1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

121009 Woerse Tibet

13 Oktober 2009

Cina mengijinkan tambahan penerjemahan 117 buku berbahasa Cina dalam rangka pameran buku Frankfurt, dimana negara itu menjadi tamu kehormatan tahun ini. Tetapi buku-buku Woeser tak termasuk di dalamnya.

https://p.dw.com/p/K5Fi
Gambar simbol sensor bukuFoto: Flickr/Daoist56

Pertemuan dengan Woeser mengambil tempat di sebuah kafe di Beijing. Pendingin ruangan menderu-deru. Sekalipun musim gugur, cuaca tetap panas. Tsering Woeser tak bisa melayani wawancara di rumah. Teleponnya disadap, gerak-geriknya diawasi. Ia merupakan elemen berbahaya di mata pemerintah Cina. Penyair dan penulis perempuan ini orang Tibet. Ia menulis buku tentang penghancuran budaya Tibet selama Revolusi Budaya di Cina, juga tentang kerugian ekonomi dan penyingkiran yang dialami rakyatnya dewasa ini. Tulisannya kritis, mengajak berpikir, mengguncang banyak tabu. Semua bukunya dilarang di Cina.

Ia mengatakan, "Saya tidak mengira buku saya membawa banyak masalah. Alasan mengapa mereka menghukum saya sedemikian rupa, karena di mata pemerintah Cina, saya membuat beberapa kesalahan politik serius. Saya tidak menggambarkan Dalai Lama sebagai separatis. Setelah buku itu diterbitkan, saya diminta mengkoreksi sikap terhadap Dalai Lama. Saya bilang pada mereka, saya penganut Budha dan bukan anggota partai komunis."

Woeser kehilangan pekerjaan sebagai editor di sebuah surat kabar. Agar dia tidak bisa meninggalkan Tibet, pemerintah tidak bersedia mengeluarkan paspor untuknya. Woeser beberapa kali mengajukan permohonan tapi selalu tanpa hasil. Toh perempuan itu tidak tunduk pada intimidasi. Ia mengenakan t-shirt bertuliskan "Tibet“ dalam huruf besar dengan gambar istana Potala dan Dalai Lama. Di Cina, gambar pemimpin spiritual tertinggi Tibet itu adalah hal terlarang.

Buku terbaru Woeser berhubungan dengan pemberontakan di Tibet tahun 2008 lalu. Ia mengkritik pendekatan kekekerasan pemerintah Cina yang menganggap satu-satunya solusi adalah tekanan. Kritik terhadap pemerintah yang tak boleh dibaca seorangpun di Cina.

"Saya tidak bisa menerbitkan buku saya di Cina, jadi harus ke Taiwan, Hongkong atau Singapura. Untuk kondisi sekarang, itu biasa. Kalau saya menyelesaikan satu buku, saya kirim lewat e-mail ke penerbit di luar negeri. Kalau buku itu banyak gambarnya, saya minta teman membawa dalam bentuk CD ke luar negeri dan menyampaikannya pada penerbit saya," kata Woeser.

Beberapa tahun terakhir, banyak rekan-rekannya sesama penulis yang diancam dan ditahan. Woeser mengakui, semakin sempit ruang gerak bagi orang yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Kontrol dan tekanan semakin bertambah.

Usia Tsering Woeser kini di ambang 40. Baginya, Beijing adalah tempat pengasingan yang ia pilih sendiri. Ia hidup di sini karena suaminya, Wang Lixiong, yang juga penulis dan bukunya juga dilarang di Cina. Tetapi, pasangan penulis itu tetap berkarya.

Woeser mengatakan, "Buku kami dilarang di sini. Itu hukuman terburuk bagi pengarang. Banyak orang ingin membaca buku kami tentang Cina, tetapi tidak bisa mendapatkannya di sini. Suara saya tidak bisa didengar di Cina."

Tetapi di luar negeri tirai bambu itu, buku-buku Woeser menjelajah dunia, juga di pameran buku internasional Frankfurt yang berlangsung mulai Rabu ini (14/10) hingga 18 Oktober mendatang.

Petra Aldenrath/ Renata Permadi

Editor: Yuniman Farid