1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pelanggaran HAM oleh Perusahaan Internasional

8 Desember 2010

Apakah HAM tidak punya kesempatan menang melawan kepentingan ekonomi? Itu dibicarakan NGO Jerman Selasa, 7 Desember di Berlin. Contoh aktual bisa ditemukan di mana-mana.

https://p.dw.com/p/QTZb
Sebagian bahan bakar disel yang diperdagangkan berasal dari minyak kelapa sawitFoto: cc/BinaryApe

Sebenarnya, Guy Bertrand menyukai minyak kelapa sawit. Tetapi apa yang dialaminya akibat tindak-tanduk perusahaan produsen minyak SOCAPALM di negaranya, Kamerun, menyebabkan jurubicara organisasi perlindungan lingkungan FOCARFE itu tidak bisa tersenyum lagi.

"Sebuah pohon kelapa sawit lebih berharga daripada seorang manusia. Itu kenyataan. Sebuah pohon nilainya lebih tinggi daripada manusia." Demikian tutur Bertrand. SOCAPALM adalah perusahaan industri pertanian yang dulu didirikan oleh pemerintah. Perusahaan itu memproduksi minyak di lima perkebunan besar.

Privatisasi Berkonsekuensi Negatif

Tahun 2000, perusahaan tersebut mengalami privatisasi atas tekanan Bank Dunia. 4 dari 5 pemilik sahamnya sekarang berasal dari Eropa, antara lain perusahaan penanaman modal dari Luxemburg, Belgia dan Perancis. Demikian dikatakan Bertrand.

Dengan privatisasi kebutuhan akan tanah untuk perkebunan meningkat dan mendesak penduduk asli Bantu dan suku-suku lainnya. Mereka didesak oleh milisi. Banyak dari mereka kehilangan pekarangan yang biasanya digunakan untuk menanam bahan pangan kebutuhan sendiri.

Bertrand bercerita, lewat privatisasi penduduk lokal seharusnya mendapat keuntungan, dan itu menjadi imbalan bagi tanah mereka yang hilang. Warga dijanjikan pekerjaan, tetapi tidak pernah dipenuhi.

Hak Pekerja Tidak Diperhatikan

Di mana ada pekerjaan, seperti pada pekerja perkebunan, kontrak kerja hanya singkat. Orang dapat dipecat kapan saja, tanpa jaminan sosial apapun, tanpa hak untuk mogok. Itu bukan hanya melanggar norma yang ditetapkan Organisasi Buruh Internasional (ILO), tetapi juga peraturan Organisasi untuk Kerjasama dan Perkembangan (OECD) untuk perusahaan multi nasional.

palmoil_bigpalms_fr.jpg
Foto: cc

Menurut OECD, yang beranggotakan 30 negara, pekerjaan di bidang ekonomi di negara berkembang harus sejalan dengan hak asasi manusia. Pihak perusahaan harus menghormatinya. Karena Guy Bertrand tidak percaya, bahwa Socapalm yang dikendalikan dari Eropa mematuhi ketetapan OECD, ia mengajukan masalah Socapalm awal Desember lalu ke badan berwenang di beberapa negara Eropa. Badan-badan itu bertugas mengurus keluhan, tetapi mereka tidak dapat menjatuhkan sanksi terhadap perusahaan.

Kesulitan Bukan Itu Saja

Armin Paasch, dari bagian perdagangan dunia dan pangan pada organisasi kemanusiaan Jerman Misereor mengatakan, di Jerman kesulitannya bukan hanya itu saja. Karena badan tersebut berada di bawah Departemen Ekonomi, yang pada saat bersamaan juga bertugas mendorong perekonomian di luar negeri. Jadi konflik kepentingan sudah pasti terjadi.

Paasch menjelaskan lebih lanjut, "Di Belanda, misalnya, ada badan yang terdiri dari sejumlah pakar dari berbagai kelompok masyarakat, jadi juga dari lembaga swadaya masyarakat, serikat pekerja dan sebagainya. Jika begitu, otonominya lebih terjamin."

Ikut Bertanggungjawab

Menurut Paasch, akar masalah dalam kasus Socapalm di Kamerun terletak pada cara perusahaan internasional dapat diminta pertanggungjawabannya bagi pelanggaran HAM yang terjadi di negara ke tiga. Bentuk hukum perusahaan itulah yang menentukan. Menurutnya, dalam hukum Jerman dan Eropa ada prinsip pemisahan antara perusahaan induk dan anak perusahaan. Jadi kesalahan anak perusahaan tidak menjadi tanggungjawab perusahaan induk. Dengan demikian perusahaan induk di Eropa dapat lolos dari hukum.

Yang dituntut Guy Bertrand, perusahaan Eropa juga harus bertanggungjawab atas kesalahan anak perusahaannya di negara berkembang. Dan itu harus ditetapkan pengadilan Eropa. Dengan cara itu, keterkaitan antar harga barang dan gaji pekerja dalam perdagangan internasional dapat dihentikan. Karena pada akhirnya penduduk lokal harus menanggung akibatnya.

Richard Fuchs/Marjory Linardy

Editor: Asril Ridwan