1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Rencana Pembunuhan Untuk Mengancam Keamanan Nasional

Rizki Akbar Putra
29 Mei 2019

Empat pejabat tinggi negara dijadikan sasaran pembunuhan. Apa motif dibalik rencana pembunuhan ini? Dalam wawancara dengan DW Indonesia, peneliti pertahanan LIPI, Muhamad Haripin, meyakini rencana itu bermuatan politik

https://p.dw.com/p/3JNtM
Indonesien - Joko Widodo bei Pressekonferent zur Bekanntgebung des Wahlergebnis in Jakarta
Foto: Biro Pers Sekretariat Presiden/Kris

Rencana pembunuhan empat tokoh nasional dan seorang pemimpin lembaga survei menjadi teka-teki terakhir usai kerusuhan 21-22 Mei silam. Kepolisian sejauh ini sudah mengamankan enam tersangka, yang masing-masing memiliki peran berbeda.

Target serangan adalah empat pembantu utama Presiden Joko Widodo yang mengurusi masalah keamanan, yakni Menko Polhukam Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan, dan dan Staf Khusus Presiden Bidang Intelijen dan Keamanan Gories Mere.

Kepada DW peneliti pertahanan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhamad Haripin meyakini rencana tersebut merupakan bagian dari upaya menjatuhkan pemerintah yang sah alias makar. Menurutnya rencana semacam ini bukan upaya percobaan pembunuhan pertama terhadap pejabat tinggi di Indonesia.

Simak kutipannya berikut ini:

Deutsche Welle: Menanggapi adanya rencana pembunuhan empat pejabat dan satu pimpinan lembaga survei, menurut Anda apa motif si Pelaku hingga muncul adanya rencana aksi tersebut?

Muhamad Haripin: Kalau kita baca dari pernyataan-pernyatan Humas Polri ya, saya melihat dugaan Polri bahwa orang-orang itu, para tersangka itu atau para terperiksa itu, ya mungkin kelihatannya punya niat untuk makar ya. Dalam arti suksesi atau dalam arti pergantian kekuasaan secara tidak sah atau perubahan kekuasaan melalui cara-cara kekerasan bukan yang dari sisi yang katakanlah umumnya, secara akademis.

Menurut Anda mengapa Wiranto, Luhut, Budi Gunawan, dan Gories Mere dijadikan sasaran oleh para pelaku?

Peneliti keamanan LIPI, Muhamad Haripin
Peneliti keamanan LIPI, Muhamad Haripin Foto: privat

Kenapa bukan presiden atau kapolri? Kita juga punya sejarah percobaan pembunuhan terhadap presiden misalnya pada tahun 1962 dulu ada peristiwa Cikini, ada bom dilempar ke Presiden Soekarno, juga Pak Susilo Bambang Yudhoyono pernah menyatakan tahun 2013 ada jaringan terorisme yang merencanakan untuk mledakkan rumah dia yang di Cikeas, daerah Gunung Putri. Berarti ini kan ada sebuah keberlanjutan dalam empat orang itu. Tapi kalau dilihat empat orang itu memang memegang posisi yang sangat strategis, pertama yang menjadi perhatian saya sih target Pak Budi Gunawan sebagai Kepala BIN dan juga ada Pak Gories Mere sebagai Staf Ahli Kepresidenan Bidang Intelijen dan Keamanan, dia sebelumnya di Polri dan juga Densus kan. Ada Pak Luhut, Menko Maritim tapi juga mantan komandan satu Gultor, keempat Pak Wiranto dulu jadi Panglima ABRI dan Menhankam waktu periode 97-99. Ini posisi-posisi yang sangat penting buat keamanan negara nasional.

Apakah ini merupakan bagian dari kerusuhan minggu  lalu? Atau mereka berdiri sendiri? Sebatas barisan kelompok sakit hati terhadap pemerintahan Jokowi.

Baca juga: Siapa Sel Teror Baru yang Rencanakan Pembunuhan Empat Tokoh Nasional?

Karena susah untuk melepaskan konteks politik elektoralnya. Jadi yang saya baca ada juga beberapa orang menyatakan opini barisan sakit hati terhadap Jokowi. Mereka melihatnya bahwa itu mereka adalah orang-orang Jokowi, pedukung Jokowi, para menteri Jokowi, makanya disikapi seperti tiu. Dalam konteks sejarah purnawirawan itu pernah memegang posisi yang stategis, pernah dan sekarang masih dan lawan mereka pun pernah memegang posisi yang amat penting dalam konteks politik elektoral 01 02, dan juga bagaimana kekisruhan politik selama 17 April sampai sekarang. Saya skeptis kalau ini hanya masalah sakit hati terhadap Jokowi. Saya melihat tentu adanya hubungannya dengan posisi-posisi mereka yang dulu sebagai purnawiranan dan juga pengaruh yang mereka berikan kepada poltik Indonesia.

Atau bisa dibilang keempat orang tersebut memilki pengaruh besar dalam pengambilan kebijakan negara?

