1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pelarian Uighur di Turki Khawatir Dibarter Vaksin Cina

5 Februari 2021

Pemerintah Turki dituduh menggiatkan deportasi para pelarian Uighur demi mendapat jatah vaksin corona dari Cina. Beijing dikabarkan masih menahan puluhan juta dosis vaksin yang sudah dilunasi Turki.

https://p.dw.com/p/3owGT
Sebanyak 50.000 warga etnis Uighur saat ini mendiami Turki setelah melarikan diri dari Cina.
Sebanyak 50.000 warga etnis Uighur saat ini mendiami Turki setelah melarikan diri dari Cina.Foto: Getty Images/AFP/Y. Akgul

Pada sebuah malam sebulan silam, Abdullah Metseydi, sedang merapikan kasur ketika pintu rumahnya digedor keras. "Polisi! Buka pintunya!” Sejurus kemudian, pria Uighur yang sedang dalam pelarian di Turki itu sudah berhadapan dengan selusin pasukan anti teror bersenjata lengkap.

Dia ditanyai apakah pernah terlibat dalam gerakan melawan Cina, dan diancam akan dideportasi bersama isterinya. Dia dibawa ke sebuah fasilitas penampungan, dan mendapati diri berada di pusaran sebuah kontroversi politik.

Pasalnya kelompok oposisi menuduh pemerintah memulangkan pelarian Uighur secara diam-diam ke Cina demi mendapat vaksin corona. Puluhan juta dosis vaksin yang sudah dibayar Turki saat ini masih ditahan oleh Beijing atas alasan logistik.

Pada saat yang sama kepolisian menggiatkan penggerebekan terhadap pengungsi Uighur. Sebanyak 50 orang sudah ditahan di pusat detensi keimigrasian untuk dideportasi, keluh pengacara terdakwa. Jumlah warga Uighur yang dideportasi tahun ini jauh lebih tinggi ketimbang tahun lalu.

Sejauh ini tidak ada bukti yang mengaitkan operasi anti migran ilegal di Turki dengan tertundanya pengiriman vaksin corona oleh Cina. Namun Beijing berulangkali dituduh memanfaatkan vaksin demi memaksakan kepentingan politiknya.

Perjanjian ekstradiksi antara Turki dan Cina sebenarnya sudah disepakati bertahun lalu, namun mendadak disahkan oleh Beijing pada Desember silam. Februari ini naskah RUU terkait sudah akan dibahas di parlemen Turki.

Ekstradisi bertukar vaksin

Warga Uigur di Turki mengatakan UU ekstradisi menggambarkan skenario terburuk, yakni dideportasi kembali ke Xinjiang, di mana lebih dari satu juta warga Uighur mendekam dalam kamp reedukasi. 

Beijing mengatakan apa yang terjadi di Xinjiang adalah operasi anti terorisme. Namun sebuah laporan BBC baru-baru ini mengungkap tindak pemerkosaan dan penyiksaan secara sistematis yang digunakan aparat keamanan Cina di kamp-kamp tersebut. 

"Saya ketakutan dideportasi,” kata Melike, isteri Metseydi. "Saya mengkhawatirkan kesehatan mental suami saya,” imbuhnya.

Kecurigaan muncul ketika kiriman pertama vaksin buatan Cina tertahan selama berpekan-pekan Desember silam. Otoritas Turki mengatakan sumber masalah terletak pada perizinan. 

Tapi sampai saat ini pun, Cina hanya mengirimkan sepertiga dari 30 juta dosis vaksin yang seharusnya sudah tiba akhir Januari lalu, keluh Yildirim Kaya, seorang anggota legislatif dari partai oposisi terbesar. 

"Keterlambatan seperti ini tidak normal. Kita sudah membayar lunas vaksin-vaksin itu," kata dia. "Apakah Cina sedang memeras Turki?.” Yildirim mengaku sudah menanyakan secara resmi kepada pemerintah perihal tekanan Cina. Tapi sejauh ini keluhannya belum dijawab.

Otoritas Turki dan Cina bersikeras menepis dugaan UU Ekstradisi tidak dibuat untuk membidik warga Uighur. Kantor berita pemerintah di Beijing menyebut kekhawatiran tersebut sebagai sebuah "hasutan,” dan juru bicara Kementerian Luar Negeri, Wang Wenbin, menolak adanya koneksi antara vaksin dan ekstradisi.

"Saya yakin spekulasi Anda tidak berdasar,” kata dia dalam sebuah jumpa pers, Kamis (4/2).

Adapun Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu, menegaskan pihaknya "tidak menggunakan warga Uighur untuk tujuan politik. Kami membela hak asasi mereka,” kata dia Desember silam.

Nasib Uighur di ujung tanduk

Pemerintah di Ankara disebut menggunakan tuduhan keterlibatan dengan aksi terorisme sebagai alasan deportasi. Meski beberapa menghilang di Suriah dan bergabung dengan para jihadis, kebanyakan warga Uighur di Turki menolak kekerasan atas nama agama.

Kamp re-edukasi milik Cina di Xinjiang.
Kamp re-edukasi milik Cina di Xinjiang.

"Mereka tidak punya bukti kongkrit,” kata Ilyas Dogan, Guru Besar Hukum di Universitas Ankara. Dia mewakili enam terpidana Uighur yang ditahan di pusat deportasi, termasuk Adullah Metseyedi. "Mereka tidak serius,” dalam meramu dakwaan, katanya lagi.

Saat ini sekitar 50.000 warga Uighur mendapat suaka di Turki. Mereka menikmati dukungan luas penduduk, sebabnya terlindungi dari deportasi massal, kata Ilyas. Ikatan kultural antara Uighur dan Turki juga mempermudah penerimaan di masyarakat.

Namun Turki juga membutuhkan aliran investasi dari Tiongkok, terutama setelah pengusaha barat angkat kaki menyusul reaksi pemerintah menumpas kudeta pada 2018 silam. 

Saat ini investor Cina membiayai beragam proyek besar di Turki antara lain pembangunan pembangkit listrik batu bara senilai USD 1,7 miliar di pesisir Laut Tengah. Presiden Recep Tayyip Erdogan yang dulu menuduh Cina melakukan "genosida” di Xinjiang, belakangan mulai sering memuji uluran bantuan dari pemerintah di Beijing.

Sebaliknya Cina dikabarkan semakin rajin meminta pemulangan pengungsi Uighur dari Turki.

Abdurehim Parac, seorang penyair Uighur yang ditahan dua kali selama beberapa tahun terakhir, mengatakan situasi penahanan di Turki "serupa hotel” jika dibandingkan kondisi di kamp re-edukasi Cina yang "seperti di neraka.”

"Kematian menanti saya di Cina,” kata dia, yang meski berhasil bertahan di Turki, namun ketakutan dideportasi setiap saat. 

rzn/hp (Associated Press)