1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perempuan Arab Saudi Perjuangkan Hak Mengemudi

17 Maret 2008

Kebanyakan perempuan di Arab Saudi tidak miskin, walau begitu seorang aktivis perempuan negeri itu menganggap situasi mereka lebih buruk daripada tawanan di Guantanamo.

https://p.dw.com/p/DQHI
Foto: dpa - Bildfunk

Di Arab Saudi, pemisahan jenis kelamin dilakukan secara tegas. Memang perempuan boleh belajar dan menjalankan beberapa jenis pekerjaan, namun komunikasi antara pria dan wanita di ruang kuliah atau di tempat kerja berlangsung hampir seperti lewat telepon atau layar monitor. Perempuan harus menutupi diri sepenuhnya di ruang publik dan tempat terbuka. Polisi syariah bertugas untuk mengawasi pelaksanaannya.

Di Arab Saudi, yang termasuk negara terkaya di dunia, seorang perempuan membutuhkan wali lelaki untuk masuk universitas, dalam menandatangani kontrak kerja atau untuk sekedar ke dokter. Tanpa persetujuan wali lelakinya, perempuan tidak bisa mengambil tindakan yang sah menurut hukum. Dan walau sementara ini di Arab Saudi ada perempuan yang memimpin perusahaan, menjadi profesor di universitas, bahkan pilot perempuan, kaum perempuan di negeri ini tidak boleh mengendarai mobil.

Sudah bertahun-tahun para perempuan Arab Saudi berjuang agar larangan menyetir itu dicabut. Di negara-negara Islam lain, tidak ada halangan bagi perempuan untuk mengemudikan mobil. Di banyak kota-kota besar Eropa tak jarang terlihat perempuan Arab Saudi dengan busana hitam dan cadar keluar masuk butik pakaian dan perhiasan desainer kenamaan. Mereka kaya raya, mengenakan pakaian bermerek, bertelefon dengan handphone paling mutakhir, menenteng laptop, bertabur perhiasan emas, intan berlian. Mereka bisa belajar di universitas kenamaan di dalam dan luar negeri. Mereka memiliki pembantu rumah tangga dari Asia dan supir pribadi yang mengantar mereka ke manapun juga. Tapi Wajeha Al-Huwaider, aktivis perempuan Saudi yang paling terkenal, menyebut kaum perempuan di negerinya sebagai budak yang terpenjara di istana mewah. "Padahal, hidup yang sejati adalah jika seseorang bebas dan menjadi tuan atas keputusannya sendiri, tanpa wali. Hidup dalam kemewahan namun tanpa kebebasan, bukanlah hidup yang sesungguhnya. Kemewahan hidup bisa berubah setiap saat, jika wali lelaki tidak lagi puas dan menyia-nyiakan si perempuan. Tidak ada seorangpun yang melindungi, tidak hukum tidak juga negara. Tidak ada satupun insititusi yang memperjuangkan hak-hak perempuan di negeri ini. Apa keadaan seperti ini bisa disebut kehidupan?"

Tegas, pertanyaan pengarang dan jurnalis perempuan Saudi Wajeha Al-Huwaider. Sejak bertahun-tahun ia berjuang agar kaum perempuan di wilayah kerajaan Wahabi itu boleh menyetir mobil. Wanita 47 tahun itu mengumpulkan tanda tangan bagi petisi kepada Raja Abdallah. Bulan September 2007 petisi itu sampai ke tangan raja.

Sebelumnya, pejuang hak perempuan itu atas resiko sendiri memulai aksi protes. Ia berdemonstrasi di atas jembatan yang menghubungan kota minyak Bahrain dengan Arab Saudi. Aksi protes ia lakukan dengan mengangkat tinggi-tinggi poster bertuliskan: beri perempuan hak-haknya. Sebuah tuntutan kepada raja dan penguasa relijius konservatif negeri itu, yang menyangkal hak-hak perempuan Saudi, demikian terang Wajeha Al-Huwaider.

Di tanah airnya, Wajeha al-Huwaider senantiasa menarik perhatian dan kemarahan. Belum lama ini ia melontarkan pernyataan bahwa kondisi perempuan Saudi lebih buruk daripada tawanan di Guantanamo. Bahwa pernyataan semacam itu dan berbagai aksi protes yang ia lakukan menyebabkan ia ditahan dan tidak boleh lagi bekerja sebagai jurnalis di negerinya, tidak membuat Wajeha mundur. Ia tetap memperjuangkan pencabutan larangan menyetir bagi perempuan dan berlawanan dengan pihak berwenang.

