1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Ekonomi

Perang Sunyi Pemerintahan Jokowi Melawan Aktivis Lingkungan

30 Januari 2019

Serangan terhadap aktivis Walhi NTB menggarisbawahi nasib muram yang dihadapi pegiat lingkungan di era pemerintahan Joko Widodo. Percepatan pembangunan dan ambisi ekonomi ditengarai sebagai akar masalah.

https://p.dw.com/p/3CQb0
Indonesien 9 Kartini
Foto: picture-alliance/NurPhoto

Pada Senin pukul 03:00, Murdani mendapati diri berbagi nasib dengan ratusan aktivis sebelum dia yang pernah menjadi korban penyerangan. Pagi itu kendaraannya yang diparkir di garasi rumah dibakar orang tak dikenal. Api yang mengancam penghuni rumah baru bisa dipadamkan 45 menit kemudian tanpa menimbulkan korban.

Murdani, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB, mencurigai insiden tersebut terkait advokasinya melawan perusahaan tambang.

Tak heran Walhi menuntut kepolisian NTB agar segera mengungkap pelaku dan melindungi keluarga para pekerja lingkungan. Hal tersebut diungkapkan dalam jumpa pers di gedung Eksekutif Nasional WALHI, Jakarta, Rabu (30/1).

Namun celakanya, menurut Direktur Walhi Indonesia Yaya Nur Hidayati, upaya intimidasi terhadap Murdani tidak seberapa dibandingkan nasib pejuang lingkungan yang bekerja seorang diri. "Mereka dituntut menggunakan pasal karet dengan tuduhan yang dibuat-buat," kata dia kepada DW.

"Modus kriminalisasi dijadikan alat oleh pelaku kejahatan lingkungan untuk meredam perjuangan masyarakat," kata dia. Tujuannya adalah "menciptakan rasa gentar" agar penduduk berpikir dua kali sebelum mengobarkan perlawanan.

Seniman Lithuania Kirim Pesan SOS Nasib Hutan Indonesia

Kriminalisasi Marak di Era Jokowi

Kriminalisasi aktivis lingkungan dan sosial diakui kian marak di era pemerintahan Joko Widodo. Tudingan tersebut tidak hanya dilayangkan Walhi, tetapi juga Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan sejumlah organisasi Hak Asasi Manusia. Jika dulu serangan sering muncul dalam bentuk intimidasi dan kekerasan fisik, "sekarang aparat dan perusahaan menggunakan instrumen hukum untuk membuat gentar," kata Yaya Nur Hidayati.

Catatan WALHI menyebut sudah 723 kasus kriminalisasi pejuang lingkungan hidup yang muncul selama pemerintahan Joko Widodo. Salah satu yang mendapat perhatian adalah kasus kriminalisasi Budi Pego. Dia yang menolak tambang emas Tumpang Pitu karena berdampak buruk bagi lingkungan dan manusia akhirnya dijerat dengan tudingan menyebarkan komunisme.

Baca juga:Sembilan Rahim Kartini Kendeng 

Budi akhirnya divonis tujuh tahun sebelum diralat menjadi empat tahun oleh Mahkamah Agung.

Negara sejatinya memberikan perlindungan bagi aktivis lingkungan dalam pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH). Pasal tersebut menjamin setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana atau digugat secara perdata.

Namun aturan tersebut "tidak efektif" dalam melindungi aktivis lantaran penggunaan "pasal karet" semisal nasib yang menimpa Budi Pego, kata Nur Hidayati. 

Intensitas Pembangunan Rugikan Aktivis Lingkungan

Menurut Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, masalah berakar lewat percepatan pembangunan yang digenjot di era Jokowi dan bernuansa "orde baru". Salah satu alasan maraknya proyek mangkrak di era Susilo Bambang Yudhoyono adalah penolakan masyarakat terkait dampak sosial dan lingkungan. Hambatan ini yang kemudian ingin dituntaskan oleh pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.

