1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

110511 Arktis Öl

25 Mei 2011

Perlombaan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam di kawasan kutub utara mencemaskan para pelindung lingkungan. Kini disepakati perjanjian tanggap darurat kecelakaan minyak di kutub utara.

https://p.dw.com/p/11NmE
Kapal melintasi perairan sekitar Greenland yang dipenuhi gunung es.Foto: DW / Irene Quaile-Kersken

Perubahan iklim global menyebabkan mencairnya lapisan es yang biasanya menyelimuti kawasan perairan di kutub utara. Dengan itu lalulintas kapal laut di kawasan kutub utara semakin mudah.Juga seiring semakin mudahnya transportasi lewat laut, minat sejumlah negara untuk melakukan eksplorasi dan penambangan minyak bumi di kawasan kutub utara juga semakin meningkat.

Melihat perkembangan situasi yang tidak menguntungkan, berupa ancaman terhadap ekosystem kutub yang ringkih, Dewan Kutub Utara yang terdiri atas delapan negara di sekitar kutub utara dan 6 organisasi internasional yang mewakili warga asli di kawasan kutub, menyetujui kesepakatan mengikat bagi penanggulangan ancaman bahaya di kawasan perairan kutub. Dengan itu dewan kutub utara bereaksi terhadap perkembangan terbaru, berupa semakin terbuka dan mudahnya transportasi laut di sekitar kutub utara. Setahun lalu, ketika terjadi bencana kebocoran minyak di Teluk Meksiko, banyak yang menduga rencana eksplorasi dan penambangan minyak di kawasan kutub utara akan dibatalkan. Tapi sekarang, industri perminyakan kembali mempertimbangkan dilanjutkannya kegiatan pengeboran minyak di kawasan tsb.

Thema Öl in der Arktis Greenpeace
Aktivis Greenpeace yang memprotes transportasi anjungan minyak di Istanbul.Foto: Markel Redondo/Greenpeace

Para pakar perminyakan memperkirakan, sekitar 13 persen cadangan minyak yang belum ditemukan berada di kawasan kutub utara. Bulan April lalu, para aktivis organisasi pembela lingkungan Greenpeace menduduki sebuah anjungan pengeboran di dekat kota metropolitan Turki Istanbul. Anjungan pengeboran itu rencananya akan dibawa ke kawasan Greenland untuk melakukan pengeboran eksplorasi di laut dalam sekitar kutub. John Farrel dari lembaga riset kutub utara Amerika Serikat meyakini, pengeboran minyak lebih lanjut di kawasan kutub utara tidak dapat dihindarkan lagi. Tapi Farrel juga meyakini, bencana minyak di Teluk Meksiko akan meningkatkan kesadaran menyangkut risikonya. “Saat ini semakin diperhatikan, bahwa kawasan itu akan terus diteliti, sebelum pemanfaatannya secara ekonomi meningkat. Termasuk riset mendasar lingkungan, di kawasan yang akan dilakukan operasinya. Sejauh mana pengertian kita mengenai lautan dan ekosystemnya? Kita membutuhkan data dasar ini, untuk dapat memerangi kemungkinan camaran minyak atau masalah lainnya di kawasan perairan ini,“ ujar Farrel menambahkan.

Akan tetapi suhu di kawasan kutub utara memanas dua kali lebih cepat dibanding kawasan lain di planet Bumi. Akan sangat mustahil kegiatan riset dapat memenangkan perlombaan dalam pemanfaatan sumber daya alam di kawasan kutub. Aqqaluk Lynge, ketua organisasi suku Inuit, Dewan Kutub Utara memperingatkan, agar berhati-hati dan memperhatikan kelestarian lingkungan dalam eksploitasi kekayaan alam di kawasan kutub utara. Lynge mengritik kecepatan perkembangan eksplorasi di kawasan tsb : “Saya mempertanyakan, apakah kita benar-benar memiliki kemampuan teknologi yang aman untuk melakukan pengeboran di kawasan kutub, di habitat anjing laut dan paus. Apakah masih ada manusia yang memperhatikan binatang ini? Apakah kita mula-mula menuntut industri perminyakan agar sebelumnya melakukan analisa dampak lingkungan? Tidak, kita tidak melakukannya.“

Pengeboran minyak serta transportasinya di kawasan kutub utara, merupakan tantangan amat besar dalam segi keamanan dan infrastruktur. Jörn Harald Andersen konsultan asosiasi laut bersih Norwegia, NOFO, yang mendukung industri perminyakan Norwegia menanggulangi pencemaran minyak di lautan, membenarkan semakin sulit dan besarnya tantangan jika melakukan pengeboran di kawasan kutub. Namun Andersen menegaskan, asosiasinya mampu menanggulangi kecelakaan minyak di kawasan kutub.

