1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Hukum dan Pengadilan

Upaya Radikal untuk Selamatkan TKI dari Vonis Hukuman Mati

Tonggie Siregar
2 November 2018

Pasca eksekusi terhadap Tuti Tursilawati, Migrant Care mendesak pemerintah ikut bersama negara lain menuntut ketertutupan Arab Saudi. Kasus Khashoggi dan Tuti, bukti diabaikannya hak asasi perorangan di negara itu.

https://p.dw.com/p/37X6f
Deutschland Symbolbild Häusliche Gewalt
Foto: picture alliance/dpa/M. Gambarini

Tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, Tuti Tursilawati (33), buruh migran asal Kabupaten Majalengka, Jawa Barat dieksekusi hukuman mati di Arab Saudi, hari Senin (29/10). Buntut eksekusi mati tersebut, demonstrasi digelar pada Jumat pagi (2/11/2018), di depan Kedutaan Besar Arab Saudi, Jakarta. Para demonstran menyuarakan protes atas putusan Pemerintah Arab Saudi serta melakukan aksi simbolik menyegel kantor Kedubes Arab Saudi dengan pita kertas berwarna kuning. Beberapa lembaga seperti Amnesty Internasional Indonesia, elemen mahasiswa UI, KontraS, LBH Jakarta, dan Migrant Care turut ikut dalam unjuk rasa tersebut.

Saat ini Indonesia masih berhadapan dengan 18 ancaman hukuman mati lainnya terhadap para buruh imigran. Wahyu Susilo, Direktur Migran Care dalam wawancara bersama DW Indonesia mengkritisi lemahnya diplomasi pemerintah terhadap Arab Saudi serta memaparkan tindakan tegas apa yang harus dilakukan bersama negara lainnya perihal kasus pelanggaran HAM di negara itu.

Indonesien Wahyu Susilo
Wahyu Susilo, Direktur Migran Care Foto: privat

DW: Proses hukum terhadap Tuti Tursilawati sudah berlangsung sejak 2011 dan pendampingan hukum juga telah menempuh berbagai cara. Apa yang menyebabkan Tuti tetap tak bisa lolos dari hukuman mati di Arab Saudi. Adakah hal yang tidak diwaspadai Indonesia dari kasus ini?

Wahyu Susilo: Saya kira memang secara internal ada masalah di Indonesia soal advokasi hukuman mati, meskipun sebenarnya dalam beberapa tahun terakhir ini beberapa upaya pembebasan TKI kita yang terancam hukuman mati sudah ada hasilnya. Tetapi memang sangat sulit untuk mengupayakan pembebasan ketika vonisnya sudah vonis tetap. Jadi seperti juga yang dialami Zaini Misrin (2018), Siti Zaenab (2015), atau Karni (2015). Jadi, keterlambatan kita dalam melakukan advokasi terhadap mereka dalam proses hukum juga punya kontribusi yang besar terhadap hal ini.

Secara eksternal memang ada ketertutupan dari Arabi Saudi untuk mengesampingkan semua pertimbangan-pertimbangan seperti itu. Jadi tidak hanya keterbatasan yang dimiliki pemerintah Indonesia, tapi juga berpulang pada ketertutupan dan sikap pemerintah Arab Saudi yang tidak kooperatif dan juga tidak mempertimbangkan aspek hak asasi manusia.

Dari sekian banyak kasus vonis hukuman mati,  termasuk dalam kasus Tuti, penyebabnya adalah pembunuhan majikan yang dilakukan karena buruh migran mengalami pelecehan seksual. Kira-kira adakah yang bisa dilakukan untuk melindungi mereka dari hal tersebut?

Pertama memang harus ada kontrol. Kita merekomendasikan, Menteri Tenaga Kerja membatalkan rencana untuk membuka one channel system. Jadi harus memastikan benar sistem yang membuat buruh migran bisa berkomunikasi. Bila seorang TKI kerja di Arab Saudi, dan dia berada dalam kondisi isolatif. Dia tidak bisa berkomunikasi dengan telepon genggam ataupun internet. Kemudian, memastikan Arab Saudi mengubah sistem kafalah yaitu majikan menganggap pekerja imigran kita sebagai properti. Jadi juga harus ada dorongan yang radikal terhadap ketertutupan Arab Saudi.

Kasus Tuti atau kasus Zarni Misrin Maret 2008 lalu, pemerintah Arab Saudi terlambat bahkan tidak memberitahukan pemerintah Indonesia akan eksekusi hukuman mati. Apa yang bisa dilakukan, setidaknya keluarga berhak untuk mengetahui hal itu?

Saya kira memang tekanannya tidak sebatas nota protes diplomatik. Harus ada tekanan yang lebih bisa memberi daya dorong Arab Saudi untuk mengubah sikapnya memberi notifikasi. Misalnya, berkali-kali, kami dalam kasus hukuman mati selalu mengusulkan ke pemerintah Indonesia untuk menurunkan dulu tingkat diplomasi kita. Setidaknya persona non grata terhadap Duta Besar Arab Saudi. Misalnya suruh pulang dulu, tiga sampai enam bulan.

Menurut Anda, pemerintah Indonesia belum bertindak tegas?

Belum terjadi. Kalau nota protes diplomatik, itu seperti layaknya: business as ussual. Harus ada upaya-yang luar biasa melampaui yang biasa dilakukan. Data kita 18-19 terancam hukuman mati, dan data dari Kemenlu 13 orang. Harus ada akurasi data sehingga kita tahu pada tahap mana kita melakukan advokasi terhadap mereka. Kalau masih di ranah hukum, upaya pembelaan melalui peradilan. Kalau sudah lewat peradilan, upaya diplomasi politik bisa dilakukan, atau bahkan upaya personal, seperti permintaan maaf kepada keluarga. Akurasi data dan kasus itu sudah sampai dimana, sangat penting.

Bagaimana diplomasi yang dilakukan Menlu Indonesia, Retno  Marsudi, Oktober lalu ketika bertemu dengan Menlu Arab Saudi di Jakarta membicarakan tentang TKI. Lalu dalam kasus Tuti, Presiden Jokowi juga langsung menghubungi Menlu Arab Saudi Adel al-Jubaeir. Apakah diplomasi seperti ini tidak ada dampaknya?

Hal ini sudah berkali-kali. Ada banalitas diplomasi yang dilakukan Arab Saudi yang diabaikan oleh semua. Tidak hanya pada kasus Tuti ini, misalnya pada kasus yang berdampak internasional yaitu kasus pembunuhan Khashoggi. Bahkan Amerika, Eropa, Jerman melakukan tekanan. Arab Saudi tidak berubah posisinya. Ini yang saya kira, Indonesia juga harus satu barisan dengan negara-negara itu. Tidak saja kita memperjuangkan soal Tuti Tursilawati, tapi juga soal ketertutupan Saudi Arabia soal masih terjadinya pelanggaran HAM. Saya kira Jerman sangat konsisten menuntut Arab Saudi. (ts/yp)