1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perempuan dalam 20 Tahun Reformasi Indonesia

10 Mei 2018

Apa yang melekat dalam pikiran Anda saat mengingat peristiwa 1998? Bagi pengalaman Anda dan ikuti opini Misiyah berikut ini.

https://p.dw.com/p/2xH8e
Erinnerung an ethnische Unruhen in Jakarta 1998
Foto: Misiyah-Solidaritas Perempuan

Mungkin yang paling populer dikenal dalam peristiwa tersebut adalah tonggak sejarah perjuangan reformasi, Indonesia keluar dari era otoriter dan terbukanya proses demokratisasi. Sebagai perempuan yang menjadi bagian dalam masa tersebut, saya terus mengingat bahwa di antara sederetan heroisme saat itu, menyimpan tragedi mengerikan bagi perempuan. Sebuah kejahatan dengan memperalat tubuh perempuan demi kemenangan. Tubuh perempuan dijadikan arena pertempuran untuk menaklukkan lawan melalui perkosaan, kekerasan seksual yang dibarengi dengan penganiayaan.

Saatnya kita memanggil kembali ingatan kelam ini untuk pembelajaran mencegah pengulangan sejarah. Kecanggihan teknologi dan generasi millenial mesti menjadi kekuatan untuk membangun kesadaran atas ancaman tubuh perempuan dan menyatukan sikap untuk mengakhiri semua tindakan memperalat tubuh perempuan demi kemenangan dan kekuasaan.

Misiyah menekuni isu-isu feminisme selama 20 tahun terakhir dan aktif dalam gerakan perempuan, mengembangkan pemberdayaan perempuan, kepemimpinan perempuan untuk gerakan kesetaraan gender dan perdamaian. Saat ini menjadi direktur Institut KAPAL Perempuan, sebuah organisasi yang fokus pengembangan pendidikan kritis dengan perspektif feminisme dan pluralisme.
Penulis: MisiyahFoto: Misiyah

Dokumentasi Dewi Anggraeni dalam bukunya yang berjudul "Tragedi Mei 1998 dan Lahirnya KOMNAS Perempuan”, mendeskripsikan perkosaan dari kesaksian seorang wartawan yang sampai saat ini tidak pernah menuliskannya karena tidak tega. Pengalaman wartawan ini terjadi sore hari di perempatan Daan Mogot dan jalan lingkar luar banyak massa berkumpul.

Sebuah mobil sedan berjalan pelan dihentikan oleh massa dan meminta dengan setengah paksa agar pengendara dan pengemudinya turun. Mereka adalah dua perempuan muda sekitar 25 tahunan, keturunan Tionghoa. Keduanya ditarik ke arah jembatan Grogol dan ditelanjangi dan menurut sopir mikrolet, keduanya diperkosa di dekat jembatan. Tidak ada warga yang berani menolong karena akan beresiko dihantam atau dipukul. Para saksi mata juga mendapat ancaman dari orang-orang yang tidak dikenalnya bahkan mendapatkan serangan fisik, seperti dilansir harian Kompas tahun 2014 silam.

Kekerasan seksual berupa perkosaan yang dibarengi dengan penganiayaan ini juga banyak dilakukan di dalam rumah korban atau dalam bangunan.  Sebagian besar perkosaan adalah gang rape, dimana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama.

Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain dan korban terbanyaknya adalah etnis Tionghoa. Kejahatan ini terjadi di Jakarta dan sekitarnya, Solo, Medan dan Surabaya. Fakta ini merupakan temuan yang diungkap dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TPGF) dan diterbitkan oleh KOMNAS Perempuan, dicetak pertama kali bulan November 1999.

TPGF ini dibentuk untuk menemukan dan mengungkap fakta, pelaku dan latarbelakang peristiwa 13-15 Mei 1998. Pembentukannya didasarkan pada Keputusan Bersama Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita dan Jaksa Agung.

TPGF juga menemukan pola umum kerusuhan, yaitu dimulai dengan berkumpulnya massa pasif yang terdiri dari massa lokal dan massa pendatang (tak dikenal), kemudian muncul sekelompok provokator yang memancing massa dengan berbagai modus tindakan seperti membakar ban atau memancing perkelahian, meneriakkan yel-yel yang memanasi situasi, merusak rambu-rambu lalu lintas dan sebagainya. Kemudian provokator mendorong massa untuk mulai melakukan pengrusakan barang dan bangunan, disusul dengan tindakan menjarah barang dan di beberapa tempat diakhiri dengan membakar gedung atau barang-barang lain.

20 Tahun Reformasi: Saatnya Tak Berdiam Diri.

Saat ini kita dapat merasakan hasil perjuangan masa reformasi dan dapat melepaskan diri dari sistem yang otoriter menuju keterbukaan dan demokrasi. Kita tidak dapat melupakan banyak pihak yang berjuang pada 1998 bahkan jauh sebelum peristiwa tersebut. Perjuangan tak jarang menghadapi popor senjata, mengorbankan jiwa, dibunuh atau diculik oleh rezim otoriter.

Perjuangan datang dari berbagai kalangan, bukan hanya mahasiswa yang bergerak namun banyak elemen-ememen gerakan rakyat lain di antaranya para petani, nelayan, kaum miskin kota, buruh, pekerja seni-budaya, jurnalis, individu-individu, gerakan prodemokrasi dan gerakan perempuan. Kekuatan gerakan ini bukan datang tiba-tiba di tahun 1998 namun dibangun dan melakukan perlawanan sepanjang rezim Orde Baru.

