1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemaparan Sejarah Cina

1 Oktober 2009

1 Oktober 2009 Cina merayakan hari jadi ke-60. Tapi peristiwa yang dirayakan 60 tahun terakhir dan tampilan sejarah aktual Cina masih ditentukan Partai Komunis. Sejarah masih menjadi instrumen propaganda pemerintah Cina.

https://p.dw.com/p/JvmK
Pameran dalam rangka 60 Tahun berdirinya Rebublik Rakyat Cina di Istana Kebangsaan, BeijingFoto: Ruth Kirchner / DW

Di Istana Kebangsaan di barat Beijing sebuah pameran akbar dengan tema 60 Tahun Kemajuan Sosial di kawasan minoritas dipadati pengunjung. Ditampilkan gambar-gambar warga di Tibet, Xinjiang dan Mongolia yang tampak bahagia. Pameran dalam rangka perayaan 60 tahun berdirinya Republik Rakyat Cina itu ingin menampilkan harmoni dan kemajuan ekonomi. Dalam pameran itu tidak disinggung-singgung upaya memperoleh otonomi di Tibet atau Xinjiang.

Apa yang tidak cocok dengan gambaran harmoni sosial kebanyakan tidak disinggung-singgung baik dalam pameran itu ataupun dalam buku-buku sejarah. Misalnya penumpasan berdarah mengatasi gerakan demokrasi tahun 1989. Tentang 10 tahun Revolusi Kebudayaan kalaupun dibahas hanya sekilas. Seperti halnya Loncatan Besar ke Depan yang akhir tahun 50-an membawa Cina ke dalam bencana kelaparan, yang ketika itu menyebabkan lebih dari 30 juta orang meninggal. Sampai kini dalam buku-buku sejarah Cina tidak pernah disinggung jumlah korban yang tewas. Pemaparan sejarah Cina dari pihak resmi tidak dapat dipercaya. Demikian jurnalis yang kritis Li Datong

"Saat ini semua pemaparan sejarah Republik Rakyat Cina merupakan kebohongan. Tidak satu pun yang benar, semua bohong."

Li mengalami sendiri bagaimana sensitifnya mempertanyakan gambaran sejarah yang dipaparkan pemerintah. Sampai tiga tahun lalu Li adalah pimpinan redaksi majalah „Titik Beku“. Sebuah majalah populer yang diterbitkan badan pusat Liga Remaja Komunis. Kemudian ia mempublikasikan sebuah esai dimana seorang sejarawan mengkritik pemaparan sepihak Pemberontakan Boxer yang merupakan gerakan anti orang asing November 1899 sampai September 1901, dalam buku-buku pelajaran di Cina. Sejak itu Li dibungkam. Dalam partai Komunis dimana Li bertahun-tahun menjadi anggotanya, ia juga melancarkan kritik.

„Mereka mengawasi setiap aspek pemaparan sejarah di media. Hal itu meliputi buku-buku pelajaran, surat kabar, film, radio dan televisi, karya-karya sastra dan seni, pokoknya semua media."

Sejumlah institusi di Cina bertanggung jawab agar penyimpangan interpretasi sejarah tidak sampai terdengar. Pusat Penelitan untuk sejarah partai misalnya berada langsung di bawah Komite Pusat Partai Komunis. Selain itu ada bagian dokumentasi yang menentukan dokumen-dokumen sejarah mana yang diakui mana yang tidak. Sebuah komisi di kementerian pendidikan mengawasi buku-buku pelajaran sejarah untuk sekolah-sekolah. Badan Sensor Pusat GAPP yakni Biro Pers dan Publikasi mengawasi semua bentuk penerbitan lainnya. Profesor Xiao Yanzhong dari Institut Marxisme di Universitas Beijing mengatakan, para sejarawan tahu benar tema-tema mana yang tabu

"Dalam sensor berlaku demikian: Dari Jawatan GAPP tidak ada petunjuk kongkrit hal-hal apa yang tidak boleh ditulis. Tapi setidaknya orang tahu sendiri tema apa yang tidak boleh ditulis, misalnya tentang Revolusi Kebudayaan."

Pemaparan sejarah yang terseleksi memicu berkembangnya rasa ingin tahu, terutama yang menyangkut Bapak pendiri negara, Mao Zedong. Misalnya dalam daftar kejadian sejarah terpenting selama 60 tahun terakhir yang dimuat harian rakyat Cina dalam situs internetnya, memang tercantum gerakan pembebasan Tibet pada tahun 1951. Tapi semua kejadian politik di dalam negeri sampai dua tahun setelah kematian Mao tahun 1976 tidak disebutkan. Hal itu tidak sesuai dengan metode penulisan sejarah, kritik Profesor Xiao

"Pada kami sejarah bukannya diceritakan melainkan dibuat. Jika tampak ada cahaya buruk yang menyorot pemerintah, hal itu tidak disentuh, apa yang tampaknya positif bagi mereka ditonjolkan. Hal sekecil apapun dibesar-besarkan. Hal-hal lainnya dianggap tidak penting.“

Soundtrack musik dari film „Berdirinya sebuah Republik“ yang sejak berhari-hari diputar di bioskop di Cina. Film drama bombastis berdurasi dua jam itu menyorot Partai Komunis sebagai penyelamat rakyat Cina dan Mao Zedong sebagai penyusun strategi militer yang handal dan demokrat gemilang yang setelah kemenangannya atas kelompok nasionalis menghimpun semua partai dalam satu meja.

Karya itu berakhir dengan proklamasi berdirinya Republik Rakyat Cina 1 Oktober 1949. Film itu sekali lagi menunjukkan bagaimana sejarah Cina diinstrumentalisir. Demikian para kritisi. Peran Mao sebagai pendiri negara diidealisir, kejahatannya ditutupi. Menurut Li Datong semua ini berfungsi untuk mempertahankan kekuasaan tunggal Partai Komunis

„Partai itu harus melanjutkan semua struktur politik yang diwariskan Mao. Jika mereka meninggalkan Mao, muncul demokrasi. Oleh sebab itu Mao tidak boleh ditinggalkan dan harus dipertahankan, terserah mereka mau atau tidak. Dalam politik ekonomi Mao sudah lama ditinggalkan, dalam politik hal itu tidak bisa dilakukan. Partai Komunis hidup dengan dilema ini.“

Tapi manipulasi sejarah terus berlangsung. Oleh sebab itu Profesor Xiao dari Institut Marxisme di Universitas Beijing berupaya tidak menggunakan pelajaran sejarah resmi dalam kuliahnya. Ia sendiri hanya dapat mempublikasikan karyanya di luar negeri. Fokus penelitian Profesor Xiao justru bertitik berat pada Mao untuk mengkritik partai Komunis. Diskusi terbuka dengan pakar sejarah lainnya memang memungkinkan, tapi hanya dalam lingkungan tertutup tidak terbuka.

„Di Cina bila berani orang dapat menulis apa saja sesukanya, tapi tidak akan menemukan surat kabar yang berani untuk mempublikasikannya. Oleh sebab itu semua profesor adalah pesilat lidah yang lihai. Mereka tahu benar istilah-istilah bagaimana yang harus digunakan untuk memaparkan secara tidak langsung. Tapi di dalam lingkungan kampus kami cukup memiliki kebebasan luas, kami relatif dapat terbuka menyampaikan pendapat. Meskipun demikian kami harus tetap berhati-hati dengan siapa kami membicarakan suatu tema.“

Ruth Kirchner / Dyan Kostermans

Editor: Agus Setiawan