1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perang Irak dalam Media Jerman

6 September 2006

Peristiwa yang sama dilaporkan dengan sudut pandang berbeda.

https://p.dw.com/p/CPCB
Berita jatuhnya Saddam Husein di Frankfurter Rundschau
Berita jatuhnya Saddam Husein di Frankfurter Rundschau

Persoalannya adalah sudut pandang. Pada Senin 4 September, Radio Inggris BBC melaporkan, seorang tentara Inggris tewas tertembak di Kabul. Insiden yang sama diberitakan oleh stasiun televisi Iran dengan perspektif berbeda: tentara Inggris menembak mati 4 warga Afganistan.

Keduanya betul, tapi masing-masing hanya melaporkan apa yang menurut mereka penting. Dan apa yang berlaku di Afganistan, terjadi pula di hampir semua daerah konflik di dunia ini.

Baik bagi media Jerman maupun Irak, serangan dengan lusinan korban tewas hanya bernilai satu berita pendek dengan latar belakang yang tidak disoroti lagi. Kesan yang muncul sekarang, insiden-insiden serupa itu sudah merupakan keseharian di Irak. Dan kejadian sehari-hari bukan lagi berita penting. Begitulah.

Seperti komentar mantan PM Israel Menachem Begin mengenai laporan pembantaian warga Palestina di kamp-kamp Sabra dan Shatila. Ia mengatakan: “Tapi kejadian seperti itu tak hanya terjadi satu kali di Libanon…“

Pandangan bahwa ’kejadian seperti itu tak hanya sekali terjadi di Irak’, juga dianut kalangan media yang dengan cepat beralih ke topik lain. Penyebab utamanya adalah jarang sekali ada media Jerman yang melaporkan sendiri dari lokasi peristiwa. Mereka tergantung pada laporan kantor-kantor berita.

Mengapa media Jerman tidak ada atau jarang melaporkan dari lokasi? Alasannya jelas, beresiko tinggi dan berbahaya. Siapa redaktur penanggung jawab yang mau bertanggungjawab mengirimkan koresponden ke Irak dan membahayakan jiwanya? Dan mungkin hanya memperoleh berita dari kamar hotelnya di Bagdad, yang sulit dibedakan dengan berita yang dikumpulkan kantor berita dengan bantuan pekerja lokalnya yang memang tinggal di Irak?

Sangat berbeda dengan media Inggris dan Amerika. Mereka punya kantor perwakilan di Bagdad, mereka juga melaporkan dari daerah-daerah lain di Irak. Tapi, mereka juga punya misi berbeda dan sikap penantian berbeda dari publik di negaranya.

Para pembaca, pendengar dan pemirsa di rumah menanti berita dari lokasi karena mereka ingin mengetahui apa yang dialami para pemudanya, mereka ingin ikut terlibat dalam tugas-tugas tentaranya yang ditempatkan di sana. Walaupun, seperti skandal di Abu Ghraib, tak ada alasan untuk merasa bangga.

Alasan lainnya adalah singkatnya umur pemberitaan tema-tema petaka dewasa ini. Bencana kelaparan di Afrika Timur sudah berlangsung bertahun-tahun, tapi paling-paling sekali dalam setahun muncul di kepala berita. Dan pertempuran di Jalur Gaza tersingkir oleh pemberitaan tentang nasib Libanon, sesaat sebelum digelarnya konferensi donor di Stockholm.

Tanpa media, sebuah peristiwa bukanlah peristiwa, atau paling tidak, lama setelah kejadiannya lewat. Contohnya, pembantaian di Hama, Suriah tahun 1982, atau pembantaian warga Kurdi di Halabja oleh rejim Saddam Hussein tahun 1988.

Sering juga media menaikkan sebuah peristiwa sebagai tema dan kemudian membiarkannya mati sendiri. Bukan manipulasi yang disadari dan dengan tujuan tertentu, melainkan ekspresi kecepatan media elektronik modern yang dalam hitungan detik bisa melaporkan macam-macam peristiwa, dari mana saja.