Ya betul.

Banyaknya purnawirawan TNI yang terserat dalam peristiwa ini, seakan mengingatkan kita akan ‘romansa’ pada jaman Orde Baru?

Bisa juga disebut romansa dalam arti mereka para purnawirawan yang sekarang ini mengisi posisi penting Negara. Ini adalah orang-orang yang dididik dan dilatih memang doktrin dwifungsi ABRI betul-betul utama, betul-betul menjadi pegangan semua pihak. Pak Luhut angkatan 70-an, Pak Wiranto juga angkatan 70-an, Pak SBY, Pak Prabowo orang-orang yang besar, tumbuh, dan mencapai  prime time-nya pada jaman Orde Baru. Pada jaman Orde Baru itu memang kan dwifungsi bilang si Tentara bukan sebagai agen pertahanan tetapi sebagai agen sosial, politik, dan pebangunan. Ya saya pikir romansanya dalam arti bahwa mereka ketika pemerintah sudah pensiun tapi mereka masih melihat ‘Saya masih bisa kok berkontribusi terhadap negara ini seperti jaman dulu’.

Baca juga:Kapolri Ungkap 4 Pejabat yang Jadi Incaran Pembunuhan 

Baik di kubu Jokowi maupun Prabowo sama-sama didukung para purnawirawan. Mungkinkah adanya friksi di antara mereka mejadi salah satu faktor munculnya rencana ini?

Jadi tentara kita di Indonesia juga kalau saya lihat, pendapat saya mungkin berbeda dengan pernyataan resmi dari TNI dan sejumlah pengamat lain, tapi kalu kita lihat dari sejarahnya Tentara Indonesia, TNI atau ABRI bukan sebuah institusi yang betul-betul solid atau bebas dari sebuah friksi. Kalau kita lihat sejarahnya, tahun 55-an, atau tahun 60-an, dari jaman pemeberontakan Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar, sebetulnya orang-orang TKR, TNI juga, yang akhirnya keluar dan memberontak ada friksi gitu. Pada jaman Orde Baru juga kita tahu ada peristiwa Malari, ada persaingan antara Ali Moertopo dan Soemitro saat itu sebagai Pangkopkamtib. Tahun 80-an Benny Moerdani dengan golongan ABRI hijau. Tahun 98 persaingan antara Pak Prabowo sama Pak Wiranto. Memang tentara kita tidak dalam keadaan yang kompak atau solid, yang menjadi masalah biasanya peristiwa kekerasan , politik jalanan, poltik kekerasan tapi jarang gitu. Ini juga yang membuat kita berpikir tentara itu ada friksi, perbedaan pendapat. Konflik-konflik itu diselesaikan secara internal dan selesai. Tapi memang tidak menutup kemungkinan itu akan meluber atau akan terekspresikan kedalam politik massa. Saya pikir sekarang ini purnawawirawan bermain dalam peristiwa 22 Mei pekan lalu.

Apa yang harus pemerintah lakukan saat ini?

Kalau menurut saya yang harus dilakukan pemerintah karena mereka yang punya power, mereka punya kemampuan, mereka punya organisasi, mereka punya anggaran untuk menjalankan roda pemerintahan, yang sekarang menurut saya penting itu adalah memberikan jaminan kemanan kepada masyarakat. Jadi karena analoginya begini, jika memang ada orang-orang yang ingin membunuh atau ada rencana pembunuhan terhadap pejabat negara itu kan berarti menunjukkan bahwa situasi negara kita ini sedang kacau, sedang di ujung tanduk lah kasarnya gitu, orang-orang yang VVIP ketika mereka undang bicara di sebuah seminar yang non hostile pun ada protokolernya, ada asprinya, orang seperti itu bisa dicelakain kan beraarti negara ini sedang menghadapai suatu krisis. Jadi menurut saya penting buat presiden kemudian polisi terutama ini kan menyangkut kemanan domestik, menunjukkan kepada masyarakat negara ini bisa mengendalikan situasi. Memang terjadi ekskalasi kekerasan pekan lalu tapi sekarang  pemerintah terus berupaya menjaga kemananan. Elitnya, apakah presiden harus bertemu Prabowo atau sebaliknya, itu penting juga. Tapi saya lebih kawatir ke masyarakat karena polarisasinya sangat nyata, di group WA keluarga, teman, itu kan memang kelihatan. Itu yang betu-betul yang menjadi pekerjaan rumah besar yang harus kita hadapi sekarang.

Wawancara dilakukan oleh Jurnalis Deutsche Welle Rizki Akbar Putra
Ed: rzn

Muhamad Haripin adalah peneliti di Pusat Penelitian Politik–Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI), Jakarta. Ia menyelesaikan pendidikan strata satu di Departemen Ilmu Politik, Universitas Indonesia (2007), Magister Studi Pertahanan di Institut Teknologi Bandung-Cranfield University, UK (2010), dan Ph.D di Graduate School of International Relations, Ritsumeikan University, Kyoto (2017).