Perjuangan tidak pernah selesai. Masa depan ada di tangan kita, karenanya tak ada alasan lagi untuk berpangku tangan. Apa yang dapat kita lakukan untuk meneruskan perjuangan terutama perempuan? Tahun 1998 menunjukkan fakta perempuan menjadi korban dan sekaligus menjadi aktor dalam meretas tekanan orde baru dan patriarki.

Saat ini kita menghadapi tantangan dalam bentuk yang berbeda yaitu menguatnya politik identitas berbasis cara pandang yang kolot, konservatif dengan melakukan praktek-praktek penundukan, mengekploitasi dan memperalat tubuh perempuan untuk perebutan pengaruh.  Apa yang penting kita lakukan dalam situasi ini?

Membangun kesadaran dan cara pandang yang kritis perempuan.

Kesadaran dan cara pandang kritis perempuan, tidak muncul secara alamiah. Karena itu dibutuhkan upaya untuk menumbuhkannya, dimulai dengan membangun kepekaan terhadap isu-isu sosial dan isu gender. Isu-isu tersebut disebabkan adanya konsep gender yaitu mengakarnya cara pandang yang membeda-bedakan sifat, peran, posisi perempuan dan laki-laki yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin biologis.

Pembedaan ini bukan bawaan lahir namun terjadi karena masyarakat membentuknya, dan kemudian diperkuat diperkuat oleh norma-norma konservatif yang tercermin dalam seni, budaya, pendidikan, politik, penafsiran agama, adat dan lain-lain.

Cara pandang kritis akan menemukan bahwa konsep gender ini mengakibatkan ketidakadilan yang dialami laki-laki maupun perempuan, namun perempuan menjadi korban utamanya. Kekerasan seksual, beban ganda, label buruk, peminggiran, pemiskinan, subordinasi dan diskriminasi di semua aspek kehidupan perempuan merupakan contoh dari ketidakadilan gender. Membongkar cara pandang dan membangun pemikiran kritis merupakan bagian penting dan mendasar saat ini untuk menghentikan kelompok-kelompok konservatif yang memperalat tubuh perempuan demi kekuasaannya dan memaksa kehidupan perempuan masuk ke ranah privat yaitu "sumur, dapur dan kasur”.

Menumbuhkan Keberanian

Langkah awal menumbuhkan keberanian adalah berani menerima resiko dari cara berfikir kritis baik dari diri sendiri, orang-orang terdekat dan masyarakat luas. Dibutuhkan keberanian menghadapi hujatan, dianggap aneh, berlebihan, melanggar kodrat dan berbagai cap buruk lainnya. Banyak pihak terganggu karena isu perempuan  akan menggugat segala bentuk ketidakadilan sampai ke ranah pribadi, contohnya upaya Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Belajar dari tragedi 1998, perempuan atas nama individu maupun organisasi bahu-membahu berani menghadapi resiko dalam mengangkat kasus-kasus perkosaan dan mendampingi korban. Tentu bukan hal mudah karena resiko saat itu bukan hanya berupa kecaman namun ancaman kehilangan nyawa. Sejarah menunjukkan bahwa keberanian tidak pernah sia-sia, keberanian perempuan yang mengungkap perkosaan yang didiamkan, dianggap bukan masalah bahkan ditutup rapat-rapat berubah menjadi isu penting dan diberi perhatian. Saat itu presiden Republik Indonesia, BJ Habibie berjanji untuk mendirikan lembaga independen yang selanjutnya menjadi Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.

Duapuluh tahun reformasi situasi berubah, generasi berganti, kecanggihan teknologi berjaya,  arus deras informasi seolah tak terbendung. Era digital membawa kemudahan sekaligus mengandung resiko besar jika tidak dikelola. Kita mesti melawan hoax yang bertebaran, menghentikan penghinaan, ancaman, eksploitasi seksual yang disebarkan dalam meme-meme, pesan singkat bahkan video. Kita mesti merebut ruang-ruang digital dengan sikap selektif terhadap informasi, mengecek kebenarannya dan menebar pesan-pesan keadilan, kesetaraan serta perdamaian.

Sekali lagi, peringatan 20 tahun reformasi, perempuan masih membutuhkan kerja keras untuk berjuang. Masih harus terus ditumbuhkan kesadaran bahwa ada masalah perempuan,  masalah perempuan bukan terjadi secara alamiah namun sebuah konstruksi sosial dan masalah perempuan dapat diubah, bukan takdir.

Mari kita terus kembangkan kepekaan, empati dan keberanian melakukan tindakan untuk perubahan. Ketidakadilan, kejahatan memperalat tubuh perempuan untuk kemenangan kekuasaan dan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan harus dilawan dan dihentikan. Kita terus belajar dari sejarah untuk membuat sejarah baru, sejarah yang adil, setara dan damai bagi semua. Tidak seorang pun boleh ditinggalkan.

Penulis: Misiyah (ap/vlz)

Misiyah menekuni isu-isu feminisme selama 20 tahun terakhir dan aktif dalam gerakan perempuan, mengembangkan pemberdayaan perempuan, kepemimpinan perempuan untuk gerakan kesetaraan gender dan perdamaian. Saat ini menjadi direktur Institut KAPAL Perempuan, sebuah organisasi yang fokus pengembangan pendidikan kritis dengan perspektif feminisme dan pluralisme.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.