1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Media

Influencer Instagram dan Kasus Penipuan

16 Juli 2019

Influencer marketing adalah bisnis yang menggiurkan. Namun, berdasarkan hasil survei, sejumlah negara di Asia menjadi ladang penipuan influencer Instagram. Kehadiran jutaan akun palsu ditengarai menjadi penyebabnya.

https://p.dw.com/p/3M8Pj
Instagram Shoppingfunktion Checkout
Foto: picture-alliance/empics/Yui Mok/

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan sebuah perusahaan startup asal Swedia, A Good Company dan firma analisis data HypeAuditor mencatat bahwa beberapa negara di Asia menjadi ladang penipuan perdagangan di media sosial Instagram. Penelitian tersebut dilakukan terhadap 1,84 juta akun yang tersebar di 82 negara di dunia.

Amerika dan Brasil merupakan dua negara teratas yang memiliki akun palsu Instragram terbanyak di dunia yakni 49 juta dan 27 juta akun, disusul India (26 juta) dan Indonesia (25 juta). Selain itu ada Jepang yang menempati posisi keenam. Di pasar Asia sendiri, diketahui terdapat 144 juta pengguna platform media sejuta umat ini, namun 58 juta diantaranya adalah bot ataupun pengikut massal. Diperkirakan US$744 juta terbuang sia-sia akibat penipuan akun-akun palsu tersebut.

Hal ini tidaklah mengherankan, karena dewasa ini Instagram menjadi tambang emas bagi para selebgram atau yang biasa disebut influencer maupun bagi berbagai perusahaan produk dan jasa. Kini makin banyak perusahaan menyewa jasa influencer untuk menjajakan produk mereka. Namun tidak sedikit dari para influencer ini yang bermain secara tidak jujur. Mereka membeli pengikut (follower), like, dan komentar dalam jumlah banyak agar bisa menarik perhatian sejumlah perusahaan untuk menyewa jasa mereka. 

Menurut data agensi marketing Mediakix, nilai pasar influencer Instagram di tahun 2017 silam adalah sebesar 1 milliar dollar AS, dan diprediksi di akhir tahun ini angka tersebut akan naik menjadi dua kali lipat, tentulah sebuah nilai yang mencengangkan.

Jalan pintas
Pakar keamanan siber dari Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, menyebutkan bahwa Instagram tidak menghadirkan fitur ads bawaan yang mengizinkan penggunanya dapat menambah follower asli layaknya Facebook. Inilah yang menyebabkan banyaknya layanan pihak ketiga yang bermunculan. Menurutnya beberapa syarat dalam penggunaan fitur di Instagram membuat influencer mencari jalan pintas untuk menambah jumlah pengikutnya.

Pratama Persadha
Pratama Persadha, pakar Keamanan Siber dari CISSReCFoto: privat

“Padahal di Instagram, beberapa fitur seperti swipe dan IG TV 60 menit bisa aktif dengan beberapa prasyarat, satu diantaranya adalah jumlah followers yang diatas 10.000 dan juga khusus untuk IG TV lebih dari 10 menit akun harus verified. Prasyarat jumlah inilah yang membuat orang ingin cepat bertambah followers dengan memilih membeli,” terang Pratama saat diwawancarai DW Indonesia.

Menurutnya dengan membeli bot, akan menjaga jumlah pengikut influencer karena bot sejatinya tidak melakukan interaksi. “Beda dengan bot, yang sekali follow mereka tidak akan melakukan unfollow,” imbuh Pratama.

Lebih lanjut Pratama menghimbau para influencer untuk membuat konten secara bijak tanpa membuat koten yang bersifat kontroversi atau yang bersifat jahil (prank). Dengan begitu menurutnya akun asli akan mengikuti, like, dan memberikan komentar nyata kepada mereka. Pihak perusahaan pun juga harus lebih selektif dalam menyewa jasa seorang influencer.

“Namun bagi brand yang salah menggunakan agency atau endorser maka mereka hanya buang-buang uang, karena kontennya tidak sampai ke publik yang sebenarnya,” pungkas Pratama.

Micro influencers
Dalam rilisnya, A Good Company membagi influencer Instagram ke dalam tiga tipe, yakni macro influencers yang memiliki seratus ribu hingga lebih dari satu juta jumlah pengikut, mid influencers yang memiliki dua puluh ribu hingga seratus ribu jumlah pengikut, dan micro influencers yang memiliki seribu hingga dua puluh ribu pengikut. Berdasarkan engagement pods-nya (like dan komentar), micro influencers adalah tip influencer yang memiliki anomali terbesar (40,29%).

Hal ini diduga karana perusahaan lebih suka menyewa jasa micro influencers yang memiliki keterlibatan secara langsung dengan para pengikutnya, namun kerap dihargai secara tidak proporsional sehingga mendorong mereka untuk membeli banyak akun palsu.

Kepada PRWeek, CEO A Good Company, Anders Anarklid, mengaku yakin akan adanya aktivitas penipuan dalam bisnis influencer marketing. Hal inilah yang mendorong A Good Company untuk melakukan penelitian. 
“Kami menyarankan untuk melihat lebih jauh korelasi antara angka pengeluaran pemasaran influencer Anda dengan angka penjualan Anda. Bisa jadi Anda menghabiskan sebagian besar anggaran untuk para influencer tanpa pengikut organik,” tutur Anarklid.

Saat ini terdapat lebih dari satu miliar pengguna aktif Instagram setiap bulannya. Facebook sendiri sebagai perusahaan induk Instagram memiliki 2.38 miliar penguna aktif per bulan. Kemudian untuk media sosial Twitter diketahui memiliki 16 juta pengguna aktif yang log in di setiap harinya. Jumlah tersebut menyadarkan kita betapa besar potensi bisnis pasar influencer ini.

“Sejak awal Instagram berdiri, kami telah mendeteksi dan menghapus akun palsu secara otomatis untuk melindungi para pengguna Instagram. Tahun lalu, kami mengambil langkah tambahan untuk menghapus like, follow, dan komentar dari akun yang menggunakan aplikasi pihak ketiga untuk meningkatkan popularitas mereka (influencer - Red)” ujar juru bicara Facebook dilansir dari Mumbrella Asia.

rap/vlz (dari berbagai sumber)