1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pengalaman Bekerja Sebagai Psikolog di Jerman

Fransisca Sax
22 Mei 2020

Langkah pertama bekerja di Jerman adalah mendapatkan pengakuan ijazah. Federalisme di Jerman luput dari pertimbangan saya. Apa yang berlaku di Berlin, belum tentu berlaku di negara bagian lain. Oleh Fransiska Sax.

https://p.dw.com/p/3cZza
München |  Fransisca Sax Psychologin aus Indonesien
Foto: Privat

Dunia anak dan remaja adalah dunia yang menyenangkan bagi saya, termasuk anak dan remaja yang "bermasalah". Ada kebahagiaan tersendiri saat mendampingi klien anak serta orangtuanya dalam mengenali, menerima, mengembangkan diri, dan kemudian menyelesaikan masalahnya sendiri. Walaupun kerapkali perkembangan ini butuh ketekunan dan tidak bisa diprediksi kapan hasilnya terlihat. Ditambah lagi setiap klien memiliki kondisi berbeda yang membuatnya membutuhkan pendekatan khusus, misalnya keterlambatan perkembangan, masalah emosional, atau kesulitan adaptasi dengan lingkungan sosial. Rasa bahagia dan tantangan inilah yang memotivasi saya bekerja sebagai psikolog, baik di Indonesia maupun di Jerman, keduanya dengan berbekal ijazah studi psikologi dari Indonesia.

München |  Fransisca Sax Psychologin aus Indonesien
Fransisca Sax (kiri) bersama suami di MünchenFoto: Privat

Sebelum berangkat untuk menetap dengan suami di München, sebenarnya saya dan suami sudah mencari informasi tentang peluang bekerja di bidang psikologi di Jerman dengan latar belakang pendidikan dan pengalaman yang saya miliki. Saya juga berusaha mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan menganggur dalam jangka waktu yang tidak bisa diprediksi.

Namun seperti biasa kenyataan tidak selalu berjalan seiring dengan teori. Di samping itu ada faktor-faktor yang luput dari pertimbangan atau sama sekali tidak kami ketahui, dan ketidaktahuan itulah yang membawa kami pada petualangan dengan sistem di Jerman.

Prosedur panjang pengakuan ijazah

Langkah pertama untuk bekerja di Jerman dengan ijazah Indonesia adalah mendapatkan pengakuan ijazah (Anerkennung). Beberapa bulan setelah tinggal di Jerman, saya bergabung dengan sebuah organisasi profesi psikolog di Berlin yang menyediakan layanan pengakuan ijazah. Dengan bangga saya menyerahkan ijazah serta transkrip nilai sarjana dan magister yang telah dengan mudah membuka jalan bagi saya bekerja sebagai dosen dan psikolog klinis di beberapa lembaga di Jakarta.

Setelah penantian beberapa bulan, saya mendapat kabar bahwa gelar master saya hanya setara Diplompsychologe (seperti gelar doktorandus/doktoranda di Indonesia, yang diperoleh melalui studi selama 4-5 tahun) bila dibandingkan dengan standar pendidikan di Jerman. Walaupun merasa kecewa dengan hasil Anerkennung, saya tetap mencoba melamar sebagai psikolog klinis. Setelah ditolak beberapa kali, saya mendapat informasi bahwa untuk bekerja sebagai psikolog klinis di Jerman, psikolog harus mengikuti pendidikan lanjutan psikoterapi dan praktek selama 3 hingga 5 tahun. Psikolog yang menuntaskan pendidikan ini dapat memberikan layanan yang biayanya ditanggung oleh asuransi kesehatan pemerintah, sehingga klien tidak perlu enggan mencari pelayanan bagi kesehatan hanya karena masalah pembiayaan. Peraturan semacam ini tidak ada di Indonesia. Lulusan program S2 profesi psikologi klinis di Indonesia boleh memberikan terapi psikologi yang bisa ditanggung oleh asuransi kesehatan pemerintah tanpa diwajibkan mengikuti pendidikan ataupun pelatihan tambahan.