"Peningkatan intensitas pembangunan infrastruktur dan proyek ekonomi lainnya," membuat kriminalisasi kian marak, tutur Usman saat dihubungi DW. Benturan antara ambisi ekonomi pemerintah dan upaya perlindungan lingkungan misalnya bisa disimak pada kasus di Jawa Tengah.

April 2017 Joko Widodo masih dijadwalkan untuk meresmikan pabrik baru milik PT Semen Indonesia di Rembang, Jawa Tengah. Pada akhir tahun, petani bernama Joko Prianto yang menggalang penolakan terhadap pembangunan pabrik semen didakwa dengan dalih pemalsuan dokumen. Saat itu tokoh masyarakat yang dekat dengan PT Semen Indonesia bahkan melayangkan surat ke istana untuk mendukung kriminalisasi Joko Prianto.

Baca juga: PN Meulaboh Dikecam Usai Menangkan Kallista Alam

Dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan di daerah diduga kuat menjadi perpanjangan tangan perusahaan dalam melindungi kepentingannya, klaim Usman.

Joko yang tinggal di desa Tegal Dowo, harus mengeluarkan ongkos dari kantung sendiri untuk memenuhi kewajiban melapor ke Polda Jawa Tengah di Semarang yang berjarak 150km dari kediamannya. Padahal dia bisa hanya melapor ke kantor kepolisian terdekat. "Ini seperti memberi pesan pada petani lain, bahwa kalau terus menolak mereka akan berhadapan dengan kepolisian dan kerumitan wajib lapor tiap minggu, di bawah bayang-bayang ketakutan," kata Usman.

Saat ini Dewan Direksi PT Semen Indonesia dikuasai oleh Sutiyoso, bekas Gubernur DKI yang diangkat Jokowi sebagai Kepala Badan Intelijen Negara pada 2015 lalu.

Negara Sebagai Pelaku Kriminalisasi?

Maka tidak sulit menerka siapa yang bertanggungjawab atas gelombang kriminalisasi pegiat lingkungan. Tahun lalu Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menerbitkan laporkan, 88% pelaku kriminalisasi dan ancaman kekerasan terhadap aktivis sosial berasal dari elemen negara, yakni Polri, TNI, Kejaksaan, pejabat negara, badan otorita hingga Satpol PP.

Interkoneksi antara pemerintah dan swasta inilah yang diyakini mempersulit upaya penghentian kriminalisasi aktivis. Meski kesadaraan masyarakat meningkat untuk melindungi lingkungan sendiri, "ketiadaan penghukuman atau impunitas terhadap para pelaku," membuat kasus kriminalisasi atau ancaman kekerasan fisik akan terus marak terjadi.

Baca juga: "Samin vs Semen" Diputar di 10 Kota di Jerman

"Bahkan dalam kasus lingkungan atau korupsi, beberapa serangan yang sangat serius tidak pernah berakhir dengan penghukuman. Sehingga serangan-serangan berikutnya bisa terulang tanpa pelakunya harus khawatir bahwa negara akan menangkap mereka," imbuhnya.

Dalam Tinjauan Lingkungan Hidup 2019 yang diterbitkan Walhi baru-baru ini, Indonesia dinilai masih menjadi "ruang nyaman bagi penyelenggara negara dan korporasi dalam pertarungan penyelamatan lingkungan." Salah satu buktinya adalah gugatan kerugian dan pemulihan lingkungan hidup terhadap perusahaan sebesar Rp. 18 triliyun yang sudah dikantongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, "namun belum ada satupun putusan yang dieksekusi." (rzn/vlz)


*Ralat: Dalam versi sebelumnya dituliskan Presiden "Joko Widodo ikut meresmikan" pabrik semen di Rembang. Tulisan di atas sedianya merujuk pada rencana dan undangan terhadap presiden untuk menghadiri peresmian. Dalam kenyataannya presiden hingga kini belum menyanggupi permintaan untuk menghadiri peresmian.