Mengabaikan larangan menyetir sudah dilakukan sejumlah perempuan Saudi awal tahun 90-an. Sebanyak 50 perempuan berkonvoi dengan mobil melewati jalan-jalan di ibukota Riyadh. Mereka semua ditangkap dan mobil-mobil mereka di sita. Konsekuensi yang harus mereka tanggung tidak berhenti sampai di situ. Beberapa dari mereka sampai kehilangan pekerjaan.

Setahun kemudian keluarlah fatwa dari Mufti agung Arab Saudi, saat itu Sheikh Abdul Aziz bin Baz, yang secara tegas melarang perempuan untuk mengendarai mobil. Fatwa tersebut seolah menumpas keinginan para perempuan Arab Saudi untuk menyetir. Wajeha al-Huwaedar menerangkan:

"Perempuan Saudi menderita di bawah kekangan 5 institusi. Yaitu keluarga, suku, masyarakat, lembaga agama dan politik. Tapi yang paling keras adalah institusi agama." Elham Manea berasal dari Yaman dan pakar ilmu politik di Universitas Zürich, Swiss. Sejak bertahun-tahun ia meneliti tentang hak perempuan di Semenanjung Arab. Baginya, larangan mengemudi bagi kaum perempuan Saudi dihasilkan atas dasar alasan-alasan tertentu. "Ini semacam tafsir relijius, yang berdasarkan pada interpretasi Wahabi Islam. Dan ini menyangkut konstelasi politik relijius di dalam Arab Saudi. Juga berkaitan dengan tradisi yang sampai hari ini memainkan peranan besar.“ Menyetir sendiri juga merupakan semacam kebebasan. Banyak penguasa relijius konservatif yang tidak memperbolehkannya. Mereka kuatir, bahwa dengan ijin mengemudi, perempuan mungkin sekali meninggalkan rumah lebih sering dari yang dibutuhkan. Mereka bisa saja bertemu diam-diam dengan pria lalu berbuat yang tidak senonoh, terang Elham Manea, ahli politik asal Yaman yang bermukim di Swiss. Seorang cendekiawan terkemuka Arab Saudi Sheikh Ayed Al-Qarni mengatakan, jika perempuan boleh mengendarai mobil, maka hal ini akan menuntun pada kehancuran keluarga. Suara moderat bukannya sama sekali tak ada. Salah satunya Mohammed Al Zalfa, anggota "Shura" dewan penasehat Islam di Arab Saudi. Ia mendukung ijin mengemudi terbatas bagi perempuan. Salah satu argumennya, mempekerjakan tenaga kerja luar negeri sebagai supir di Arab Saudi menghabiskan biaya jutaan setiap tahunnya. Elham Manea mengikuti aksi protes sejumlah perempuan di Arab Saudi terhadap larangan mengemudi dan paham bahwa itu adalah perjuangan yang panjang. "Jika orang berjuang untuk hak-haknya, maka akan selalu ada harapan. Masalahnya, sejauh mana mereka bisa melakukannya, karena di Arab Saudi, pemerintah kadang-kadang siap untuk menjalankan langkah progresif. Tapi masalah yang sesungguhnya terletak pada hambatan dari kekuasaan lembaga relijius.“ Ini juga dipahami pejuang hak perempuan Wajeha Al-Huwaider. Dan ia menuntut kekuatan konservatif relijius di negaranya untuk menghapuskan keharusan wali lelaki bagi perempuan. Ini merupakan langkah pertama untuk mencabut larangan menyetir. Sekalipun aksi protes dan permohonan terhadap anggota keluarga kerajaan selama ini tak membawa hasil, Wajeha tak berpikir untuk menyerah. "Walau menghadapi kesewenangan, ketidakadilan, dan semua tekanan, saya sangat optimis. Alasannya dua. Di satu pihak globalisasi akan membuka semuanya. Dewasa ini, rejim yang represif tidak bisa menyembunyikan diri lagi. Di pihak lain, dan ini yang paling penting, Raja Abdallah sudah menunjukkan bahwa ia memiliki sisi manusiawi yang baik dan ia berupaya membawa perubahan. Namun ia seorang diri melawan insitusi besar yang korup." (rp)