1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Patung Puteri Duyung Bukan yang Pertama Disensor

27 Maret 2019

Patung Puteri Duyung di Ancol yang ditutupi bagian dadanya adalah 'korban' kesekian dari sensor terhadap karya seni patung. Hal ini tak hanya berulang di Indonesia, sejumlah negara lain juga pernah melakukannya.

https://p.dw.com/p/3FjzL
Indonesien Statue einer Meerjungfrau mit goldenen Röhrenoberseiten
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry

Akhir pekan lalu publik kembali dihebohkan dengan sensor terhadap karya seni patung. Pihak taman rekreasi Ancol memakaikan kain yang menutupi bagian dada patung-patung Puteri Duyung yang sudah bertahun-tahun mereka miliki.

Pihak Ancol mengatakan keputusan tersebut diambil untuk mengembalikan "budaya ketimuran" dari Indonesia. "Kita orang timur, kita punya budaya ketimuran. Apa yang tidak pantas di sini, kita buat pantas”, tambahnya.

Patung yang ditutupi dengan kain berwarna emas tersebut kini telah dipindahkan ke area yang lebih sepi, sebab pengunjung kerap menarik kain tersebut dari patung.

Indonesien Statue einer Meerjungfrau mit goldenen Röhrenoberseiten
Foto: Getty Images/AFP/A. Berry

Rika Lestari, Juru bicara Ancol juga menegaskan bahwa keputusan ini diambil tanpa tekanan dari pihak luar. "Tidak ada tekanan dari kelompok apa pun. Ancol hanya mencoba menjadi tujuan taman hiburan dan destinasi liburan bagi keluarga,” jelas Lestari.

Beragam komentar penuhi dunia maya menanggapi hal ini. Salah satunya datang dari komedian Soleh Solihun dalam sebuah cuitan.

Kasus Berulang di Indonesia

Tahun 2017 lalu, publik Surabaya juga dikejutkan dengan dibongkarnya Patung Balerina di Surabaya. Patung dua balerina lelaki dan perempuan itu dinilai mengandung unsur pornografi. Padahal patung yang berlokasi di depan Kampus Universitas Negeri Surabaya ini sudah ada selama bertahun-tahun.

Protes terhadap patung juga terjadi di tahun 2012. Patung Tugu Zapin yang merupakan ikon kota Pekanbaru mendapat protes dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Riau. MUI Riau menilai karya I Nyoman Nuarta ini bersifat erotis. Patung Tugu Zapin memperlihatkan seorang lelaki dan seorang perempuan yang menari tarian daerah. Protes ditujukan untuk patung perempuan.

Indonesien Zapin-Monumet in Pekanbaru, Riau
Patung Tugu Zapin di Pekanbaru, RiauFoto: picture-alliance/NurPhoto/A. Silalahi

Terjadi juga di mancanegara

Penyensoran patung juga terjadi di dunia maya. Di tahun ini, jejaring media sosial terbesar, Facebook menyensor postingan promosi pameran bertajuk "Caesar and the Rhone" dari Museum of Art and History (MAH) di Jenewa, Swiss.

Kekecewaan ini dicuitkan oleh pihak museum, dengan menyarankan agar Facebook mengganti kebijakannya untuk museum seni.

Hal serupa juga dilakukan Facebook pada 2018 lalu, Facebook menyensor foto patung yang diposting oleh Laura Ghianda. Postingan tersebut menampilkan patung perempuan telanjang, berjudul "Venus of Willendorf". Kecaman datang tak hanya dari Ghianda, namun juga dari pihak museum yang memiliki karya ini, yakni The Natural History Museum (NHM) di Wina, Austria. Facebook memiliki kebijakan untuk tidak mengizinkan postingan berbau ketelanjangan, termasuk untuk tujuan artistik dan edukasi.

Tahun 2014 lalu, patung "The Virgin Mother" karya pematung asal Inggris Damien Hirst ditutupi secara keseluruhan dengan terpal hitam. Patung setinggi 10 meter ini memperlihatkan sosok seorang perempuan mengandung tanpa busana, dengan sebagian tubuh memperlihatkan jaringan dan organ dalam tubuh.  Warga di Long Island's Village, Old Westbury, AS meminta untuk menutupi patung sebab dianggap menakutkan dan memberikan "mimpi buruk" bagi anak-anak.

Sementara itu, di tahun 2002 sebuah patung perempuan "Tumbling Woman” karya Eric Fischl, yang dipamerkan di kawasan perkantoran Rockefeller Plaza, AS harus terpaksa dibongkar setelah sebelumnya sempat ditutupi. Pembongkaran patung itu berlangsung beberapa hari setelah pemasangannya. Masyarakat menilai patung itu mengingatkan akan peristiwa 11 September.

ga/ts (AFP, BBC, ncac.org, diyphotography.net)