1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemberontak Libya Kecewa Terhadap NATO

6 April 2011

Pertempuran di Libya tidak kunjung berakhir. Para pemberontak menuding koalisi negara barat dan Arab bertanggung jawab atas situasi saat ini. Meski terpukul pada hari-hari terakhir, para pemberontak tidak ingin menyerah.

https://p.dw.com/p/RG1Z
Pemberontak LibyaFoto: Picture-Alliance/dpa

Penguasa Libya Muammar al-Gaddafi berupaya agar kehidupan kelihatan biasa-biasa saja. Ia mengangkat menteri luar negeri baru. Abdelati Obeidi ditunjuk menggantikan bekas Menlu Mussa Kussa yang pekan lalu lari meminta suaka di London. Sejak awal serangan koalisi negara barat dan Arab dua pekan lalu, 30 persen kapasitas militer Gaddafi menurut pernyataan NATO telah dihancurkan.

Para pemberontak Libya tidak ingin kehilangan semangat, meskipun beberapa hari terakhir ini menderita kekalahan dalam pertempuran melawan pasukan Gaddafi. Dari pos pengawasan di dekat Ajdabiya kelompok perlawanan mengirimkan logistik ke arah barat. Mereka hendak merebut kota Brega yang secara strategis dianggap penting. Penarikan kelompok perlawanan hari Selasa lalu (5/4) dikatakan hanya merupakan sebuah taktik. Demikian diungkapkan seorang jurubicara pemberontak, Fathi Mukhtar: "Semuanya dapat dikuasai. Tentara-tentara kami menyisir wilayah ini. Pasukan Gaddafi kadang-kadang menembaki tentara kami. Lalu mereka menarik diri."

Lebih ke timur, di dekat Tobruk para pemberontak mulai mengapalkan minyak dari penyulingan minyak yang berhasil dikuasainya. Sebuah kapal tanker yang mengangkut minyak sejumlah hingga satu juta barel dilaporkan telah meninggalkan pelabuhan Tobruk. Menurut keterangan sendiri, para pemberontak telah melakukan kesepakatan dengan Qatar menyangkut ekspor minyak. Uang baru berarti senjata baru yang diperlukan kelompok perlawanan bagi pertarungan memperebutkan kekuasaan, dan ini tidak hanya di bagian timur negeri itu.

Libyen Aufständische bei Brega
Pemberontak Libya dekat kota BregaFoto: dapd

Pemberontak kritik pedas NATO

Sementara itu para penentang Gaddafi mengkritik pedas strategi NATO. Dalam sebuah jumpa pers Selasa malam (5/4) di Benghazi, pemimpin pemberontak, Jenderal Abdulfattah Junis mengutarakan, NATO hingga kini mengecewakan mereka. Pasukan NATO dikatakan sering mengebom terlambat dan tidak bertindak cukup tegas. Selanjutnya Junis mengkritik bahwa untuk menjalin kontak antara pemberontak dengan NATO sampai serangan udara dilancarkan diperlukan waktu hingga delapan jam. Namun seorang petugas koalisi menyangkal hal itu dan mengatakan, intensitas operasi NATO tidak berkurang.

Sejak pengambilalihan komando serangan udara untuk melindungi warga sipil Libya Kamis lalu (31/3), pesawat tempur NATO telah melakukan 400 operasi udara. Demikian menurut NATO. NATO juga melaporkan hari Selasa (5/4) telah menghentikan sembilan kapal di perairan Libya yang hendak memasok senjata.

Belgien NATO Generalsekretär Anders Fogh Rasmussen in Brüssel
Sekjen NATO, Anders Fogh RasmussenFoto: dapd

Gaddafi upayakan kontak dengan Obama

Sebelumnya, pimpinan NATO menegaskan, serangan udara terarah, misalnya terhadap kota Misrata yang diduduki pasukan Gaddafi, menimbulkan masalah terbesar bagi para pilot dan komando operasi NATO. Pasalnya, Gaddafi menyalahgunakan warga sipil sebagai perisai manusia untuk melindungi panser-panser dan senjata artileri beratnya dari serangan udara.

Di Misrata, 210 kilometer sebelah barat Benghazi, sejak berpekan-pekan ini aliran listrik padam dan dan tidak ada air bersih. Penduduk harus bertahan di tengah-tengah tembakan artileri pasukan Gaddafi. Dilaporkan bahwa rumah-rumah sakit pun menjadi target serangan. Seorang pemberontak mengatakan, bila NATO menunggu satu minggu lagi, Misrata akan hancur.

Sementara itu, sejak awal serangan udara koalisi, untuk pertama kalinya Gaddafi mengupayakan kontak resmi dengan Presiden AS Barack Obama. Demikian dilaporkan kantor berita Libya Jana, tanpa merincinya.

Christa Saloh/dpa/afpe

Editor: Agus Setiawan