1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pembantaian Massal '65 di Venice Film Festival

28 Agustus 2014

Kelanjutan film dokumenter yang mendapat pujian luas dunia tentang pembunuhan massal di Indonesia pasca ’65 diperkirakan bakal menjadi sorotan dalam Venice Film Festival yang sedang digelar.

https://p.dw.com/p/1D37L
Foto: Carl Court/AFP/Getty Images

The Look of Silence, karya sutradara Joshua Oppenheimer, ceritanya dibuat dia atas filmnya tahun 2012, The Act of Killing. Dokumenter ini mengikuti perjalanan seorang laki-laki yang mempertanyakaan pembuhanan atas saudara laki-lakinya, yang menjadi salah satu korban pembantaian anti-Komunis yang diperkirakan merenggut sedikitnya setengah juta nyawa antara tahun 1965 hingga 1966.

Film ini merupakan satu dari 20 film yang berkompetisi untuk penghargaan tertinggi Golden Lion, yang tahun lalu untuk pertama kalinya dimenangkan oleh dokumenter dari Italia Sacro GRA.

Tragedi '65 yang masih kontroversial

Jenderal angkatan darat Suharto, yang pada masa itu menjadi presiden Indonesia, memerintahkan perburuan setelah enam jenderal tewas dibunuh pada 30 September 1965, dalam percobaan kudeta yang disebut dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pada 2012, sebuah penyelidikan yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan menemukan pelanggaran hak asasi manusa berat selama perburuan para pengurus, anggota serta simpatisan PKI pada masa itu, termasuk diantaranya dalam bentuk pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan dan pengusiran paksa. Tapi kejaksaan menanggapi temuan itu dengan menyatakan bahwa tidak ada bukti yang cukup kuat yang bisa diajukan untuk melakukan penuntutan.

Pada 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang ia sendiri merupakan seorang bekas jendral angkatan darat, meminta sejumlah menteri, kejaksaan dan Komnas HAM untuk menemukan cara menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus ‚65, namun tidak ada kesepakatan dalam mengusulkan penyelesaian kasus lama ini.

Pemerintah juga menolak seruan dari berbagai aktivis hak asasi manusia yang meminta negara menyampaikan permohonan maaf atas pembantaian 1965, sambil berkeras bahwa perburuan anti-Komunis bisa dibenarkan dalam rangka melindungi persatuan nasional.

Selama 32 tahun masa pemerintahan otoriter Suharto, para pelajar diajarkan bahwa orang kuat Orde Baru itu sukses dalam operasi penghancuran PKI setelah upaya percobaan kudeta yang gagal tersebut.

Berbagai buku yang menawarkan versi lain dari peristiwa itu dilarang. Orde Baru mewajibkan para pelajar menonton film propaganda Pengkhianatan G-30S-PKI, yang menggambarkan para Komunis sebagai orang yang anti agama dan jahat.

Sejumlah kemajuan

Ada upaya membangun rekonsiliasi setelah Suharto jatuh tahun 1998.

Pada 2004, Mahkamah Konstitusi mencabut undang-undang yang melarang bekas tahanan politik yang dituduh terlibat PKI, untuk ikut maju dalam pemilihan umum.

Enam tahun kemudian, MK juga membatalkan aturan yang dipergunakan oleh rezim untuk melarang buku-buku yang menawarkan versi tidak resmi mengenai kudeta ‘65.

ab/hp (afp,dpa,ap)