1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemilu Jerman: Tingkat Partisipasi Orang Miskin Rendah

Bettina Stehkämpfer
27 Agustus 2021

Rendahnya tingkat partipasi pemilih untuk ambil bagian dalam pemilu parlemen Bundestag menjadi tantangan di daerah-daerah pemilihan, seperti di Duisburg-Hochfeld. Banyak warga miskin di sana telah menyerah pada politik.

https://p.dw.com/p/3zV50
Calon anggota parlemen dari Partai Kiri, Mirza Edis (kiri), berbincang dengan seorang warga di daerah pemilihannya
Calon anggota parlemen dari Partai Kiri, Mirza Edis (kiri), berbincang dengan seorang warga di daerah pemilihannyaFoto: DW

Entah sudah berapa kilometer calon anggota parlemen dari Partai Kiri, Mirza Edis, berjalan di daerah pemilihannya di Duisburg, sebuah kota di lembah Ruhr di negara bagian Nordrhein-Westfalen. Edis, 49, adalah anggota dewan kota Duisburg, tetapi sekarang dia ingin masuk ke parlemen federal, Bundestag.

Edis mengobrol dengan hampir semua orang yang lewat. Dia ingin tahu apa yang ada di pikiran orang. Terkadang dia berbicara dalam bahasa Jerman, terkadang dalam bahasa Turki. Di daerah pemilihannya memang banyak imigran Turki yang juga memiliki paspor Jerman.

Duisburg-Hochfeld adalah distrik yang sulit untuk diwakili. Sekitar 20.000 orang dari 136 negara berbeda tinggal di sana. Selama pemilihan daerah terbaru, yang diadakan pada tahun 2020, hanya 22% pemilih yang memenuhi syarat di Hochfeld yang memberikan suara mereka. Kebanyakan orang di daerah miskin ini bergantung pada bantuan negara. Banyak dari mereka yang mengaku kecewa dengan politisi.

"Ini adalah distrik yang sangat diabaikan selama 30 tahun terakhir. Kami dulu memiliki kolam renang di sini. Kami memiliki pusat pemuda. Semuanya telah ditutup," ungkap Edis. Orang tua Edis sendiri pindah ke Duisburg-Hochfeld dari Turki pada tahun 1975 silam.

Berjuang bertahan hidup

"Di tempat-tempat di mana partisipasi pemilih rendah, jumlah ibu tunggal dua kali lebih tinggi dari daerah lain, proporsi migran tiga kali lebih tinggi, dan tingkat pengangguran empat kali lipat," ungkap sebuah studi yang dilakukan oleh serikat pekerja Hans Böckler Foundation pada tahun 2010.

Semua kriteria ini berlaku untuk Duisburg-Hochfeld. Ketika berjalan 11 tahun setelah studi tersebut, situasinya semakin buruk. Ketimpangan sosial meningkat. Orang-orang yang merasa terpinggirkan secara sosial biasanya menjauh dari kotak suara.

Günter Spikofski, manajer daerah "Tafel", sebuah organisasi nirlaba yang mendistribusikan makanan yang disumbangkan kepada orang-orang yang membutuhkan, memiliki penjelasan sederhana tentang kurangnya minat pemilih.

Manajer Tafel  Duisburg-Hochfeld, Günter Spikofski
Manajer Tafel Duisburg-Hochfeld, Günter SpikofskiFoto: DW

"Orang-orang yang miskin memiliki kekhawatiran lain selain memilih. Mereka perlu mencari tahu cara mengisi lemari es. Orang yang terlibat dalam politik atau memilih konsep politik harus bisa berpikir jangka panjang. Namun, jika Anda perlu berimprovisasi setiap hari, Anda memerlukan semua sumber daya Anda untuk saat ini. Untuk mendapatkan cukup untuk makan sekarang, mencari tempat untuk tinggal sekarang, mendapatkan uang untuk biaya sekolah anak-anak sekarang," jelasnya.

Martina Tiedchen, yang telah menjadi sukarelawan di Tafel selama dua tahun, bertugas mengatur pemberian bantuan. Tiedchen harus memastikan bahwa orang yang mencari bantuan dapat memberikan bukti bahwa mereka bergantung pada bahan makanan gratis. Selain itu, jika mereka hanya mengerti bahasa Farsi atau Arab, Tiedchen tidak dapat memberikan bantuan kepada mereka.

Yakin tidak ada yang akan berubah

Setiap minggu, Tafel di Duisburg-Hochfeld menyediakan makanan gratis untuk 400 rumah tangga, terhitung untuk sekitar 2.000 orang. Banyak pensiunan miskin mengantre di sini. Mereka membenci para politisi karena fakta bahwa mereka berada dalam situasi ini.

Seorang perempuan berusia 60 tahunan yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan: "Saya selalu memilih, terlibat, tetapi ketika saya harus merawat ibu saya selama bertahun-tahun, itu tidak memungkinkan. Tidak, saya tidak memilih lagi."

Hal senada juga diungkapkan Amela Jakupi. Dia datang ke Jerman 30 tahun lalu dan terkejut dengan betapa kumuhnya lingkungannya saat ini.

Imigran baru juga tidak percaya politik

Sementara itu, Mizra Edis mendatangi Hochfeld Arcades. Kawasan perbelanjaan ini adalah titik pertemuan utama bagi penduduk setempat.

Warga yang telah lebih lama tinggal di Hochfeld pun menyalahkan imigran atas fakta bahwa tidak ada lagi toko kelas atas di sini. Dari penduduk Duisburg-Hochfeld, 60% bukanlah warga negara Jerman.

Bagaimanapun, Edis ingin para imigran baru dipahami sebagai pengayaan. "Toko-toko tidak tutup karena orang-orang datang dari Rumania dan Bulgaria, tetapi karena penduduk Jerman meninggalkan bagian kota ini. Saya senang kehidupan di sini sekarang. Dan itu hal yang baik bagi kota untuk memiliki pendapatan bisnis."

Jumlah pendatang baru dan kebutuhan akan perumahan meningkat di Duisburg-Hochfeld
Jumlah pendatang baru dan kebutuhan akan perumahan meningkat di Duisburg-HochfeldFoto: Getty Images

Demokrasi jadi proyek elite

Ada konsekuensi yang harus diterima jika orang-orang berpenghasilan rendah tidak lagi menggunakan hak suara mereka. Studi yang dilakukan oleh Hans Böckler Foundation menyebutkan bahwa "ketidakpuasan sering mengarah pada sikap apatis dan penolakan partisipasi politik, tetapi tidak untuk memprotes."

Manajer Tafel, Günter Spikofski, juga berpikir bahwa karena para politisi tidak perlu takut pada orang miskin, mereka tidak menganggap keprihatinan mereka dengan cukup serius. "Saya pikir frustrasi terus bertambah, tetapi orang miskin tidak akan memulai revolusi, jadi itu sebabnya semuanya tetap seperti apa adanya."

Namun, Mirza Edis tidak ingin semuanya tetap seperti apa adanya. Menurutnya, seharusnya tidak hanya orang berpendidikan dan kaya yang memilih. Itu sebabnya dia akan berjalan lebih banyak di daerah pemilihannya demi memenangkan kembali hati warga lama dan pendatang baru untuk demokrasi.

(Ed: rap/ha)