1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

PBB Mulai Diskusi Iklim Saat Banjir dan Kebakaran Melanda

26 Juli 2021

Dalam beberapa pekan terakhir, gelombang panas, banjir, dan kekeringan ekstrem telah terjadi di tiga benua. Para ahli memulai diskusi untuk cegah bencana iklim berskala global.

https://p.dw.com/p/3y4Yh
Kebakaran akibat gelombang panas di AS dan Kanada
Kebakaran akibat gelombang panas di AS dan Kanada. Perubahan iklim diperkirakan akan memicu cuaca ekstrem Foto: Noah Berger/AP Photo/picture alliance

Sekitar 200 negara pada Senin (26/07) memulai negosiasi daring untuk memvalidasi laporan sains Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang akan menjadi skala ukuran pada pertemuan puncak di musim gugur tahun ini. Pertemuan ini bertujuan mencegah bencana iklim dalam skala global.

Dalam beberapa pekan terakhir, gelombang panas, banjir, dan kekeringan yang memecahkan rekor telah terjadi di tiga benua, semuanya diperparah dengan adanya pemanasan global. Keseluruhan peristiwa cuaca ekstrem tersebut membuat Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang dibentuk pada 1988 untuk menginformasikan negosiasi iklim PBB, menjadi tepat untuk digelar. 

"Ini akan menjadi peringatan, tidak ada keraguan tentang itu," kata Richard Black, pendiri dan rekanan senior di lembaga pemikir Energy and Climate Intelligence Unit yang bermarkas di London, Inggris. Richard Black mengatakan bahwa laporan dari para peneliti tersebut datang hanya beberapa minggu menjelang Sidang Umum PBB, KTT G20, dan KTT iklim COP26 yang beranggotakan 197 negara di Glasgow.

Dunia bukan lagi tempat yang sama

Sejak adanya penilaian komprehensif terakhir IPCC pada tahun 2014 tentang pemanasan global di masa lalu dan masa depan, dunia ini bukan lagi tempat yang sama. Sebelum terjadinya gelombang panas dan kebakaran yang mematikan baru-baru ini, masih ada debat dan keraguan apakah memang cuaca global tengah ataukah ini adalah hampir sepenuhnya karena ulah manusia. Selain itu orang juga sibuk memprediksi bahwa dampak dari perubahan iklim adalah makin beratnya masalah di masa depan.

Yang juga berbeda sejak tahun 2014 adalah bahwa telah diadopsinya Perjanjian Paris dengan janji kolektif untuk membatasi kenaikan suhu permukaan bumi pada "jauh di bawah" dua derajat Celsius di atas level akhir abad ke-19. 

Polusi karbon dari pembakaran bahan bakar fosil, kebocoran gas metana, dan pertanian telah menaikkan termometer 1,1 derajat Celsius sejauh ini. Setelah jeda singkat yang disebabkan oleh Covid, emisi kembali meningkat tajam, menurut Badan Energi Internasional (IEA).

Selain itu, ada Traktat 2015 yang memuat batasan aspirasional pada pemanasan sebesar 1,5 derajat Celsius. Laporan khusus IPCC pada tahun 2018 juga menunjukkan betapa lebih dahsyatnya dampak pertambahan 2 derajat Celcius bagi kehidupan umat manusia dan planet ini.

Batasan aspirasional 1,5 derajat Celcius menjadi target de facto dan bukti pengaruh IPCC dalam membentuk kebijakan global, kata penulis utama IPCC dan profesor Universitas Maynooth Peter Thorne.

Para ilmuwan telah menghitung bahwa emisi gas rumah kaca harus turun 50% pada tahun 2030, dan dihapus seluruhnya pada tahun 2050 agar tetap berada dalam kisaran 1,5 derajat Celsius.

Sains telah banyak berubah

Selain itu, perubahan besar selama tujuh tahun belakangan ini ada dalam sains itu sendiri. "Hari ini kita punya model proyeksi iklim yang lebih baik, dan pengamatan yang lebih lama dengan sinyal perubahan iklim yang jauh lebih jelas," kata ahli iklim Robert Vautard, juga penulis utama IPCC dan direktur Institut Pierre-Simon Laplace Prancis.

Bisa dibilang terobosan ini memungkinkan para ilmuwan untuk pertama kalinya bisa dengan cepat mengukur sejauh mana perubahan iklim telah mendorong intensitas atau kemungkinan peristiwa cuaca ekstrem. 

Misalnya, dalam beberapa hari setelah gelombang panas mematikan yang menghanguskan Kanada dan AS bagian barat bulan lalu, konsorsium Atribusi Cuaca Dunia menghitung bahwa gelombang panas hampir tidak mungkin terjadi tanpa kontribusi manusia.

Namun analisis fakta tetap tidak sama dengan prediksi ke masa depan, dan IPCC telah dikritik oleh beberapa orang karena meremehkan potensi bahaya, sebuah tindakan berulang yang dikritik oleh sejarawan sains Harvard, Naomi Oreskes.

"Kita mungkin mendekati titik kritis"

Mulai Senin, perwakilan dari 195 negara, dengan para ilmuwan terkemuka, akan memeriksa 20 hingga 30 halaman laporan tentang perubahan iklim. Pertemuan virtual pada putaran pertama ini mencakup bidang ilmu fisika. Dokumen itu diharapkan bisa dirilis pada 9 Agustus 2021.

Bagian kedua dari laporan ini, yang akan diterbitkan pada Februari 2022, mencakup dampak. Sementara bagian ketiga, yang akan diumumkan bulan berikutnya, membahas solusi untuk mengurangi emisi.

Selain itu, pertemuan tersebut juga akan membahas fokus baru pada apa yang disebut peristiwa "probabilitas rendah, berisiko tinggi", seperti pencairan lapisan es yang tidak dapat diubah yang dapat meningkatkan permukaan laut beberapa meter, dan pembusukan lapisan es yang sarat dengan gas rumah kaca.

"Umpan balik yang memperkuat perubahan (menunjukkan dampak yang) lebih kuat dari yang kita duga dan kita mungkin mendekati beberapa titik kritis," kata Tim Lenton, Direktur Institut Sistem Global Universitas Exeter.

ae/hp (AFP)