Saya pun mencari informasi pendaftaran di beberapa institut psikoterapi di München berbekal Anerkennung dari Berlin. Sayangnya Anerkennung dari Berlin tidak diterima di institut psikoterapi di München, karena mereka hanya menerima pendaftar yang kesetaraan ijazahnya diakui pemerintah negara bagian Bayern (München adalah ibukota negara bagian Bayern). Sayapun kembali mengajukan proses Anerkennung di Bayern, namun hasilnya bahkan lebih mengecewakan: ijazah saya hanya dinilai setara dengan sarjana di Jerman (Bachelor, diperoleh seusai studi S1 selama 3 tahun). Hasil Anerkennung ini menutup pintu bagi saya untuk melanjutkan studi psikoterapi ataupun bekerja sebagai psikolog klinis. Federalisme di pemerintahan Jerman luput dari pertimbangan saya saat mencari informasi. Apa yang berlaku di Berlin belum tentu berlaku di negara bagian lain di Jerman, walaupun Berlin adalah ibukota negara.

München |  Fransisca Sax Psychologin aus Indonesien
Bersama beberapa peserta program orientasi bagi akedemisi psikologi di Berlin, Juni 2017Foto: Privat

Selanjutnya saya berusaha mencari dan mengetuk pintu lain untuk bekerja di bidang psikologi anak dan remaja. Suami saya menemukan informasi tentang program orientasi bagi akademisi psikologi yang memiliki ijazah dari negara di luar Jerman. Program ini diselenggarakan oleh sebuah lembaga pendidikan dan turut didanai oleh Kementerian Ketenagakerjaan Jerman.

Selama 8 bulan sesi seminar jarak jauh gratis melalui internet dan beberapa sesi seminar di Berlin, saya mempelajari sistem pendidikan dan layanan sosial bagi anak dan remaja sekaligus menyegarkan pengetahuan dasar psikologi seperti psikologi perkembangan dan psikodiagnostik. Bersama dengan peserta dari berbagai negara, saya juga belajar bahasa Jerman dengan penggunaan yang lebih spesifik untuk konteks bekerja di bidang psikologi. Program ini memang tidak memberikan efek pada kesetaraan ijazah, namun saya memperoleh banyak pengetahuan tentang sistem pendidikan bagi anak di Jerman, dan pastinya relasi baru.

Puluhan lamaran, puluhan penolakan

Setelah mengirim puluhan lamaran kerja dan menerima puluhan penolakan, akhirnya saya mendapat kesempatan untuk bergabung sebagai pekerja sosial (Sozialpädagogin) di sebuah lembaga pendidikan dan ditempatkan di program integrasi vokasi (Berufsintegration) di sebuah sekolah. Demi pengalaman, saya tetap menerima pekerjaan ini walaupun berbeda dengan latar belakang studi saya.

Peserta didik di sekolah tempat saya bekerja adalah remaja atau individu dewasa muda pencari atau penerima suaka yang belum atau tidak memiliki ijazah pendidikan dasar dari negara asalnya. Sebagian besar dari mereka tinggal sendiri di Jerman tanpa keluarga inti. Tugas saya adalah mendukung peserta didik untuk mengenali dan beradaptasi dengan sistem sosial: dari mengisi formulir transfer uang di bank, membuat dan mengirim lamaran pekerjaan sampingan, hingga mencari bantuan hukum untuk mengajukan keberatan atas penolakan status suaka.

Kinerja saya saat itu memang tidak setangkas kolega yang berasal dari Jerman, tetapi kami saling mendukung dan bertukar informasi. Pengalaman saya sebagai psikolog turut mendukung saat mendampingi peserta didik yang mengalami stres beradaptasi di lingkungan baru atau merasa cemas akan status suaka mereka.

Berbekal pengalaman ini, saya melamar menjadi psikolog di program inklusi di sebuah sekolah dasar (Grundschule) dan lamaran saya diterima. Tetapi sebelum diterima bekerja, atasan saya harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Jugendamt, yaitu lembaga pemerintah lokal yang mengurusi program kesejahteraan anak dan remaja, bahwa ijazah saya dapat diterima untuk bekerja di program sekolah tersebut.

