1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pengalaman Ditipu Apartment dan Masa Lockdown di Jerman

Fajrie Samahita
14 Agustus 2020

Mencari apartment di Bonn sangat menantang, saya sudah melakukan upaya pencarian sebelum saya sampai di Jerman. Oleh: Fajrie Samahita.

https://p.dw.com/p/3gbmz
Indonesier in Deutschland
Saya bersama teman-teman saya saat "farewell dinner" karena harus berpisah ke kota tujuan masing-masing.Foto: Privat

Pengalaman Ditipu Apartment dan Masa Magang saat Lockdown di Jerman

Keinginan saya untuk melanjutkan kuliah di luar negeri sudah ada sejak saya duduk di bangku kelas 2 SMP. Namun, memiliki orang tua yang protective akhirnya membuat saya memilih untuk tetap kuliah di salah satu universitas di Tangerang yang memiliki program dual degree dan magang di Jerman. Dengan gigih, saya merayu orang tua saya dan menjelaskan keinginan untuk menimba ilmu ke Jerman walaupun hanya satu semester saja. Saya memang ingin sekali merasakan pengalaman mencari ilmu dan tinggal sendiri di negeri orang, serta memahami budaya dan pola pikir orang-orang yang kulturnya sangat berbeda dengan Indonesia.

Indonesier in Deutschland
Fajrie Samahita (kanan atas) bersama teman Rifka yang selalu menemani video call.Foto: Privat

Singkat cerita, memasuki perkuliahan semester enam, saya berangket ke Jerman untuk melanjutkan program dual degree dan magang. Awal Februari lalu, saya sampai di kota kecil Soest bersama teman-teman saya, besoknya kami langsung memulai perkuliahan di Fachhochschule Südwestfalen. Semester sebelumnya, kami sudah mengikuti beberapa kelas online dari kampus tersebut sehingga saat kami datang ke Jerman kami hanya belajar satu bulan di kampus karena pada bulan Maret hingga Agustus, kami yang mengikuti program dual degree harus pergi ke kota tujuan masing-masing untuk magang.

Ketika perkuliahan selesai, saya pun harus berpisah dengan teman-teman saya, tiga teman saya magang di Berlin dan saya tinggal sendiri di Bonn untuk melanjutkan magang di Deutsche Welle. Mencari apartment di Bonn sangat menantang, saya sudah melakukan upaya pencarian sebelum saya sampai di Jerman. Hingga akhirnya saya melihat apartment di salah satu situs online dengan fasilitas memadai yang berlokasi di Köln, saya pikir "Ah tidak apa, jarak antara Bonn dan Köln tidak terlalu jauh." Lalu, saya langsung menghubungi landlord dan besoknya ia langsung mengirim saya email mengenai harga sewa, uang deposit, kontrak bersama notaris, dan sistem transfer. Ia menjelaskan bahwa ia pernah ditipu orang yang ingin sewa jika ternyata mereka tidak bisa membayar uang sewa, jadi sebagai bukti bahwa saya sanggup membayar sewa, ayah saya harus mengirim uang lewat western union dan mengambil uangnya bersama-sama setelah kami tandatangan kontrak di notaris.

Indonesier in Deutschland
Saya (paling kiri) bersama teman-teman saya saat mununggu kelas dimulai.Foto: Privat

Kami pun setuju bertemu untuk melihat kondisi apartment dan tandatangan kontrak. Namun, tiba-tiba landlord tidak bisa dihubungi ketika saya sampai di stasiun Köln. Menunggu beberapa jam di Köln, akhirnya ia menghubungi saya bahwa ia mendadak harus kerja overtime dan menyarankan untuk bertemu tanggal 4 Maret. Saya setuju dan bilang bahwa saya akan langsung move in dengan koper-koper saya. Akhirnya, pada 4 Maret saya datang langsung ke alamat yang dikirimkan dan saya kabari dia bahwa saya sudah berada di depan apartment. Untuk kesekian kalinya, ia tidak membalas email saya.

