1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penyiksaan Menanti Warga Korut yang Dideportasi dari Cina

Nina Werkshäuser | Esther Felden
26 Desember 2023

Setelah 25 tahun tinggal di Cina, seorang perempuan Korea Utara dideportasi dan lenyap tanpa jejak. DW mengupas nasib warga Korea Utara yang dipulangkan secara paksa oleh Beijing.

https://p.dw.com/p/4aQRa
Pemulangan paksa warga Korea Utara oleh Cina
Kim Cheol Ok tinggal di Cina selama beberapa dekade sebelum akhirnya dia dideportasi kembali ke Korea UtaraFoto: Privat

Seorang warga Korea Utara (Korut) Kim Cheol Ok berhasil menelepon keluarganya dengan tergesa-gesa, untuk memberi tahu tentang deportasinya dari Beijing pada tanggal 9 Oktober lalu.

Pada hari itu, Cheol Ok dan 500 warga Korea Utara lainnya yang tinggal di Cina, dipulangkan secara paksa. Kakak perempuannya di London, yang berhasil melarikan diri selama bencana kelaparan besar pada tahun 1990-an, kini mengkhawatirkan hidup Cheol Ok.

"Saya yakin dia dipukuli," kata Kim Kyu Li kepada DW di apartemennya di London, tempat dia tinggal di pengasingan.

Di Korea Utara, para tahanan sering kali meninggal dunia karena kelaparan dan penyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi. "Mereka makan tikus dan kecoak, lalu jatuh sakit karena itu," tambah Kyu Li.

Pemandangan dari Dandong, tentara Korea Utara berpatroli di distrik perbatasan Uiju
Tentara Korea Utara secara rutin berpatroli di sepanjang lebih dari 1.400 kilometer perbatasan dengan CinaFoto: Kyodo/picture alliance

Dari pedesaan ke penjara

Ketika Cheol Ok tiba di Cina pada usia 14 tahun, dia dinikahkan dengan seorang pria yang berusia 30 tahun lebih tua darinya oleh seorang penyelundup. Kemudian, mereka memiliki seorang anak perempuan, yang merupakan warga negara Cina.

Sayangnya, Cheol Ok tidak pernah diberikan izin tinggal di Cina. Selama 25 tahun, dia hidup dalam pengasingan di sebuah daerah pedesaan di Provinsi Jilin, bagian timur laut Cina. Dia bekerja di ladang dan kemudian di restoran. Menurut Kyu Li, suami Cheol Ok memperlakukannya dengan sangat baik terlepas dari situasi yang dihadapi Cheol Ok.

Namun, semua itu berubah ketika pada bulan April 2023, Cheol Ok ditangkap oleh polisi Cina, saat dia diduga berupaya untuk meninggalkan negara itu. "Dia tidak melakukan apa-apa. Satu-satunya kesalahan adalah karena dia lahir di Korea Utara," kata Kyu Li. 

Kim Kyu Li dan Kim Yu Bin
"Satu-satunya kejahatannya adalah dia lahir di Korea Utara," kata Kim Kyu LiFoto: Esther Felden/DW

Luka lama

Deportasi Cheol Ok ke Korea Utara telah membuka luka lama dalam keluarganya yang tidak akan pernah bisa sembuh sepenuhnya.

Selain Kyu Li, kakak perempuan Cheol Ok yang kedua juga kini tinggal di London. Kim Yu Bin juga pernah dideportasi dari Cina kembali ke Korea Utara, sebelum akhirnya berhasil melarikan diri. Kenangan akan pelecehan dan penganiayaan yang dialaminya masih sangat menghantui dirinya hingga hari ini. 

"Sejak adik saya ditangkap, saya mengalami mimpi buruk," ungkap Yun Bin kepada DW. 

Yu Bin juga mengatakan bahwa saudara laki-lakinya meninggal dunia dalam tahanan Korea Utara, rincian mengenai kematiannya yang mengerikan disampaikan melalui sesama narapidana yang berhasil melarikan diri.

"Dia dipukuli sampai mati, dimasukkan ke dalam karung beras, dan dibuang," kata Yu Bin. "Itu menghancurkan hati saya." Ketakutan terbesar keluarganya saat ini adalah bisa jadi Cheol Ok juga akan mengalami nasib yang sama.

Kim Kyu Li dan Kim Yu Bin
Kim Kyu Li sangat peduli dengan beberapa kerabat yang masih hidupFoto: Esther Felden/DW

DW juga berbicara dengan warga Korea Utara lainnya yang telah dideportasi kembali ke negara asalnya dari Cina, sebelum akhirnya berhasil melarikan diri ke Korea Selatan. Mereka mengatakan bahwa mereka diperlakukan secara tidak manusiawi saat ditahan.

"Kami diperlakukan seolah-olah kami lebih rendah dari binatang," kata Lee Young Joo, 50 tahun, dalam sebuah wawancara video dari rumahnya di Korea Selatan.

