1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pengamat HAM Tolak Pembentukan Tim Asistensi Wiranto

18 Mei 2019

Pembentukan tim asistensi hukum oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto dinilai pengamat HAM mengekang kebebasan.

https://p.dw.com/p/3Ieax
Indonesien General Wiranto in Jakarta
Foto: picture alliance/ZUMA Press/A. Hikmal

Tim asistensi hukum awalnya dibentuk karena banyaknya tokoh yang menyampaikan tulisan lewat media sosial dan mengajak masyarakat untuk turun ke jalan saat pengumuman rekapitulasi nasional KPU pada 22 Mei mendatang.

Namun gagasan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto untuk mengawasi ucapan para tokoh nasional tersebut mendapat penolakan dari kalangan pengamat hak asasi manusia. Sejumlah aktivis dan pengamat hukum mengkritik tim bentukan Wiranto itu mengekang kebebasan berbicara.

Wiranto sendiri kepada media menyatakan pembentukan Tim Asistensi Hukum Kemenkopolhukam merupakan langkah pemerintah agar langkah hukum yang diambil jelas dan terukur.

Namun menurut pengamat hak asasi manusia, Usman Hamid tidak perlu Menkopolhukam untuk membentuk tim asistensi apalagi ditujukan untuk mengawasi pernyataan-pernyataan tokoh: "Itu sesuatu yang sebenarnya tidak lagi diperlukan di dalam era keterbukaan saat ini. Kalaupun ada orang yang katakanlah mengujarkan atau menyampaikan ujaran kebencian atas dasar agama, suku, ras dan asal usul  kebangsaan. Itu proses hukumnya sudah ada di kepolisian, jadi sebagai menkopolhukam, cukup mengkoordinasikan sesuai dengan portfolio tugasnya, peranan Kapolri untuk mendorong proses hukum itu."

Tim Asistensi Hukum, Perlukah?

Ditambahkan Usman, kepolisian  sudah punya cyber crime unit untuk menangani kejahatan di dunia siber. Kepolisian pun  memiliki aturan soal penanganan kasus ujaran kebencian: "Itu semua prosedur-prosedurnya sudah sangat detail dan menkopolhukam itu mestinya fokus pada kebijakan-kebijakan strategis yang besar. Bukan hal-hal yang remeh temeh semacam itu."

Usman sekali lagi menegaskan keberatannya apabila pemerintah bahkan di dalam masa-masa yang sangat penting menunggu hasil pemilu dihitung secara resmi, dan juga menunggu proses pembentukan atau pengesahan pemerintahan yang baru, dibentuk tim yang secara sengaja dimaksudkan untuk mengawasi ucapan-ucapan para tokoh dan bahkan merekomendasikan proses hukum terhadap ucapan para tokoh itu.

"Kalaupun ada ucapan para tokoh, misalnya yang berbau kebencian, itu harus dibuktikan betul apakah kebencian itu juga dimaksudkan untuk menghasut kekerasan, menghasut diskriminasi atau mengadvokasikan kekerasan dan memang ada ancaman yang nyata kepada orang yang diancamnya itu. Tapi kalau kepada pemerintah tak perlu, pemerintah itu entitas yang abstrak, yang sebenarnya menurut hukum internasional itu, tidak perlu, dalam pengertian dilindungi sebagai nama baik manusia, nama baik seseorang, itu boleh dan harus diingat bahwa tidak perlu khawatir bahwa ekspresi-ekspresi semacam itu yang disampaikan oleh para tokoh akan, katakanlah, merugikan pemerintah," pungkasnya. ap/yp