Kecurigaan saya muncul ketika saya lihat di alamat tidak ada nama orang tersebut. Saya tetap berusaha positive thinking dan menunggu 15 menit dengan koper-koper saya di depan gedung apartment sambil berusaha menghubungi landlord dengan harapan hal-hal buruk yang ada di pikiran saya tidak terjadi. Saya menunggu dengan sabar dan penuh harapan, namun ia tidak muncul-muncul. Akhirnya, saya memberanikan diri untuk memencet bel dan orang di dalam apartment tersebut keluar, kemudian saya langsung menanyakan apakah ada nama orang tersebut yang tinggal di apartment ini. Ia bilang, "Tidak ada orang ini di apartment saya. Yang tinggal di sini hanya saya dan keluarga. Kami tidak menyewakan apapun. Mungkin orang yang Anda tuju ada di beberapa blok lainnya." Saya sangat lemas ketika mendengar jawaban tersebut. Bagaimana tidak, saya baru menyadari jika saya telah ditipu, saya sangat ketakutan karena sendirian di kota ini dengan koper-koper saya. Saya pun tidak mengenal siapa pun di sini. Semua teman-teman saya sudah pergi ke kota lain yang jauh. Ditambah lagi, saya sudah harus mulai magang dalam 4 hari dan saya tidak mempunyai tempat tinggal.

Saya mengalami panic attack hingga sulit bernapas. Semua hal buruk ada di pikiran saya. Saya berusaha menenangkan diri saya dan lanjut berjalan kaki ke stasiun tram untuk kembali ke Köln Hauptbahnhof (stasiun kereta utama di Köln). Setibanya di Köln Hbf, saya langsung pergi ke western union terdekat untuk mengambil uang yang ayah saya kirim, lagi-lagi saya mengalami panic attack, karena petugas western union bilang kodenya tidak bisa diakses dan uang untuk membayar sewa bersama uang deposit yang sangat besar jumlahnya tidak bisa diambil. Pikiran saya, "Apa mungkin kode bukti western union yang saya kirimkan ke penipu ini dihack atau memang uang saya sudah diambil sama dia." Saya berusaha untuk tetap tenang dan mencari western union yang lain, dengan alasan yang sama, uangnya tetap tidak bisa diambil. Tak pantang menyerah, saya mencari western union ketiga, setelah lumayan menunggu lama, akhirnya uang saya dapat diambil. Saya merasa bersyukur dan beruntung sekali uang saya dapat diambil, saya banyak baca cerita pengalaman ditipu hingga uangnya benar-benar diambil oleh penipu. Saya berpikir, Allah masih sangat baik pada saya.

Indonesier in Deutschland
Gelas coklat panas yang bertuliskan "apa kabar" dalam bahasa Prancis dan Jerman.Foto: Privat

Lalu, saya pergi ke cafe membeli coklat panas dan duduk. Saya melihat tulisan yang ada di gelas coklat panas yang bertuliskan, "ça va", yang bisa berarti apa kabar atau baik-baik saja. Hal ini mengingatkan saya untuk tetap tenang dan di setiap kondisi buruk pasti ada solusinya. Saya duduk tiga jam sambil mencari-cari apartment atau airbnb yang bisa saya tinggali sementara. Awalnya, saya tidak ingin memberitahu ayah saya kalau saya ditipu dengan alasan saya tidak ingin membuat ayah saya khawatir dan kepikiran dengan kondisi saya. Tetapi saya tetap harus bilang, akhirnya saya memberanikan diri untuk menelpon ayah saya dan menceritakan semuanya. Ayah saya menyarankan untuk menginap di hotel sambil mencari-cari apartment.

Ketika di hotel, saya mencari apartment di situs online manapun dan di grup-grup Facebook. Saya mengirim pesan ke lebih dari 20 orang mengenai apartment listing yang mereka unggah. Tetapi jawabannya nihil. Keesokan paginya, saya melihat unggahan dari salah satu grup PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) di Facebook bahwa ada kamar tersedia untuk dua bulan. Tanpa berpikir panjang, saya langsung menghubungi dan menceritakan kondisi yang saya alami. Nachmieterin saya di Bonn sangat pengertian dengan kondisi saya dan mengizinkan saya untuk langsung pindah keesokan harinya. Saya sangat lega dan lagi-lagi bersyukur karena sudah mendapatkan tempat tinggal dan bisa melanjutkan magang dengan aman.

