1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perdebatan Wajib Libur Bagi PRT Singapura

6 Maret 2012

Tidak semua pihak menyambut secara suka cita peraturan baru yang diusulkan pemerintah Singapura kepada parlemen, tentang hari libur bagi PRT.

https://p.dw.com/p/14Fo3
Foto: AP

Jika semua berjalan mulus, para pembantu rumah tangga di Singapura akan mendapat sesuatu yang dianggap sebagai hal lumrah oleh orang lain di seluruh dunia. Yakni, satu hari libur. Senin (5/3), Menteri Tenaga Kerja Tan Chuan-Juan mengatakan kepada parlemen, mulai tahun depan, para pembantu rumah tangga harus mendapat satu hari libur dalam seminggu atau kompensasi tambahan jika harus bekerja di hari tersebut. Saat ini, secara hukum majikan tidak harus memberikan hari libur bagi pembantu rumah tangga. Sementara, pekerja lokal dan asing yang bukan pembantu rumah tangga diijinkan libur setidaknya satu hari seminggu.

Kelompok HAM Sambut Keputusan

Singapura bangga akan imej negara yang bersih dan perkembangan ekonomi yang pesat. Namun, kerap mendapat kritikan atas perlakuannya terhadap tenaga kerja asing. Dalam pernyataannya, Human Rights Watch mengatakan, "Keputusan menteri tenaga kerja Singapura tersebut adalah reformasi penting." Sementara Trina Liang Lin, ketua komite Singapura bagi UN Women menganggap Singapura mengambil langkah penting dalam usaha menyamakan kebijakan dan hukum dalam negeri tentang pembantu rumah tangga dengan standar buruh internasional.

Berbagai kelompok HAM telah mendesak pemerintah Singapura selama bertahun-tahun untuk mendukung perlindungan bagi pembantu rumah tangga yang berjumlah sekitar 206.000 orang, yang sebagian besar berasal dari Indonesia, Filipina dan India. Menteri Tan Chuan-Juan mengatakan, peraturan baru bagi pembantu rumah tangga kelak akan berlaku bagi semua pembantu yang kontraknya dimulai setelah 1 Januari 2013. Namun, kelompok HAM mendesak agar hari libur langsung segera diterapkan.

Majikan Merasa Dirugikan

Pembantu rumah tangga asing memainkan peranan penting dalam dunia sosial dan ekonomi di Singapura, dimana sebagian besar pasangan suami istri harus dua-duanya bekerja untuk bisa bertahan dengan biaya hidup tinggi dan populasi kaum tua yang bertambah secara pesat. Pengusaha perempuan, Poon Bonn Eng, mengatakan kepada harian Straits Time, peraturan baru ini adalah kabar buruk bagi perempuan yang bekerja. "Saya juga perlu istirahat di hari Minggu", tambah Eng. Ia juga lebih memilih untuk membayar kompensasi kepada pembantunya dibandingkan memberikannya hari libur.

Perubahan hukum buruh ini baru bisa diterapkan secara resmi setelah disetujui oleh parlemen. Namun, para pengamat menduga usulan ini akan diloloskan dengan mudah, karena partai pemerintah memegang mayoritas kursi dalam parlemen.

Vidi Legowo-Zipperer (afp, ap, rtr)

Editor: Hendra Pasuhuk