1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perdebatan Koalisi Barat Tentang Libya

22 Maret 2011

Keputusan PBB yang membolehkan serangan udara pasukan koalisi barat ke Libya untuk menghentikan pasukan Gaddafi mulai memicu berbagai perdebatan. Diantaranya, menyangkut tujuan misi militer internasional tersebut.

https://p.dw.com/p/10fTL
Presiden Perancis Nicolas Sarkozy dan Kanselir Angela MerkelFoto: dapd

Harian Spanyol El Mundo berkomentar :

"Dalam koalisi internasional yang memulai misi militer melawan rezim Gaddafi di Libya tampak perpecahan. Ini karena tujuan aksi militer tidak didefinisikan dengan jelas. Jika sasarannya untuk menjatuhkan rezim Gaddafi, maka ini tidak tertera dalam resolusi PBB. Jika pasukan koalisi memanfaatkan mandat PBB untuk menghabiskan diktator Libya tersebut, maka mereka akan membangkitkan kembali gerakan anti barat di Afrika dan Timur Tengah. Koalisi seharusnya berpegang pada hukum internasional dan mempertimbangkan pandangan negara lain di kawasan tersebut."

Harian Italia La Repubblica yang berhaluan kiri liberal menulis tentang perdebatan masalah komando dan tujuan operasi Anti-Gaddafi :

"Uni Eropa terpecah dan NATO tidak berhasil menutup-nutupi keretakan internalnya. 48 jam setelah pemboman dimulai di Libya, koalisi menunjukkan apa yang memecah mereka. Pusatnya adalah perselisihan antara Italia dan Perancis. Menteri Luar Negeri Italia Franco Frattini menuntut agar komando operasi diserahkan kepada NATO. Paris menolaknya. Perlawanan Perancis yang kini terisolasi bisa membahayakan koalisi anti Gaddafi yang strukturnya amat rapuh. Italia mengancam akan mengambil alih kembali kontrol basis angkatan udaranya, Norwegia tidak mau terlibat lagi, Turki mengajukan persyaratan dan Jerman merasa senang tidak turut memberikan suara dalam resolusi PBB untuk Libya."

Perbedaan sikap dalam Uni Eropa terhadap aksi militer melawan Gaddafi juga ditanggapi oleh harian Swiss Neue Zürcher Zeitung :

"Setiap perang akan membawa kerusakan yang tidak bisa dihindari. Begitu juga kali ini, walau pun serangan bom baru berlangsung 72 jam. Uni Eropa melemahkan sosoknya sebagai aktor politik luar negeri. Jika Eropa sendiri tidak bisa mencapai kesepakatan mengenai misi militer yang dibenarkan secara moral dan dapat dilaksanakan dengan sarana yang bisa dikendalikan, maka mereka tidak akan pernah bisa saling mengerti. Politik luar negeri tetap menjadi wilayah pemerintah nasional, yang bisa menjadi sebuah keuntungan. Namun, dalam kasus ini artinya, operasi yang dirancang Eropa sebagai bukti kekuatan berubah menjadi demostrasi impotensi Eropa."

Terakhir, harian Kurier yang terbit Austria menulis tentang rapuhnya kesepakatan misi militer antara koalisi negara barat :

"Begitu lama waktu yang dibutuhkan masyarakat internasional untuk bereaksi atas situasi di Libya, begitu cepat resolusi PBB diputuskan dan 'koalisi" terbentuk. Tetapi hanya sampai disana lah akhir dari kesepakatan bersama. "Speedy Sarko" sudah memerintahkan untuk menembak, saat pihak yang harus menyetujui sasaran militer masih makan malam di Paris. Di lain pihak, kanselir Merkel bersikap lihai melalui politik dalam negerinya. Hubungan erat Jerman dan Perancis lebih bersifat kaitan pribadi. Patut dipertanyakan, seberapa besar kapasitas yang dimiliki mereka yang terlibat dalam masalah yang sesungguhnya, yakni Libya."

Vidi Legowo-Zipperer / dpa

Editor : Agus Setiawan