1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pemuda Migran Sebagai Tenaga Medis Interkultural

Bianca Schröder7 Mei 2013

Banyak pengungsi dan imigran tidak punya ijazah pendidikan yang diakui. Tapi mereka amat diperlukan di perawatan medis, terutama karena makin banyak lansia berlatar belakang migran.

https://p.dw.com/p/18UAY
Foto: picture-alliance/dpa

Apa tikus dalam bahasa Turki? Najib Jakobi berdiri di depan papan dan memandang ke ruangan. Bagi lansia Turki di rumah jompo di Berlin Moabit ini, "latihan ingatan" sedang menjadi program. Karena demensia atau penyakit lainnya, kebanyakan pria lansia yang datang beberapa dekade lalu sebagai buruh migran dari Turki itu kini menjadi pasien panti jompo Deta-Med.

Seorang perawat muda asal Afghanistan, Najib Jakobi berbicara dengan mereka dalam Bahasa Turki. Baginya mudah, karena bahasa itu mirip dengan bahasa ibunya Usbekistan. Pria berusia 25 tahun itu mengenyam pendidikan kelanjutan di sekolah kejuruan. Jurusan yang dipilihnya adalah perawatan. Di Deta Med, ia sedang melakukan magang selama beberapa bulan.

Prespektif kerja

Jakobi menyukai bekerja dengan kaum lansia. "Saya tumbuh bersama nenek. Ia mengurus saya dan cinta itu tetap ada. Selain itu saya ingin bekerja dengan manusia dan bukan di dalam ruangan di depan komputer," katanya.

Pemuda Afghanistan itu datang ke Jerman bersama keluarga saat berusia 14 tahun. Selama bertahun-tahun ia hidup dengan izin tinggal sementara, tanpa kepastian soal izin tinggal tetap. Kini ia bisa tinggal di Jerman dan memiliki prespektif karir yang menjanjikan.

Saat ini sekitar 45 murid dengan usia antara 17 sampai 40 tahun mengenyam pendidikan di sekolah kejuruan yang dibentuk oleh sejumlah organisasi bantuan itu. Tidak lama lagi kapasitas sekolah akan bertambah sehingga bisa menampung 100 murid. Sebagian besar murid memiliki latar belakang migran, seperti Turki, Kurdi atau Arab. Sebagian lain berasal dari Kenya, Kamerun atau Brazil.

Konsultasi Individual

Mereka tidak cuma belajar bagaimana merawat pasien atau lansia, melainkan juga ilmu-ilmu umum seperti bahasa atau bahkan musik.

Karena sebagian besar murid kerap menghadapi beban sosial yang tinggi, pihak sekolah juga menawarkan konsultasi individual, seperti misalnya layanan hukum seputar perpanjangan izin tinggal.

Najib Jakobi memuji konsultasi individual yang ditawarkan sekolah. Sementara teman sekelasnya, Hamsey Bayram mengatakan, kalau sekolah kejuruan Paulo Freire ini sudah ada ketika ia menamatkan sekolah menengah atas dua tahun lalu, ia tidak harus bersusah payah melamar pekerjaan sebagai asisten medis. "Nilai saya bukan yang terbaik. Sebab itu saya tidak dapat mengikuti pendidikan lanjutan selama tiga tahun," kata murid perempuan berusia 18 tahun itu.