1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masyarakat Lokal Bisa Menjadi Penjaga Hutan Terbaik

Hendra Pasuhuk
22 Maret 2017

Pemberian hak formal atas tanah bagi masyarakat lokal di daerah hutan tropis adalah salah satu cara yang paling efektif untuk menghentikan deforestasi, kata studi Bank Dunia.

https://p.dw.com/p/2ZimS
Indonesien Jambi Regenwald Abholzung Palmöl Plantagen
Foto: Imago

Masyarakat asli dan penduduk lokal punya pemahaman terbaik untuk menjaga hutan yang berharga bagi mereka. Masyarakat lokal yang memiliki hak yang kuat atas tanahnya adalah kelompok yang paling efektif untuk memerangi perambahan hutan. Demikian hasil studi Bank Dunia ydalam konferensi tahunan tentang tanah dan kemiskinan Land and Poverty Conference 2017.

Konferensi itu dilangsungkan di Washington dari 20 sampai 24 Maret dengan tajuk: Responsible Land Governance (Pengelolaan Tanah Yang Bertanggungjawab). Studi yang dihadirkan Bank Dunia terutama mengetengahkan contoh-contoh kasus dari Indonesia.

Deforestasi dan pembakaran hutan yang sering dilakukan untuk membuka lahan perkebunan bertanggung jawab atas sekitar sepersepuluh emisi karbon di dunia yang menyebabkan kenaikan suhu global dan perubahan iklim, kata para peneliti.

Selain itu, menyusutnya hutan dapat menyebabkan kemiskinan dan menimbulkan konflik sosial, karena warga setempat terpaksa bersaing keras untuk sumber daya yang makin menyusut.

Sebuah studi tentang hutan di enam negara yang dilakukan Bank Dunia memperlihatkan, laju deforestasi secara signifikan lebih rendah di kawasan di mana masyarakat memiliki hak-hak legal untuk emngelola hutan dan mendapat dukungan pemerintah dukungan untuk manajemen dan penegakan hukum.

Penelitian dari Indonesia menunjukkan, konflik atas tanah bisa diminimalkan dan investasi dapat didorong ketika masyarakat lokal terlibat dalam merancang koridor-koridor transportasi di sekitar proyek-proyek pertambangan yang diusulkan.

Studi lain dari Indonesia menunjukkan, pemberian hak jangka panjang untuk mengelola rawa-rawa bakau bagi masyarakat adat telah membuat ekosistem pesisir lebih terlindungi. Namun sampai kini, kurang dari seperlima populasi dunia memiliki hak formal atas tanah, atau hak kepemilikan.

"Pemberian hak atas tanah komunal untuk penduduk asli di hutan tropis merupakan salah satu solusi yang paling kurang dimanfaatkan untuk mengurangi deforestasi dan perubahan iklim," kata Peter Veit, direktur inisiatif hak atas tanah World Resources Institute (WRI) yang berbasis di Washington. "Mengamankan hak juga memiliki implikasi untuk mengurangi kemiskinan dan konflik," tambahnya.

Dari tanggal 20 hingga 20 Maret, lebih dari 1.500 spesialis hak atas tanah berkumpul di Washington untuk berbagi temuan-temuan mereka.

Penggunaan teknologi seperti pencitraan dengan satelit canggih dapat mengidentifikasi pola-pola penting, seperti penggunaan air dalam hak atas tanah dan pengelolaan lahan, kata Andrew Steer, Kepala WRI dan mantan Utusan Khusus Bank Dunia untuk Perubahan Iklim. "Kami bisa menunjukkan risiko kelangkaan air, membuat proyeksi populasi masa depan, menggunakan teknologi cloud computing sedemikian rupa untuk memperlihatkan pola penggunaan air oleh perusahaan-perusahaan swasta dan masyarakat asli," katanya.

Banyak risalah yang menyoroti tantangan negara-negara berkembang menghadapin tuntutan industri pertambangan dan perusahaan pertanian besar yang menggunakan teknologi untuk mendapat akses ke daerah-daerah terpencil. Namun demikian, para peneliti mengatakan bahwa para aktivis lingkungan dan masyarakat adat lokal juga bisa memanfaatkan teknologi serta untuk mengekspos deforestasi atau penggunaan lahan ilegal.

Penelitian-penelitian ini penting untuk membantu masyarakat adat kengklaim kembali hak-hak atas tanah, karena adalah penjaga terbaik hutan. Beberapa kritikus mengklaim hutan tropis terpencil tampak setelah oleh kelompok-kelompok adat dilindungi karena kurangnya tekanan pembangunan dan bukan teknik manajemen yang baik.

hp/ap (rtr)