1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pengawas Independen: Tak Ada Bukti Kecurangan Pemilu Myanmar

18 Mei 2021

Organisasi pemantau independen menolak tuduhan junta militer atas kecurangan hasil pemilu Myanmar yang berlangsung pada November 2020. Dugaan kecurangan pemilu menjadi alasan militer merebut kekuasaan pada Februari lalu.

https://p.dw.com/p/3tXoq
Aung San Suu Kyi
Aung San Suu Kyi menyalurkan suaranya dalam pemilihan umum 8 November 2020 di Naypyitaw, MyanmarFoto: Aung Shine Oo/AP Photo/picture alliance

Meski ada kekurangan dalam proses pemilu, "ada sejumlah perlindungan prosedur yang diterapkan selama proses pemungutan suara, yang ... terbukti transparan dan dapat diandalkan,” kata Jaringan Asia untuk Pemilu Bebas dalam sebuah laporan.

Namun, mereka mencatat proses pemilihan Myanmar "pada dasarnya tidak demokratis" karena memberi keleluasaan kepada militer sebanyak 25% bagian dari semua kursi parlemen, jumlah yang cukup untuk memblokir perubahan konstitusional. Selain itu, sebagian besar populasi terutama minoritas Muslim Rohingya dirampas hak kewarganegaraannya, termasuk hak untuk memilih.

Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi menang telak dalam pemilu yang digelar pada 8 November 2020. Namun, pada 1 Februari 2021, militer melakukan kudeta dan menangkap Suu Kyi beserta puluhan pejabat tinggi lainnya.

ANFREL kritik pembatalan pemungutan suara

Laporan oleh ANFREL, sebuah kelompok internasional non-partisan yang bekerja untuk pemilu yang adil di Asia, mencatat bahwa pemimpin junta Jenderal Senior Min Aung Hlaing mengatakan militer mengambil alih pemerintahan karena "ada kecurangan yang mengerikan dalam daftar pemilih."

Partai Pembangunan dan Solidaritas Persatuan yang didukung militer menderita kekalahan telak yang tak terduga sehingga membuat tuduhan serupa.

Sejak kudeta, media yang dikendalikan negara telah merilis data yang menunjukkan bahwa daftar pemilih tidak sinkron dengan hasil pemilihan.

ANFREL mengatakan pihaknya "kekurangan informasi yang memadai untuk memverifikasi secara independen tuduhan penipuan daftar pemilih" karena undang-undang pemilu tidak mengizinkannya mengakses informasi tersebut.

ANFREL mengkritik pembatalan pemungutan suara oleh Komisi Pemilihan Umum karena "dilakukan dengan cara yang tidak jelas, sewenang-wenang, dan tidak konsisten."

ANFREL menyimpulkan bahwa hasil pemilu 2020, pada umumnya mewakili keinginan rakyat Myanmar. Terlepas dari pandemi COVID-19, 27,5 juta orang memberikan suara berkat kerja keras staf dan petugas pemilu, serta tenaga kesehatan. Suara mereka tidak bisa dibungkam," kata laporan itu.

ha/hp (AP)