1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kekhawatiran Diskriminasi Akibat Smart Pakem

26 November 2018

Aplikasi Smart Pakem yang diluncurkan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta sulut kekhawatiran semakin bertambahnya diskriminasi kelompok minoritas.

https://p.dw.com/p/38tll
Indonesien Ahmadiyya-Minderheit
Foto: Getty Images/AFP/Muhasan

Lewat aplikasi bernama Smart Pakem (Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat) warga Jakarta dapat melaporkan ormas yang meresahkan masyarakat. Mulai hari ini, aplikasi itu bisa diunduh lewat Google Play Store.

Asisten Bidang Intelijen Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, Yulianto mengatakan saat aplikasi diluncurkan Kamis (22/11), "Aplikasi ini juga dibuat untuk mengedukasi masyarakat dan transparansi. Dalam aplikasi sudah ada bagian pengaduan." 

Aplikasi tersebut mencakup sejumlah fitur seperti daftar keyakinan yang dilarang pemerintah juga ormas-ormas yang dilarang. Terdapat juga fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan formulir untuk mengadukan atau memberikan informasi tentang kepercayaan atau sekte-sekte. Yulianto menambahkan, "Melalui aplikasi ini, kami bisa langsung tahu lokasi pelapor." 

Baca juga: Grace Natalie: Kami Anti Diskriminasi, Bukan Anti Agama

Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam mengatakan, app tersebut punya potensi pelanggaran kebebasan beragama. "Itu bisa menyulut penganiayaan, kekerasan dan kriminalisasi." Demikian ditandaskan Choirul Anam seperti dikutip harian The Jakarta Post.

Ia mengatakan telah meminta pemerintah dan Kejaksaan Agung untuk menghapus aplikasi tersebut, karena berlawanan dengan keinginan pemerintah untuk menciptakan budaya saling menghormati dan toleransi.

Peneliti dari Institut Setara, Halili Hasan menyatakan pendapat serupa. Ia mengungkap, aplikasi itu akan semakin memarjinalisasi pengikut keyakinan agama minoritas

Kepada Jakarta Post ia menambahkan, apakah sebuah keyakinan sesat atau tidak, tidak bisa ditentukan sesuai pendapat publik. Menurut Halili Hasan, aplikasi itu hanya menyebabkan semakin terpecah-belahnya masyarakat dan melegitimisasi orang-orang yang merasa orang-orang yang berpandangan berbeda daripada “mainstream" layak dianiaya.”

Baca juga: Meiliana dan Pasal Penodaan Agama yang Terus Menghantam Minoritas

Sementara jurubicara Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), Yendra Budiana mengatakan, peluncuran aplikasi akan membuat orang saling mencurigai dan menambah potensi konflik serta merusak dialog antar kepercayaan yang sudah mulai dibentuk di masyarakat.

Sebaliknya, Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung, Mukri mengatakan, aplikasi itu dibuat  agar masyarakat bisa dengan mudah mengecek apakah sebuah kelompok dilarang atau tidak oleh pemerintah.

Mukri menambahkan, jika sebuah kelompok dilaporkan melalui aplikasi tersebut, itu bukan berarti kelompok itu akan segera dihancurkan. Tetapi aplikasi itu membantu Kejagung untuk melakukan investigasi selanjutnya.

Sumber: The Jakarta Post, rtr (ml/hp)