1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

PBB Peringatkan Potensi Eskalasi Kekerasan di Myanmar

17 Februari 2021

Utusan PBB memperingatkan meningkatnya potensi bentrok antara pengunjuk rasa dengan militer , setelah pemimpin sipil Aung San Suu Kyi didakwa untuk kedua kalinya. Protes nasional menentang kudeta semakin besar.

https://p.dw.com/p/3pSkD
Warga Myanmar menggelar protes nasional anti kudeta
Protes nasional menentang kudeta militer memasuki pekan ketiga Foto: AP/picture alliance

Pelapor khusus PBB untuk Myanmar, Tom Andrews, memperingatkan potensi meningkatnya kekerasan di Myanmar pada Rabu (17/02). Pengunjuk rasa anti-kudeta diperkirakan akan kembali berhadapan dengan militer. Sebelumnya Panglima militer Myanmar pada Senin (8/2/2021) mengutarakan janji untuk mengembalikan kekuasaan setelah digelarnya pemilu.

Peringatan itu muncul setelah pemimpin sipil yang digulingkan oleh militer, Aung San Suu Kyi, didakwa untuk kedua kalinya pada Selasa (16/02. Andrews juga mengisyaratkan bahwa Suu Kyi mungkin telah secara diam-diam diadili atas dakwaan pertamanya.

"Saya khawatir akan terjadi kekerasan dalam skala yang lebih besar di Myanmar pada hari Rabu daripada yang kita saksikan selama ini sejak pengambilalihan pemerintah secara ilegal pada 1 Februari," kata Andrews dalam sebuah pernyataan.

Dia mengatakan telah "menerima laporan tentang tentara yang dikerahkan ke setidaknya kota Yangon dari daerah terpencil".

"Dulu, pergerakan pasukan seperti itu yang menjadi awal pembunuhan, penghilangan orang, dan penahanan secara massal," katanya.

"Saya takut mengingat dua perkembangan ini - protes massal yang direncanakan dan pengumpulan pasukan – bisa membawa kita ke jurang di mana militer melakukan kejahatan yang lebih besar terhadap rakyat Myanmar."

Kelompok pemantau internet yang berbasis di Inggris, NetBlocks, mengatakan bahwa akses internet Myanmar telah diputus selama tiga hari berturut-turut. Para jenderal militer berusaha meredam pemberontakan anti-kudeta di media sosial.

Dalam dua minggu sejak militer menggulingkan Aung San Suu Kyi dan menjadikannya tahanan rumah di ibu kota administratif Naypyidaw, warga di kota-kota besar dan desa terpencil sama-sama melakukan pemberontakan secara terbuka. 

Dakwaan baru bagi Aung San Suu Kyi

Suu Kyi sekarang menghadapi dakwaan kedua yakni melanggar Undang-Undang Bencana Nasional Myanmar. Meskipun tidak ada rincian lebih lanjut tentang dakwaan tersebut, namun pelanggaran semacam ini digunakan untuk menuntut orang yang melanggar aturan pembatasan terkait pengendalian virus corona.

Tuntutan tersebut memungkinkan militer untuk menahan Suu Kyi tanpa batas waktu dan tanpa melalui pengadilan terlebih dulu. Semua ini dimungkinkan karena perubahan pada KUHP negara yang diterapkan junta minggu lalu.

Sebelumnya, Suu Kyi didakwa melanggar Undang-Undang Impor dan Ekspor negara karena memiliki walkie talkie di rumahnya yang diimpor tanpa terdaftar.

‘‘Mereka ingin melalukan hal buruk‘‘

Pasukan keamanan menggunakan tindakan yang semakin keras untuk meredam protes nasional dan kampanye pembangkangan yang mendorong pegawai negeri untuk mogok kerja.

Militer telah dikerahkan ke seluruh negeri dalam beberapa hari terakhir. Pasukan keamanan menggunakan peluru karet, gas air mata, dan katapel dalam menghadapi pengunjuk rasa.

"Mereka memutus internet karena mereka ingin melakukan hal-hal buruk," kata Win Tun, warga Myanmar berusia 44 tahun, yang tinggal di ibu kota Yangon. 

Protes di Myanmar
Demonstran anti kudeta memegang papan bergambar pemimpin sipil Aung San Suu Kyi yang digulingkan oleh militerFoto: AP/picture alliance

Banyak pekerja di sektor pemerintahan termasuk pengemudi kereta yang bergabung dengan pemogokan massal anti-kudeta. Hal ini membuat junta kebingungan untuk memulai kembali pengoperasian kereta api nasional setelah penutupan kota akibat COVID-19.

Kritik tentang lambatnya respon UE terhadap kudeta 

Amerika Serikat (AS) dan Inggris telah mengecam kudeta militer di Myanmar. Sementara, Duta Besar Cina untuk Myanmar mengatakan pada Selasa (16/02) bahwa "perkembangan saat ini di Myanmar sama sekali bukan yang diharapkan oleh Cina".

Sejauh ini, hanya AS yang mengumumkan sanksi terhadap para jenderal, dan mendesak mereka untuk melepaskan kekuasaan.

Jerman dan Uni Eropa (UE) "harus memberlakukan embargo senjata terhadap penguasa militer di Myanmar dan juga membatasi akses istimewa negara itu ke pasar Eropa," kata Christoph Hoffmann, anggota parlemen Jerman dari Partai Demokrat Bebas (FDP) yang pro pasar bebas, kepada DW pada Selasa (16/02).

Ke depan, "semua aset pribadi para jenderal di Eropa juga harus diblokir," lanjutnya.

Hoffmann mengkritik respon lambat UE terhadap kudeta militer Myanmar yang telah terjadi lebih dari dua minggu lalu. Dia menambahkan dirinya berharap pertemuan para menteri luar negeri UE minggu depan akan menghasilkan "tindakan lebih lanjut". 

pkp/gtp (AP, reuters)