Young Joo juga sering dipukuli saat diinterogasi. "Jika saya ragu-ragu sedetik saja untuk menjawab pertanyaan, mereka sudah menyiapkan tongkat untuk menyiksa saya," katanya. "Saya dipukuli di seluruh tubuh, termasuk kepala dan wajah saya."

'Penjahat politik' 

Lebih dari 1.000 saksi mata telah dikumpulkan oleh Korea Future, sebuah organisasi yang mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia dalam sistem hukuman Korea Utara. 

Model penjara di Korea Utara
Sebuah model yang dibuat oleh Korea Future menunjukkan bagaimana individu-individu berdesakan satu sama lain di dalam sel penjara Korea UtaraFoto: Korea Future

Warga Korea Utara yang berhasil melarikan diri dari negara itu dan kemudian terpaksa dipulangkan kembali, menghadapi proses interogasi yang lebih brutal dengan tujuan untuk menentukan motif kenapa mereka pergi. 

Apakah mereka melarikan diri untuk menghindari kemiskinan, atau apakah mereka berusaha untuk mencapai Korea Selatan? Rezim Korut menganggap yang terakhir sebagai kejahatan yang sangat keji karena Korea Selatan dianggap sebagai musuh bebuyutannya.

Pyongyang juga tengah memburu para diplomat yang membelot dan para peretas yang pernah melakukan tugasnya di Beijing, menurut informasi yang diperoleh unit investigasi DW. 

"Para tahanan, terlepas dari apakah mereka diklasifikasikan sebagai penjahat ekonomi atau politik, mengalami penyiksaan posisional," kata Yoo Suyeon dari Korea Future. "Ini berarti mereka dipaksa duduk bersila selama lebih dari 12 jam setiap hari. Setiap gerakan atau suara dapat mengakibatkan hukuman individu atau kolektif."

Xi Jinping dan Kim Jong Un
Presiden Cina Xi Jinping (kiri) telah bertemu dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong UnFoto: Yonhap/picture alliance

Beijing menutup mata dan telinga

Meskipun ada banyak laporan penyiksaan yang terus meningkat di Korea Utara, Cina tetap mendeportasi warga Korea Utara ke negara asalnya. 

"Cina sebenarnya memiliki kewajiban di bawah konvensi dan protokol pengungsi, serta konvensi penyiksaan, untuk tidak mengirim kembali orang-orang ke negara, di mana mereka akan menghadapi penyiksaan," kata pakar hukum internasional Ethan Hee-Seok Shin dari Kelompok Kerja Keadilan Transisional, yang mengajukan permohonan kepada PBB atas nama Cheol Ok.

Awal tahun ini, pejabat Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia meminta Beijing, sekutu terdekat Pyongyang, untuk mengakhiri pemulangan paksa warga Korea Utara, dengan mengatakan bahwa hal tersebut dapat "menempatkan mereka pada risiko pelanggaran hak asasi manusia yang serius seperti penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, penghilangan paksa, dan pembunuhan tanpa proses hukum."

Namun, Beijing menepis tuduhan tersebut dengan mengatakan bahwa "saat ini tidak ada bukti penyiksaan atau apa yang disebut sebagai 'pelanggaran hak asasi manusia besar-besaran' di Korea Utara."

Sebaliknya, Cina mengklasifikasikan warga Korea Utara sebagai migran ekonomi yang tidak teratur dan bukan pengungsi, yang secara efektif menolak perlindungan dari Konvensi Pengungsi Jenewa.

DW telah berulang kali meminta komentar dari pemerintah Cina dan Korea Utara. Namun, pihak Cina tidak memberikan tanggapan apa pun, sementara Kedutaan Besar Korea Utara di Berlin, dalam sebuah pernyataan tertulis yang begitu singkat, menepis tuduhan sehubungan dengan deportasi tersebut sebagai "propaganda yang menyesatkan" dari "Amerika Serikat dan kekuatan-kekuatan yang memusuhi."

Harapan dan ketidakpastian

Keluarga para tahanan di Korea Utara sering kali memilih untuk tetap diam, karena takut membuat orang yang mereka cintai terancam bahaya. Namun, Kim Kyu Li telah memilih untuk mempublikasikan perjuangan ini demi saudara perempuannya yang hilang. Dia bahkan melakukan perjalanan ke New York untuk menyuarakan pendapatnya dalam pertemuan Pengadilan Kriminal Internasional baru-baru ini.

Dari apartemennya di London, Kyu Li tetap ingin menyampaikan sesuatu kepada adiknya yang hilang, meskipun dia tahu bahwa adiknya tidak dapat mendengarkan ini. 

"Cheol Ok, tetaplah kuat dan jangan menyerah."

Kim Cheol Ok tidak mungkin dibebaskan dari penjara, kata Ethan Hee-Seok Shin. "Tapi setidaknya harapan mereka dan harapan kami juga, adalah bahwa perhatian internasional semacam ini akan membuat lebih sulit bagi pihak berwenang Korea Utara untuk melecehkan atau menyiksanya."

(kp/yf)

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW. Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!