1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perang Lumpuhkan Kehidupan Budaya di Beirut

9 Agustus 2006

Kalangan cendekiawan dan seniman telah meninggalkan Beirut, galeri dan museum ditutup, bioskop tidak memutar film lagi atau terpaksa membatasi kegiatannya. Berbagai festival telah dibatalkan.

https://p.dw.com/p/CPWc
Hampir tidak ada lagi acara budaya di kota Beirut yang di ambang kehancuran
Hampir tidak ada lagi acara budaya di kota Beirut yang di ambang kehancuranFoto: AP

Bila segi kebudayaan telah menjadi bagian hidup seseorang, ketiadaan kegiatan budaya langsung dirasakan sebagai kehampaan.

Fayrouz adalah biduan 'chanson' terkenal Libanon. Ia adalah seorang patriot besar. Oleh sebab itu di masa peperangan sekarang ini lagu-lagunya selalu diputar di berbagai pemancar Libanon. Antara lain terdengar liriknya: "Kau dapat melupakan segala milikmu, kehidupanmu sehari-hari, orang-orang yang kamu cintai, surat-suratmu, ketenaran di masa lalu, tetapi apa pun yang terjadi, jangan lupakan tanah airmu."

Acara Budaya Dibatalkan

Sebenarnya menurut rencana, tanggal 13 Juli lalu Fayrous akan membuka festival Baalbeck di selatan Libanon. Tetapi tidak jadi karena saat itu bom-bom Israel sudah berjatuhan di bekas kuil dewa Jupiter dan dewa Bacchus. Nasib yang sama juga dialami oleh festival musim panas Libanon yang berkaliber internasional, yaitu Festival Beiteddine di Pegunungan Chouf.

Penculikan terhadap dua tentara Israel oleh Hisbollah yang kemudian diikuti oleh serangan udara Israel mengakibatkan event-event kebudayaan di Libanon boleh dikatakan mati sebelum berkembang. Festival Beiteddine seharusnya dimulai tanggal 16 Juli lalu dan seluruhnya direncanakan 13 pergelaran dengan seniman-seniman kenamaan. Demikian dikemukakan Wafa Saab, penyelenggara dan jurubicara festival itu.

Selanjutnya Wafa Saab mengemukakan:"Perang dimulai tanggal 12, tetapi keseriusannya baru disadari tanggal 13. Kami hampir tidak punya waktu untuk bernapas, semua kegiatan harus dihentikan."

Perang Lumpuhkan Kegiatan Budaya

Bukan hanya Festival Beiteddine, melainkan seluruh kegiatan kebudayaan menjadi mandek dengan dimulainya serangan militer Israel. Semua bioskop ditutup, seperti juga berbagai galeri dan museum di Beirut. Padahal masih tetap ada bagian kota Beirut yang selamat dari serangan. Ramsay Short, pemimpin redaksi majalah "Beirut Timeout" mengemukakan, saat ini tidak ada pameran, konser atau pun pertunjukan kesenian lainnya.

Menurut Ramsay: "Events dan pergelaran kebudayaan tidak dapat diselenggarakan lagi. Begitulah keadaannya bila lebih dari setengah juta orang terusir dari rumah mereka, dan saat ini orang lebih memikirkan apa yang dapat mereka makan, daripada mementingkan soal hiburan."

Majalah "Beirut Timeout" baru terbit tiga bulan yang lalu dan merupakan tanda kehidupan seni, budaya dan hiburan yang berkembang di Beirut. Sekarang kegiatannya harus dihentikan lagi.

Kerugian di Semua Bidang

Para organisator festival-festival besar kini sibuk membayar kembali harga karcis yang sudah dibeli para peminat, dan menawarkan gantirugi kepada para sponsor yang sudah menginvestasikan dana bagi berbagai pertunjukan kebudayaan. Di segi keuangan ini tentu merupakan kerugian besar. Tetapi bila keadaan sudah tenang kembali, perencanaan untuk tahun mendatang akan segera dimulai lagi, demikian dikemukakan Wafa Saab dari Festival Beitteddine.

Hanya saja ini pastilah bukan pekerjaan yang mudah. Seolah berbicara dengan dirinya sendiri Wafa Saab mengatakan: "Kamu sadar, bahwa kamu ingin memberikan peluang bagi sebanyak mungkin warga Libanon untuk menemukan berbagai trend musik, tari dan teater. Kemudian, kamu merenung dan bertanya, apa sih sebenarnya yang kamu lakukan? Kemudian terpikir lagi, ah saya akan jalan terus, tidak ada yang bisa menahan saya."

Inilah yang membedakan Libanon dengan negara-negara lain yang dilanda peperangan. Demikian pendapat Wafa Saab. "Kami adalah orang-orang yang selamat, kami punya kebudayaan besar, setidaknya itu kami yakini dan hendak kami pertahankan."

Mencoba Bertahan

Bioskop Metropolis di pusat kota Beirut berusaha tetap memutar film bila keadaan memungkinkan, dan bila aliran listrik putus, tentunya dengan bantuan generator. Misalnya memutar film-film dari festival di Cannes. Hania Mroue, pemilik bioskop itu mengatakan, setelah terjadinya pemboman ia hanya menghentikan kegiatan bioskop selama tiga hari. Semula memang hendak ditunggu sampai keadaan tenang kembali.

"Tetapi kemudian disadari, perang akan berkesinambungan, dan akan semakin kejam. Kami butuh waktu selama seminggu sampai dapat menerima keadaan ini. Dan setelah kami sadari bahwa dunia toh tidak mempedulikan kami, kami memutuskan untuk bangkit. Tidak dengan kekerasan senjata melain melawan ketidak-berdayaan. Kehidupan harus jalan terus dan artinya bukan hanya bernafas dan makan." Demikian dikatakan Hania.

Menunngu Untuk Bangkit Kembali

Tiap orang juga berhak menjalani kehidupan yang normal, termasuk juga menonton film. Oleh sebab itulah Hania Mroue memutuskan untuk membuka kembali bioskopnya. Bila mungkin, termasuk juga pada siang hari dengan memutar film bagi anak-anak para pengungsi di Beirut. Sampai kapan itu dapat dilakukannya, ia sendiri tidak tahu. Karena masalah besar yang dihadapinya adalah sumber dananya.

Kata Hania: "Saya menunggu sampai perang usai, saya menunggu apa yang terjadi dan saya rasa, seperti semua warga Libanon lainnya, saya menuggu mukjizat."

Demikian pula Ramsay Short berpendapat, harus terjadi mukjizat, agar dunia kebudayaan Libanon dapat bangkit kembali.

"Saya merasa, apa yang boleh kami alami selama beberapa tahun belakangan ini, sepertinya hanya mimpi. Sekarang rasanya kami berada di tahun 1990, ketika perang saudara berakhir. Apa yang kini hilang dan yang akan sangat sulit untuk dipulihkan adalah kesantaian warga Libanon, dan keyakinan, bahwa mereka telah menjadi pusat kosmopolitan di dunia Arab."