1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Pemotongan Nisan Salib Cuatkan Isu Intoleransi di Yogyakarta

18 Desember 2018

Aksi warga sebuah desa di Yogyakarta yang memotong nisan salib di sebuah makam warga Katolik memicu kontroversi. Warga sebelumnya meminta keluarga menyetujui aksi tersebut dengan menandatangani surat pernyataan.

https://p.dw.com/p/3AIqP
Chile Treffen der chilenischen Bischöfe in Punta de Tralca
Foto: Getty Images/AFP/C. Reyes

Pemakaman seorang penganut Katholik, Albertus Slamet Sugihardi, di desa Purbayan, Kotagede, Yogyakarta, dibayangi aksi intoleransi usai warga memotong nisan berbentuk salib yang sedianya menghiasi makam. Warga menolak simbol Nasrani di tempat pemakaman umum tersebut.

"Ini adalah konsensus warga," kata Bejo Mulyono, seorang tokoh warga, seperti dilansir The Jakarta Post. "Kemarin itu karena darurat, diperbolehkan, asal makamnya dipinggirkan," imbuhnya kepada Tirto.id.

Baca juga: Darurat Intoleransi Guru dan Buku Ajar Agama Islam

Slamet yang sehari-hari bekerja sebagai supir untuk lembaga bantuan Palang Merah Indonesia meninggal dunia pada usia 63, Senin (17/12), setelah mengalami serangan jantung.

Menurut Bejo, keluarga sudah menyetujui tuntutan tersebut. Sebelumnya dia mengirimkan surat pernyataan buat ditandatangani isteri almarhum, Maria Sutris Winarni, yang meminta keikhlasan keluarga bahwa nisan salib di makam suaminya dipotong warga. Surat bermaterai itu juga menyatakan pihak keluarga tidak akan mempermasalahkan aksi tersebut di kemudian hari.

"Keluarga sudah bisa menerima, dia tidak ada masalah. Mungkin yang memviralkan itu di luar keluarga," klaim Bejo kepada Tirto.id lagi.

Warga desa tidak hanya melarang nisan salib, tetapi juga upacara pemakaman secara Katolik di lokasi pemakaman umum dan kediaman pribadi almarhum. Akhirnya keluarga juga sepakat memindahkan misa ke Gereja Katolik Santo Paulus Pringgolayan yang berada di luar desa.

Baca juga: Peran Ma'ruf Amin Dalam Legalisasi Diskriminasi Minoritas di Indonesia

"Desa kami toleran, kecuali untuk upacara keagamaan," kata Bejo lagi.

Bejo mengklaim warga telah menunjukkan sikap toleran dengan membantu keluarga mengurus jenazah, antara lain membantu menyiapkan proses pemakaman, pemandian jenazah, hingga meminjamkan ambulans untuk membawa jenazah.

Yogyakarta sebenarnya banyak berbenah ihwal maraknya intoleransi. Jika pada 2017 silam Yogyakarta bertengger di urutan enam terendah dari 94 kota dalam Indeks Kota Toleran yang disusun Setara Institute, tahun ini posisi kota Gudeg berada di urutan 41.

rzn/ap (thejakartapost, tirto.id, tempo)

Teror Parang Perkuat Toleransi di Yogya