaannya. Memang ada aplikasi pemerintah, TraceTogether, tapi itu dipandang sebagai alat bantu sekunder. Pelacakan dan penelusuran kontak terbukti efektif jika dilakukan oleh manusia. Singapura memang sudah punya pengalaman pelacakan kontak ketika menghadapi wabah SARS tahun 2003. (hp/yp)