Indonesier in Deutschland
Saya bersama dua kolega saya pada hari pertama saya magang.Foto: DW/A. Setiawan

Pada 9 Maret, saya memulai hari pertama saya magang dengan semangat. Saya diperkenalkan dengan semua kolega-kolega saya dalam tim Indonesia. Lalu, saya mulai mengerjakan job desc yang diberikan dan mengikuti pelatihan selama dua minggu. Namun, pada minggu ketiga saya magang, saya diharuskan untuk bekerja dari rumah sampai waktu yang belum ditentukan akibat lockdown yang diberlakukan di negara bagian Nordrhein-Westfalen. Ini adalah pengalaman magang pertama saya di rumah, saya mengerjakan job desc saya dari rumah dengan baik. Komunikasi antar tim juga sangat lancar. Saya sangat menikmati bekerja dari rumah selama dua bulan, tetapi ketika lockdown diperpanjang hingga akhir Mei, saya sudah mulai 'mati gaya' di apartment sendirian dan sama sekali tidak berkontak fisik dengan orang lain, saya juga belum banyak mengenal siapa pun kecuali kolega-kolega saya, kami pun tidak pernah bertemu selama lockdown diberlakukan. Saya beruntung karena saya masih memiliki kesibukan dan diberikan kemudahan akses untuk membeli kebutuhan saya. Saya ingin berterima kasih pada keluarga, teman-teman, serta kolega-kolega saya yang menjadi mental support saya selama lockdown, terutama teman saya Rifka, yang sudah menemani saya video call setiap hari dari pagi hingga sore tanpa bosan. Kalau tidak, sepertinya saya sudah stres berat karena tidak berkontak langsung dengan siapa pun dan keluar apartment hanya seperlunya saja.

Lanjut lagi, karena menyewa apartment hanya dua bulan. Saya harus mencari apartment baru lagi dan saya merasa sangat dimudahkan. Tak lama mencari, ada yang membalas pesan saya dan akhirnya kami melakukan apartment tour melalui skype karena kondisi lockdown yang masih diberlakukan. Sebulan kemudian, kami setuju untuk bertemu dan tandatangan kontrak. Kali ini, saya datang dengan penuh harapan. Akhirnya, saya pindah ke apartment baru dan mendapatkan dua roommates orang Jerman. Setelah pelonggaran lockdown, saya dan kolega-kolega saya mulai menghabiskan waktu piknik di Hofgarten, Bonn. Saya senang sekali bisa bertemu dan berkumpul kembali dengan kolega-kolega saya. Saya juga memperkenalkan boba tea kepada roommate saya, dan dia sangat menyukai itu. Membeli boba tea dan memakan pizza kini menjadi rutinitas kami sebulan sekali.

Indonesier in Deutschland
Saya dan kolega-kolega DW menghabiskan waktu piknik di Hofgarten, Bonn.Foto: Privat

Walaupun saya tinggal selama tujuh bulan di Jerman, saya merasakan perjalanan dan pengalaman hidup yang benar-benar tidak akan saya lupakan seumur hidup. Ketika saya ditipu, saya belajar untuk tidak terlalu mudah percaya dengan orang lain, tapi tetap harus positive thinking pada orang lain. Pengalaman ini membuat saya lebih tenang dan dewasa menghadapi perjalanan-perjalanan hidup saya selanjutnya. Selama lockdown, saya menghabiskan waktu dengan hal-hal yang positif seperti memasak, berolahraga, mencari hobby baru serta belajar bahasa asing lainnya. Tak hanya itu, saya juga lebih mengenal dan memahami diri saya sendiri. Yang lebih penting, saya belajar untuk tetap dan lebih bersyukur terhadap apa yag saya miliki di hidup saya dan menghargai orang-orang di sekitar saya yang peduli dan menemani saya ketika saya benar-benar membutuhkan mereka.

Salam hangat dari Bonn. Kamis, 06 Agustus 2020.

*Fajrie Samahita adalah mahasiswi dual degree di Fachhochschule Südwestfalen. Ia juga mengikuti program magang di Deutsche Welle selama enam bulan.

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri.