1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perebutan Kekuasaan di Pantai Gading

5 Desember 2010

Seminggu setelah pemilihan presiden di Pantai Gading, perebutan kekuasaan terus berlangsung. Dua orang merasa berhak menduduki jabatan presiden Pantai Gading.

https://p.dw.com/p/QQGz
Alassane Ouattara saat disumpah menjadi presiden Pantai Gading (04/12)Foto: AP

Pemenang resmi dalam pemilu kepresidenan di Pantai Gading, Alassane Ouattara, hari Minggu kemarin (05/12), menuntut agar mediator internasional mendesak presiden incumbent, Laurent Gbagbo, yang juga menyatakan dirinya sebagai pemenang pemilu, untuk mengundurkan diri setelah kekacauan yang terjadi dalam pemilu pekan lalu. Pernyataan tersebut dikeluarkan Ouattara setelah bertemu dengan mediator yang adalah mantan presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki. Mbeki diminta oleh Uni Afrika untuk menengahi perseteruan di Pantai Gading setelah Gbagbo dan Ouattara sama-sama medeklarasikan diri mereka sebagai presiden usai pemilu yang dicemari oleh aksi kekerasan yang memakan korban jiwa. Mbeki memperingatkan akan kemungkinan terjadinya kembali perang saudara di Pantai Gading jika 'deadlock' ini tidak diselesaikan. Pemilu kepresidenan di Pantai Gading sejatinya digelar untuk mengakhiri bayang-bayang perang saudara tahun 2002 lalu.

Awalnya komisi pemiliu independen, Kamis lalu (02/12), menyatakan Ouattara sebagai pemenang. Ini adalah hasil yang juga diakui oleh komunitas internasional. Namun, Gbagbo kemudian mengajukan banding ke Mahkamah Konstitusi yang kemudian membatalkan keputusan tersebut. 4 Desember lalu, keduanya melaksanakan upacara pengambilan sumpah jabatan presiden dan menambah ketegangan di negara yang termasuk paling korup di dunia ini. Gbagbo berada di bawah tekanan dari dunia internasional, termasuk Amerika Serikat, PBB, Uni Afrika dan Perancis. Namun, hingga kini ia tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah. Gbagbo bahkan mengatakan, "Dalam beberapa hari terakhir terlalu banyak yang ikut campur. Saya berharap, beberapa suara yang vokal ini sedikit menarik diri."

Gbagbo sendiri dapat mengandalkan dukungan penuh militer Pantai Gading. Rezimnya telah menutup pintu perbatasan dan memblokir sinyal semua stasiun televisi asing dan siaran berita radio. Jam malam juga diberlakukan. Aksi demonstrasi dilancarkan oleh para pemuda di kawasan miskin menentang Gbagbo. Mereka mendirikan barikade jalan dan membakar ban-ban mobil. Salah seorang demonstran mengatakan, "Gbagbo tidak bisa menjadi presiden tanpa pengakuan dunia internasional. Ia sendirian melawan seluruh dunia. Bagaimana nasib kami?"

Sekjen PBB Ban Ki Moon berada di belakang utusan khusus PBB YJ Choi yang mengatakan, bahwa hasil yang dikeluarkan komisi pemilihan adalah sah. Choi juga mengatakan, bahwa pemerintah Pantai Gading sebelumnya telah memberinya kekuasaan untuk memeriksa hasil pemilihan. Namun, ini kemudian dibantah oleh Gbagbo. Mahkamah konstitusi menganulir hasil penghitungan suara di tujuh wilayah, di mana Ouattara unggul. Menurut Choi, kendati semua keberatan Gbagbo turut diperhitungkan, hasil pemilihan tetap akan menunjukkan kemenangan Ouattara. Ouattara juga didukung oleh mantan kelompok pemberontak di kawasan utara, New Forces, yang dipimpin oleh Perdana Menteri Guillaume Soro. Soro, Sabtu lalu (4/12) mengundurkan diri dari jabatannya sebagai aksi protes.

Pantai Gading telah berada dalam krisis semenjak tahun 2002 setelah Gbagbo berhasil lolos dari rencana kudeta. Kudeta yang gagal tersebut menyebabkan perang saudara. Lima tahun kemudian, perjanjian perdamaian membawa kelompok pemberontak terlibat dalam pemerintahan melalui Guillaume Soro. Pemilihan presiden Pantai Gading telah ditunda sebanyak enam kali sejak tahun 2005.

Vidi Legowo-Zipperer / dpa / afp

Editor : Rizky Nugraha