1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

PBB: 47 Negara Termiskin Hadapi Ancaman Kemiskinan Ekstrem

Kristie Pladson
4 Desember 2020

Laporan PBB terbaru menyebut bahwa pandemi COVID-19 dapat mendorong 32 juta orang di negara-negara miskin masuk ke dalam kemiskinan ekstrem. Tanpa tindakan internasional, tujuan pembangunan global mustahil terwujud.

https://p.dw.com/p/3mD6w
Seorang wanita mengenakan masker saat pergi ke tempat kerjanya pada pagi hari di Dhaka, Bangladesh di tengah pandemi corona.
Foto: Syed Mahamudur Rahman/NurPhoto/picture alliance

Di tahun 2020, negara-negara kurang berkembang di dunia (Least Developed Countries/LDCs) akan mengalami performa ekonomi terburuk dalam 30 tahun akibat pandemi virus corona. Demikian disampaikan oleh Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) dalam sebuah laporan yang dirilis pada Kamis (03/12).

Dalam laporan bertajuk Least Developed Countries Report 2020 itu, UNCTAD memperkirakan bahwa turunnya tingkat pendapatan, pengangguran yang meluas, dan meningkatnya defisit fiskal akibat pandemi dapat membuat 32 juta orang di negara-negara “kurang berkembang” tersebut masuk dalam jurang kemiskinan ekstrem. 

47 negara hadapi meningkatnya kemiskinan ekstrem.
47 negara hadapi meningkatnya kemiskinan ekstrem.

Dampak kesehatan awal dari virus corona di negara-negara ini memang tidak separah yang dikhawatirkan oleh banyak orang. Namun, dampak ekonomi yang ditimbulkan justru sangat parah, kata laporan itu. Perkiraan pertumbuhan ekonomi untuk negara-negara ini telah direvisi dari 5% turun menjadi -0,4% antara Oktober 2019 dan Oktober 2020. Hal ini diperkirakan akan menyebabkan turunnya pendapatan per kapita secara keseluruhan sebesar 2,6% pada tahun 2020.

“Negara-negara paling tidak berkembang (LDCs) saat ini tengah mengalami resesi terburuk dalam 30 tahun,” tulis Sekretaris Jenderal UNCTAD Mukhisa Kituyi dalam kata pengantar laporan tersebut. 

“Standar hidup mereka yang sudah rendah semakin menurun. Tingkat kemiskinan mereka yang sudah tinggi terus meningkat, membalikkan sedikit perbaikan yang sejatinya telah mereka capai sebelum pandemi. Progres pencapaian di bidang nutrisi, kesehatan dan pendidikan juga terbengkalai karena serangan krisis,” tambahnya.

Grafik Sistem Kesehatan di LDCs.
Garafik sistem kesehatan di LDCs.

Para ahli percaya bahwa pengalaman penanganan epidemi sebelumnya ditambah faktor demografis (kepadatan populasi yang lebih rendah dan populasi yang relatif muda) telah banyak membantu LDCs menghadapi bulan-bulan pertama wabah virus corona. Namun, UNCTAD memperingatkan bahwa lonjakan infeksi corona di masa depan akan menimbulkan guncangan bagi sistem perawatan kesehatan yang sejatinya masih belum berkembang di negara-negara itu.

Korban resesi ekonomi global

Selain itu, resesi ekonomi global tampaknya memiliki dampak yang lebih besar terhadap ekonomi LDCs daripada penurunan di pasar domestik mereka sendiri. Negara-negara yang ekonominya sangat bergantung pada ekspor beberapa produk, seperti mineral dan logam atau garmen telah mengalami guncangan hebat karena volume perdagangan luar negeri yang turun secara tiba-tiba. Masifnya penurunan permintaan global disebut berimbas pada tertekannya harga ekspor produk-produk utama.

Laporan itu juga menyebut bahwa krisis ekonomi berkepanjangan dapat menyebabkan hilangnya pekerjaan tetap dan mengancam kewirausahaan di LDCs. Tingkat kemiskinan global dan kerawanan pangan pun diperkirakan akan meningkat.

Laporan itu menyebut bahwa jumlah orang di LDCs yang hidup di bawah garis kemiskinan dengan pendapatan US$ 1,90 (Rp 27 ribu) per hari diperkirakan akan naik 3 poin persentase menjadi 35,2%. Angka ini mewakili tambahan sebanyak 32 juta orang.

“Negara-negara paling tidak berkembang (LDCs) ini telah mengerahkan upaya mereka yang terbatas untuk melawan resesi, namun mereka menyadari bahwa mereka telah menjadi negara yang paling parah dilanda krisis yang sejatinya bukan tanggung jawab mereka, mirip dengan situasi mereka terkait perubahan iklim,” kata Kituyi. “Ini adalah ketidakadilan yang perlu diperbaiki”, tambahnya.

Risiko bagi target pembangunan berkelanjutan 

Situasi di LDCs juga memunculkan risiko tertentu bagi kesehatan global, pendidikan dan tujuan keberlanjutan, kata laporan itu. Bahwa populasi bisa saja terdorong melakukan strategi penanggulangan yang merugikan, termasuk mengurangi konsumsi makanan sehat dan mengeluarkan anak-anak mereka dari sekolah.

Dukungan terhadap LDCs dinilai akan menjadi kunci dalam mencapai target global yang ditetapkan dalam Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan. Target global ini bertujuan untuk mewujudkan masa depan yang berkelanjutan dan lebih adil bagi populasi manusia dunia, serta pengentasan kemiskinan.

Laporan itu menyebut bahwa untuk membangun kembali ekonomi usai pandemi akan sangat sulit dilakukan jika kapasitas produksi negara yang sudah rendah sebelum pandemi tidak ditingkatkan. Kapasitas produktif suatu negara dimaksudkan sebagai kemampuan dalam menghasilkan barang dan jasa dan mencapai pertumbuhan dan pembangunan.

Oleh karenanya, Kituyi menyerukan kepada komunitas internasional untuk membantu LDCs dengan rencana-rencana aksi yang berkaitan dengan pengembangan kapasitas produktif di sana.

“Ini adalah satu-satunya cara untuk memastikan terwujudnya pembangunan berkelanjutan dan teratasinya tantangan pembangunan jangka panjang di negara-negara kurang berkembang,” tulisnya.

gtp/rap