1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

030611 Tiananmen Schweigen

3 Juni 2011

Bagi mahasiswa di Cina, tanggal 4 Juni merupakan tanggal biasa, sebagaimana tanggal lainnya. Pemerintah Cina dengan kebijakan hening membiarkan para mahasiswa kini, tidak mengetahui kejadian, 22 tahun silam.

https://p.dw.com/p/11TYN
Peringatan Pembantaian Tianamen, 4 Juni 2010, di HongkongFoto: AP

Terdapat berbagai istilah yang menandai aksi kekerasan berdarah yang dilakukan oleh pemerintah Cina untuk menumpas aksi protes damai yang dilakukan oleh mahasiswa pada tahun 1989. Salah satunya angka “64” yang merupakan simbol tanggal pembantaian di Lapangan Tiananmen pada tanggal 4 Juni 1989. Sejak 22 tahun silam, istilah 64 itu ditabukan. Oleh sebab itu, para pengguna internet yang kreatif menggunakan sejumlah simbol, untuk menghindari sensor yang dilakukan pemerintah Cina.

Aksi protes untuk memperjuangkan kebebasan dan demokrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa pada tahun 1989, mirip dengan gelombang protes di negara-negara Arab, baru-baru ini. Pemicu aksi protes tersebut adalah: membumbungnya harga kebutuhan pokok. Para mahasiwa mengkritik penguasa dan keluarga beserta kroninya, yang memiliki keistimewaan khusus yang amat diuntungkan dalam sistem perekonomian terpimpin ketika itu.

Meskipun unjuk rasa dilakukan oleh para mahasiswa secara damai, pemerintah Cina memutuskan mengerahkan Tentara Pembebasan Rakyat untuk meredam aksi tersebut. Panser dikerahkan ke Lapangan Tiananmen. Senjata ditembakan. Awalnya tindakan yang dilakukan pemerintah oleh pejabat diistilahkan sebagai tindakan pendisiplinan yang terkendali, namun dalam aksinya, tentara-tentara itu menunjukan sisi lain wajahnya. Berbagai sumber menyebutkan, akibat aksi kekerasan itu, jatuhnya korban jiwa diperkirakan ratusan hingga 2000 an orang.

Setelah pembantaian itu, para ibu dari korban yang tewas mendirikan organisasi bernama "Ibu-ibu Tiananmen". Bertahun-tahun mereka menuntut pertanggungjawaban pemerintah. Sejak organisasi itu didirikan, pemerintah mengawasi aktivitasnya secara ketat dan melakukan aksi reperesi.

Kini setelah 22 tahun berlalu, pemerintah Cina berusaha menyogok keluarga korban dengan uang, agar mereka membisu. Xu Jue, seorang ibu yang anaknya menjadi korban, mengungkapkan kemarahannya, "Pemerintah berutang keadilan kepada kami. Namun yang dibicarakan hanyalah soal uang. Bagaimana nyawa anak kami bisa tergantikan dengan uang? Apakah ini semacam penghinaan terhadap kami?"

Di pihak lain, mantan kepercayaan sekjen partai Komunis Cina Zhao Ziyang tahun 1989, Bao Tong, berpendapat, tawaran kompensasi yang diberikan oleh pemerintah Cina merupakan wujud pengakuan negara terhadap insiden itu, "Ini merupakan hal baik. Orang-orang yang dulunya bersimpati pada korban Tiananmen disebut kontra revolusioner dan didepak dari jabatannya. Kini pemerintah menawarkan kompensasi dan mengakui kesalahan."

Namun "Ibu-ibu Tiananmen" masih memperoleh tekanan. Sepekan sebelum tanggal 4 Juni, mereka mendapat kunjungan dari petugas jawatan keamanan. Mereka dilarang untuk meninggalkan rumah pada tanggal sensitif itu, atau mengunjungi makam anak-anaknya. Xu Jue dan ibu-ibu lainnya tetap memperjuangkan tuntutan mereka kepada pemerintah Cina.

Mereka mendesak penyelidikan menyeluruh atas peristiwa pembantaian Tiananmen dan konsekuensi hukum bagai para pelakunya. Di luar itu mereka menuntut kompensasi bagi keluarga korban peristiwa tanggal 35 Mei 1989, yakni tanggal simbol di internet Cina.

Jun Yan/Ayu Purwaningsih

Editor: Agus Setiawan