“Ladang minyak pertama kami di kutub utara, Goliath, akan mulai berproduksi tahun 2013. Karena itulah kami melakukan kampanye, untuk mengembangkan teknologi baru, sistem respons yang melibatkan kapal nelayan, untuk mengujicoba sistem pencitraan jarak jauh bagi kondisi pandangan amat buruk. Semua dipacu dalam kecepatan tinggi, untuk dapat menanggulangi tantangan tambahan ini," tegas Andersen.

Pakar kelautan dari tim tanggap darurat di lembaga kelautan serta meteorologi AS-NOAA, Dr.Amy McFadyen menegaskan, persyaratan logistik di kawasan kutub yang jarang penduduknya, nyaris tidak ada. Juga persyaratan teknis dalam kasus kecelakaan minyak di kawasan perairan yang tertutup lapisan es berbeda dengan misalnya kecelakaan minyak di Teluk Meksiko setahun lalu. Di satu sisi, lapisan es dapat berfungsi sebagai pembatas, sehingga lapisan minyaknya terkonsentrasi di satu tempat. Namun di sisi lain, amat sulit menemukan lokasi kebocoran minyak di kawasan yang tertutup es.

Juga kelompok pelindung lingkungan meragukan, bahwa industri perminyakan cukup siap untuk menanggulangi bencana cemaran minyak dalam skala besar di kawasan kutub utara. Frida Bengstsson dari Greenpeace Norwegia memuji kesepakatan tanggap darurat di kawasan laut sekitar kutub oleh Dewan Kutub Utara. Tapi hal itu saja belum merupakan jaminan, bagi keamanan eksploitasi dan transportasi minyak yang terus meningkat di kawasan kutub.

in-situ-burning Abbrennen des Öls in Norwegen
Ujicoba pembakaran cemaran minyak di lautan oleh pakar Norwegia.Foto: SINTEF

“Kesepakatannya mencakup kawasan amat luas yang sulit dijangkau. Dan kami amat mencemaskan, apa yang terjadi jika minyaknya bocor. Hal itu dapat terjadi pada saat pengeboran, atau pada saat transportasinya menggunakan kapal tanker. Menurut saya, ini merupakan ancaman besar langsung terhadap ekosystem kutub utara. Juga terdapat dampak jangka panjang pada perubahan iklim, jika kemudian minyaknya dibakar,“ kata Bengstsson lebih lanjut.

Senada dengan itu, John Farrel dari jawatan penelitian kutub utara AS melihat paradox, antara penggunaan bahan bakar fossil dengan perubahan iklim, yang memungkinkan eksploitasi terhadap sumber daya yang tersisa. Kecepatan perubahan lingkungan di kawasan kutub utara, menciptakan tantangan tambahan kata Farrel. Hal itu memicu semakin cepatnya pencairan lapisan es di perairan kutub, meningkatnya pemanasan global, mencairnya lapisan es abadi dan erosi pantai.

Kutub utara menjadi sebuah kawasan yang sangat dinamis, berkaitan dengan perubahan iklim yang disebabkan aktivitas manusia. Juga kawasan kutub berubah amat cepat, akibat meningkatnya beban aktivitas ekonomi di sana.

Karena itulah pimpinan kelompok suku Inuit, Aqqaluk Lynge menuntut diperlambatnya pembangunan di kawasan kutub utara. Ia mengimbau, agar negara-negara di kawasan kutub menunggu hingga 10 tahun, dan melihat bagaimana kenampakannya saat itu. Juga bagaimana dampak pencairan kutub dan dampaknya terhadap lingkungan. Sejauh ini tidak ada yang mengetahuinya secara pasti. Dengan mengamati terus perubahannya, dapat ditarik semacam neraca berupa cerminan dari perubahan iklim global secara umum.

Irene Quaile/Agus Setiawan

Editor : Luky Setyarini