Tugas saya adalah merancang dan menjalankan kegiatan bagi peserta didik yang memiliki gangguan perkembangan, seperti gangguan atensi, konsentrasi, dan hiperaktivitas, ataupun kesulitan regulasi emosi. Ada kegiatan yang dilakukan selama jam sekolah dan turut melibatkan murid-murid lainnya yang tidak bermasalah, ada pula kegiatan yang dilakukan sepulang sekolah.

München |  Fransisca Sax Psychologin aus Indonesien
Permainan team-building bersama beberapa peserta didik program integrasi vokasi di München, Juli 2018Foto: Privat

Pengalaman berharga

Melalui pekerjaan ini saya belajar banyak tentang layanan sosial di München yang begitu sistematis. Peserta didik yang memiliki masalah belajar atau emosional akan dirujuk oleh guru kelas ke pekerja sosial dan psikolog sekolah. Atas rekomendasi mereka, murid tersebut selanjutnya akan dirujuk untuk pemeriksaan oleh psikolog. Orangtua murid dapat dibebaskan dari biaya pemeriksaan psikolog bila mereka mengajukan permohonan bantuan ke Sozialbürgerhaus, yaitu semacam dinas layanan sosial yang terdapat di setiap distrik di kota. Dari hasil pemeriksaan, peserta didik diarahkan untuk mencari terapi atau program yang sesuai dengan rekomendasi psikolog.

Terdapat berbagai lembaga yang memberikan bantuan bagi anak dan remaja dan didanai oleh pemerintah kota. Bantuan dari lembaga semacam ini gratis bagi peserta didik. Walaupun begitu orangtua dan guru tidak bisa berharap bahwa proses ini akan berlangsung dengan cepat oleh karena lamanya proses dokumen di Sozialbürgerhaus, waktu tunggu di psikolog, dan terbatasnya lembaga yang memberi bantuan.

Di samping itu saya harus menerapkan berbagai peraturan yang ketat terkait kerahasiaan data saat bekerja dengan anak di Jerman. Salah satu contohnya, secara umum saya hanya boleh membagikan isi percakapan saya dengan klien anak kepada orangtua atau gurunya hanya dengan persetujuan anak tersebut. Tentu saja bisa jadi terdapat urgensi khusus yang tidak membutuhkan persetujuan anak, namun setiap data harus ditangani dengan hati-hati. Selain itu kami tidak diperbolehkan mengambil foto anak tanpa persetujuan orangtuanya dan foto anak hanya digunakan untuk dokumentasi internal lembaga. Dokumentasi tentang anak hanya boleh disimpan di komputer kantor dan nama anak hanya boleh ditulis dengan inisial bila saya dan kolega berkirim pesan lewat ponsel, baik ponsel pribadi maupun ponsel dinas dari kantor.

Berkaca dari pengalaman sejauh ini, saya mengambil kesimpulan bahwa bekerja di negara baru memiliki tantangannya sendiri. Prestasi yang diperoleh saat kuliah dan bekerja di Indonesia mungkin tidak memperoleh pengakuan yang sama di Jerman, namun kebiasaan untuk tekun, bekerja keras serta kemauan untuk terus belajar yang dibawa dari kampung halaman bisa jadi berbuah manis. Saya pun terus mengingatkan diri sendiri untuk terus belajar.

Selain itu, persiapan sebelum berangkat ke Jerman memang perlu, namun patut diingat bahwa pasti ada hal-hal baru atau bahkan informasi berbeda yang tidak bisa diprediksi. Masyarakat di Jerman juga boleh jadi memiliki sistem sosial yang lebih maju dan terkoordinasi, meskipun begitu tetap saja sistem tersebut tidak sempurna, dan di Jerman juga terdapat masalah-masalah sosial yang terjadi di negara lain. Inilah yang menjadi tanggung jawab setiap individu untuk berkontribusi di masyarakat dengan kemampuan yang ia miliki, baik itu di kampung halaman maupun saat berada di rantau.

*Fransisca Sax, sebelumnya juga dikenal sebagai Fransisca Sidabutar, adalah alumni program pendidikan psikolog klinis anak di Depok dan Jakarta. Di samping bekerja dan berkontribusi di organisasi pendampingan pasien dengan gangguan emosi, ia senang mengeksplorasi kue-kue klasik Jerman dan berkutat dengan tulisan Carl Gustav Jung dan Viktor Frankl.

** DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)